Performa sektor pariwisata Indonesia dalam hampir satu dekade terakhir ini membawa optimisme bagi banyak kalangan khususnya yang menjadi stakeholders di sektor ini. Gambaran pertambahan devisa yang signifikan, melejitnya brand campaign Wonderful Indonesia di berbagai belahan dunia, hingga meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) menjadi barometer yang mengindikasikan terjadinya kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Berpatokan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) secara year on year jumlah kunjungan wisman ke Indonesia di masa sebelum pandemi COVID-19 dalam kurun waktu 5 tahun (2015-2019)sejak terakhir di angka 9,435 juta wisatawan pada 2014, terus terjadi peningkatan secara kuantitas yang linear. 10.230.775 wisman (2015);  11.519.275 (2016); 14.039.799 (2017); 15.810.305 (2018); dan 16.106.954 (2019).
Angka di atas memang belum mampu mencapai target Presiden Joko Widodo pada periode pertama pemerintahannya yaitu 20 juta wisman di tahun 2019, dan fakta bahwa Indonesia masih ada di urutan 5 di bawah Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam dari jumlah kunjungan wisman secara keseluruhan di wilayah ASEAN tidak menjadikan kita pesimis.
Peningkatan kuantitas ini harus disikapi dengan pembenahan kualitas secara masif agar pariwisata kita mampu berkelanjutan dan membawa dampak lebih luas kepada kesejahteraan masyarakat.
Visi Pariwisata Kelas Dunia
Visi pembangunan pariwisata nasional kita adalah "Terwujudnya Indonesia sebagai negara tujuan pariwisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat." Ada tiga kata kunci penting yang kita temukan dalam visi ini, yaitu: kelas dunia, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI (2014-2019) pernah menyampaikan terkait positioning pariwisata Indonesia "Untuk menjadi global player, maka kita harus menggunakan global standard." Penekanan ini bertujuan agar pembangunan pariwisata nasional dapat direspon terukur secara baik dengan parameter Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) dari World Economic Forum (WEF) yang menjadi tolok ukur secara global.
Visi untuk menjadi negara tujuan pariwisata kelas dunia di atas harus dapat dipahami secara merata dengan kesamaan persepsi baik di level pusat maupun level daerah, pada tatanan pengambil kebijakan, formulator, maupun praktisi pariwisata hingga masyarakat luas.
Destinasi 'Kelas dunia' tentu tidak dapat dicapai dengan upaya-upaya dan tata kelola dengan standar 'kelas lokal' ataupun menyelenggarakan kegiatan pariwisata yang terkesan asal berjalan, asal promosi, dan asal dikunjungi.