Siang yang begitu terik itu akhirnya menuntut saya untuk segera pulang ke posko dimana saya tinggal di desa itu sebagai seorang fasilitator pengembangan masyarakat pada sebuah yayasan kemanusiaan yang bergerak di bidang pengembangan anak.
Seperti biasanya berhubung pekerjaan saya adalah seorang fasilitator maka berkeliling desa sudah wajib saya lakukan untuk memonitoring aktivitas masyarakat ataupun sekedar berkunjung ke rumah anak binaan atau para kader yang sering membantu saya. Kalau beruntung biasanya saya ditawari makan siang di rumah mereka.
Namun karena pagi hari tadi saya bangun lebih cepat akhirnya saya bisa memasak makanan saya sendiri. Dan siang itu saya benar-benar sedang ingin menikmati hasil masakan saya sendiri. Jadi saya menolak beberapa ajakan untuk makan siang di rumah warga.
Singkat kata, kira-kira pukul satu tengah hari, disaat si raja siang benar-benar sedang meluncurkan cahayanya untuk membakar permukaan bumi saya pun tiba di posko saya.
Dan setelah membereskan beberapa hal saya pun segera mengambil masakan saya dan segera bersiap-siap untuk makan siang.
Posko tersebut hanya memiliki ukuran yang kecil terdiri dari dua kamar dan satu teras. Kamar yang pertama dipakai untuk saya tidur dan kamar yang kedua untuk menyimpan aset-aset serta peralatan kerja lainnya. Rumah kecil inipun tidak mempunyai ruang makan seperti kebanyakan rumah lainnya, Â dapur dan kamar mandi berada terpisah dari rumah induk, mereka terletak di bagian belakang.
Saya biasanya senang menghabiskan waktu makan siang saya pada teras kecil tepat di depan rumah, tidak ada kursi ataupun onderdil lainnya di teras itu, sehingga sangat nikmat duduk ala lesehan di lantai yang berkeramik putih itu seraya menikmati sejuknya angin sepoi-sepoi yang sering berkunjung dengan tiupan-tiupan lembutnya.
Beberapa menit berlalu sewaktu saya sedang menikmati makan siang, tiba-tiba saya melihat pemandangan yang cukup aneh, pemandangan yang jarang dan bahkan tidak pernah saya lihat sebelumnya.Â
Tepat di lokasi pembuangan sampah yang ada di depan posko itu, tiba-tiba munculah seekor anjing yang sangat degil dan kurus, bahkan tulang iganya pun terlihat begitu menjorok di balik bulunya yang berwarna hitam pudar. Entah darimana datangnya anjing ini! Setahu saya tetangga saya tak seorangpun mempunyai anjing seperti ini. Anjing ini terlihat begitu rakus dan lapar, ia segera mengorek-ngorek dan mengais-ngais apa saja yang bisa di makannya pada tempat sampah itu.Â
Saya terus memperhatikannya dengan begitu seksama sambil terus menghabiskan makan siang saya dengan semakin lambat. Lalu segera sebuah kejadian aneh dan tak lazim pun terjadi, anjing itu tiba-tiba melahap sisa-sisa buah nangka yang telah saya buang beberapa hari kemarin.Â
"Buah nangka ini masak di pohon, Pak! Ini jenis nangka salak, rasanya pasti manis sekali" saya tiba-tiba teringat ucapan mama Diana sewaktu memberikan buah nangka itu kepada saya beberapa hari lalu tepatnya di sore hari sewaktu saya pulang kerja. Karena sebagian masyarakat desa adalah petani saya pun seringkali kebagian berkat dari hasil panen mereka.Â
Buah pisang, jagung, kacang tanah dan lain-lain adalah beberapa jenis pemberian warga dengan cuma-cuma kepada saya. Namun lebih dari itu pemberian semacam ini adalah ritual kebudayaan turun temurun yang terus dijaga oleh masyarakat agar tetap saling mengikat kekerabatan di tengah-tengah masyarakat.Â