Bugh
Satu tonjokan mendarat mulus di pipi Nakula yang dibalas dengan senyum tipis darinya.
"Memangnya di dunia ini cewek itu cuma satu? Sampai hati kamu malah deketin cewek yang aku suka?" wajah Asa terlampau merah, darahnya mendidih melihat Nakula yang sedang mendekati Zahra, cewek yang ditaksir Asa.
"Aku maunya sama Zahra, ada masalah?"
"KURANG AJAR!"
Perkelahian tak terelakkan, Asa terlampau marah pada Nakula.
"Persahabatan kita cukup sampai sini."
Nakula tertawa sendu menatap kepergian Asa. Dirinya hanya berbaring di lantai kantin yang mulai sepi. Air mata membasahi pipinya, ia pun terlelap dalam kesedihan.
Hari demi hari dijalani Nakula tanpa adanya presensi Asa. Nakula begitu rindu dengan Asa yang selalu memarahinya. Ia masih ingin dirawat dan dipedulikan oleh Asa. Namun, apa daya?
Asa pun merasa kesepian tanpa adanya suara khas cempreng milik Nakula yang selalu mengoceh. Namun, Asa sudah memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengan Nakula.
Sepucuk surat di atas meja titipan Nakula minggu lalu belum pernah ia buka. Rasa benci dan bersalah yang menyatu membuat Asa enggan membaca surat itu. Namun, karena terlalu rindu dengan sahabat kecilnya, ia pun menurunkan egonya dan membuka surat itu.
Sahabatku tersayang, Asa Nayaka.
Halo?? Sebulan tanpa adanya interaksi di antara kita rasanya seperti satu tahun saja. Jujur saja aku kangen sama persahabatan kita. Aku masih pingin dirawat sama kamu, aku masih ingib dipedulikan, karena cuma kamu yang bisa aku andalkan.
Maaf. Sebenarnya aku ga suka sama Zahra. Aku deketin dia biar kamu ga ngedeketin Zahra karena dia ga sepolos yang kamu kira. Dia ga baik buat bersanding sama kamu, jadi biar aku aja yang sama Zahra.
Aku ga pernah bilang perihal ini, tapi aku mengidap penyakit yang ga ada obatnya dan aku sudah berada di jurang kehidupan. Jadi aku memutuskan buat pergi ke Jepang, kamu ingat kan kalau aku ingin disemayamkan di sana? Nanti jangan lupa berkunjung ya! Makasih udah jagain aku yang bandel ini dengan penuh kesabaran. Semoga kamu bertemu sahabat yang lebih baik dari aku. Sayounara!
Salam hangat, Nakula Pradikta.
Asa meraung pilu, menangisi kepergian sahabatnya. Ini tak seharusnya terjadi. Harusnya Asa mau mendengar penjelasan Nakula minggu lalu. Kini Asa begitu menyesal karena menjauh dari Nakula. Rasa sesal dan bersalah menggerogoti relung hatinya, ia beteriak begitu kencang meratapi takdir Sang Pencipta. Ia berada di ujung asa, meratap dan berharap ada secercah cahaya untuk bertemu sahabatnya sekali lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H