Mohon tunggu...
jemmy senda
jemmy senda Mohon Tunggu... pegawai negeri -

berasal dari kota karang,hobby baca,tapi baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Pemain Orgen

2 Februari 2015   16:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan itu terus saja membelai sekujur tubuh bumi yang selalu merasa kesepian akan sentuhan air langit. Lalu terbaring diselimuti aliran sungai yang deras menghantam ikan-ikan remaja yang sedang dimabuk asmara. Melodi ikan itu bernyanyi-nyanyi bersungut meminta tolong pada Tuhan. Mungkin sesuatu yang baru tidaklah berarti indah. Rintangan pun setia sedang menanti di depan. Siapa tahu bahwa kemarin adalah kenangan, hari ini adalah kebahagiaan, dan besok adalah kematian.

Aku tersentak saat lamunan ini semakin tinggi menuju ke galaksi bima sakti lalu tertabrak asteroid dan kembali terdampar ke bumi lagi. Di saat itu semua serasa tertarik ke lubang hitam dan hanya satu bintang yang paling terang. Bintang itu kini ada di hadapanku. Mungkinkah dia adalah titipan dan tanggung jawab Tuhan untukku? Yah, aku rasa mungkin saja. Siapa yang tahu, sebab ini adalah awal yang baru dalam hidup ini. Semuanya itu adalah fakta dan tak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap hari adalah sesuatu yang baru.

Bagai logam besi yang hampir berkarat. Gadis di hadapan diriku ini seolah memiliki medan magnet tersendiri. Aku, mataku, dan hatiku serasa tertarik tertujuh padanya. Oh Tuhan ini adalah rumahmu. Salahkah bila aku jatuh cinta di tempat sesuci ini. Tetapi alunan melodinya menggetarkan hatiku. Ingin sekali aku berduet dengannya. Bermain dan bernyanyi memuji nama Tuhan di tahun baru yang terus merengek ini.

Nyanyian orgen itu menarik hati. Gerakan jari cantik yang memainkannya dengan lembut. Sungguh nikmat didengar. Bakat alami yang diberikan oleh Tuhan. Seiring waktu yang terus melaju meninggalkan kenangan indah. Aku teringat masa-masa hidupku yang kelam. Tepat di mana aku merasa bahwa tiada lagi harga diri agar hidupku terus bertahan. Bertahanan di antara balantara yang membosankan, lalu dipenuhi nasehat tak penting yang malah membuat hidup ini semakin kusut dan tak karuan. Penuh tanya dalam labirin mencari jati diri. Banyak hal besar yang ingin kuperbincangkan. Entah empat mata atau delapan mata. Aku hanya meminta sebuah bibir untuk kukecup agar ku tahu kesungguhan dalam menjalani sebuah tanggung jawab.

Melodi orgenmu itu berbunyi lagi. Aku berdiri dan menyanyikan lagu syukur, sambil mengucap kata indah, kucoba perbincangkan dalam hati padanya. “Gadis manis yang di sana, mendekatlah kepadaku. Ingin kubelai rambutmu, ingin kutahu siapa dirimu. Tak’kan pernah bosan menunggumu di sini. Sebab aku akan ada selamanya, dan akan selamanya ada untukmu”. Sebagian gadis mungkin berpikir bahwa ini adalah sebuah gombalan yang tak berarti. Tapi bagiku mungkinlah tidak. Aku merasa sangat bahagia. Ternyata inilah rasa indahnya cinta. Sesuatu yang tak pernah kudapatkan sejak aku hidup.

Lalu kuberdoa. Tak disangkah aku menceritakan segalah hal ini dalam doa dan menjadikan Tuhan tempat curhatanku. Detik demi detik terus saja berjalan, meski aku ingin agar semua ini tak cepat berlalu begitu saja. Terus terang saja, jika semua ini hanyalah semu, maka pupuslah harapanku ini. Hidup menjomblo selama 5 tahun dan hanya bisa merepotkan orang tua yang sudah sangat merindukan untuk menimang seorang cucu.

Lagu penutup tampaknya akan segera menyelesaikan segalahnya dalam kebaktian di gereja pada hari tahun baru ini. Serentak aku kaget dan tersipu malu saat gadis yang kupikirkan sedari tadi itu malah menatap dan tersenyum padaku. Dengan refleks aku pun membalas senyuman manis yang nampaknya akan mengubah duniaku itu. Mungkinkah dia membaca pikiranku?, tanyaku dalam hati. Sepenuh hati aku ingin menyapa dan membisikan selamat tahun baru ketelinganya yang putih dan memerah itu. Mungkin inilah rasa suka pada dirinya. Ingin kubertanya facebookmu apa? Nomormu berapa?. Namun sanggupkah aku menanyakan hal seperti itu?. Kebingungan memenuhi hati.

Kebaktian akhirnya selesai. Tak ada lagi alunan orgen yang menghiasi telingaku ini. Rasa sepi mulai menusuk relung hati yang paling dalam. Hati tak tenang dan jadinya geregetan. Tak mau kalah maupun salah langkah, tanpa membuang waktu, aku pergi dan menyapa bidadari yang jatuh dari surga tepat di hadapan tubuhku yang penuh dosa ini. Dengan wajah malu dan tatapan ragu-ragu kucoba untuk menyalaminya dan membisikan “happy new year” ketelinganya dengan mesrah.

Gadis pemain orgen itu lalu pergi dan menghilang entah ke mana?. Tanpa pamit dan identitas yang jelas dia hilang ditelan mentari yang akhirnya terbit sehabis hujan. Aku lalu menunduk sembari melihat sebuah benda yang diberikan gadis itu padaku. Yah, dan itu adalah sesuatu yang indah. Aku pulang dengan wajah berseri-seri. Kutatap langit yang mulai membiru dan kukatakan bahwa Tuhan itu memang baik. Aku mengerti bahwa jalan hidup manusia itu bukanlah seperti padi hijau yang mengering terbakar hembusan kenangan dan isak tangis, lalu mati terurai oleh bakteri. Jalan hidup manusia itu adalah sesuatu yang baru. Aku pun tak tahu apa yang akan terjadi pada kehidupanku selanjutnya. Mungkin aku akan bertemu lagi dengan gadis pemain orgen itu, setelah kartu namanya yang telah dia berikan padaku. Jalan hidup manusia itu sendiri adalah teka-teki yang sulit ditebak. Sebab itu, inilah jalan hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun