Laki laki paruh baya itu masih gemar berteriak.
Ia sering beranggap matahari menyala di sudut bibirnya.
Segelas kopi pagi tak cukup menyadarkannya.
Kita semua kecanduan.
Perjuangan sudah pasti palsu.
Bilamana nyanyian nyanyian tengah hari pecah dari dalam perut yang masih kosong!
"Tak kau lihat kami lapar!
Tak kau lihat kami haus!
Tak kau lihat semuanya hilang!
Direbut paksa dari kami!"
Teriaknya tak sabar.
Teriaknya tak tahu malu.
Lalu perempuan perempuan sundal itu pun menertawainya.
Bagi mereka belum mampu memberi makan diri, bermimpi memberi makan orang lain!, Â laknat! Â Pendusta diri!
Pantas saja kau gemar menyetubuhi diri sendiri ketimbang menjilat payudara kami.
Sang bocah kelaparan pun tertawa!
Kecerdasan telah memakan habis nurani dalam akalnya.
Ia menyembelih rahasianya sendiri menaruhnya di lorong lorong kosong yang teramat sunyi dan sepi.
Dalamnya hati memang tak karu karuan!
Dirimu sendirilah rahasia itu.
Perjuangan sudah pasti kalah!
Teriak fakir miskin di emper emper toko!
Bilamana teriakan teriakan itu mengaum dari tubuh yang kalah dengan hatinya!
Perjuangan sudah pasti mati!
Para pengemis terus meminta meminta!
Ini adalah sederet nyanyian dari dalam bangkai dan tubuh si penjual orasi yang bermimpi jadi gendut setelah menjilat rupiah! Melahapnya sampai tak ada yang tersisa.
Jangan tipu rakyat! Â Sesungguhnya mereka tak bodoh, mereka hanya terlalu sabar, sabar mencari makan, dengan kedua tangan, membelah batu diatas tanah, Â bukan masalah!
Siang pun berlalu. Kata kata mati. Ini hanya dialog tubuh. Â
7/2/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H