Mohon tunggu...
Rustan Ambo Asse
Rustan Ambo Asse Mohon Tunggu... dentist -

Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin makassar, sekarang berdomisili Berau Kaltim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makassar 4 November 2016

7 November 2016   19:45 Diperbarui: 7 November 2016   19:56 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Aksi damai 4 November 2016"][/caption]

Matahari di makassar siang itu sangat panas dan terik.
Usai sholat Jumat di Masjid Al-Markas, orang-orang berkumpul dan berjejer menuju jalan utama, beberapa mobil yang dilengkapi dengan "sound System" dengan suara menggelegar, simpul massa yang beragam identitas tiba-tiba saja melebur menjadi barisan massa yang panjang. Orang tua, anak-anak, remaja, guru, dokter dan berbagai profesi meleburkan diri dengan barisan panjang para pengunjuk rasa.

Terik matahari yang menyengat dan pantulan rasa panas dari jalanan aspal tak menghentikan gerak langkah barisan massa. Beberapa masyarakat yang kebetulan lewat atau searah dengan barisan ikut menggabungkan diri. Air minum tiba-tiba saja berdatangan dari berbagai sukarelawan, menawarkan untuk pelepas dahaga.

Langit yang terang di siang itu menjadi saksi, bahwa sepanjang Jalan Urip Sumohardjo, di mulai dari pintu masuk Masjid Al-Markaz hingga kantor gubernur Sulawesi Selatan ribuan manusia telah memenuhi satu sisi jalan dengan tertib. Entah darimana datangnya beberapa orang bersorban dengan kantong plastik ditangan memungut bekas tempat air minum pengunjuk rasa, melihat hal tersebut rasa-rasanya hal tersebut memberikan pertanda bahwa demonstrasi hari ini telah direncanakan sedemikian matang, sehingga tidak memungkinkan seorang "wartawan" atau "media" tertentu memotret sampah-sampah berserakan dan menjadikanya berita utama.

Ribuan manusia berpakaian putih-putih tersebut berbaris dengan rapi, mobil-mobil angkot di persilahkan melawan arus jalan dan mempersilahkanya untuk lewat. Teriakan-teriakan orasi dari para orator sangat terkontrol, hari itu kita telah diingatkan sebuah masa lampau yang indah: Reformasi 98.

***

Ada banyak cinta yang kita tanam dalam dada kita masing-masing, begitu juga dengan hal-hal yang kita tidak setujui . Dalam konteks keberagaman kita kemudian berinteraksi dengan banyak sahabat yang berbeda keyakinan, suku, bahasa dan ideologi. Tapi semuanya akan baik-baik saja jika pluralisme diletakkan pada hati setiap orang, bukan sebagai pemanis di buku-buku, di seminar-seminar ataupun di ruang interaksi sosial setiap hari.

Jika cinta dan kedamaian itu diletakkan pada hatimu, mengapa menebar duka dengan kata-kata yang perlu seribu kali kau renungkan sebelum diucapkan. ketahuilah satu huruf dalam Al-quran yang dinistakan dapat menjadi beribu-ribu kekuatan yang melebihi dasyatnya revolusi Iran, dapat membangkitkan ghirahnya Buya Hamka dan reaksi dari seluruh umat muslim di dunia.

Jika yang anda maksud bahwa Nasionalisme di negeri ini hanya butuh pluralisme semata, anda salah besar. Pluralisme hanyalah sebuah kesepakatan, hanya sebagai penanda, bahkan dapat menjelma menjadi simbol semata.Bangsa ini ratusan tahun berdarah-darah di tangan penjajah dan bangkit atas kobaran semangat oleh orang-orang yang memiliki iman dan keyakinan. Bacalah sejarah, bagaimana ulama dan syuhada Islam melawan penjajah beratus-ratus tahun.

***
Pluralisme mestinya melahirkan benang merah perbedaan. Kenapa tidak belajar dari seorang Soe Hok Gie dengan ke-Indonesiaanya. Kritik sosial dan gagasanya sangat tajam, tapi universalitas humanisme yang dia miliki berjalan sinergis dengan gagasan pemuda-pemuda dan aktivis Islam pada jamannya. Sepanjang hidupnya dia bergesekan ide dengan aktivis HMI, tapi dari dirinya tak pernah ada kata makian dan mencoba menafsirkan kitab suci agama lain.

Jika benar dari batok kepala sebagaian orang-orang mengatakan bahwa gerakan aksi 4 November 2016 adalah gerakan rasialis, maka jawabanya tentu saja bisa iya dan bisa tidak tergantung persfektif apa kita memandang akar masalahnya.

1. Jika kita memandang aksi tersebut non rasialis, maka sudut pandang yang kita gunakan adalah bagaimana melihat realitas gerakan dan orasi-orasi dari orator pada saat aksi , isi tuntutan sudah jelas tangkap Ahok yang telah melakukan penistaan agama dan segera proses secara hukum.

2. Jika kita memandang aksi tersebut aksi rasialis, bisa saja itu dianggap benar karena penyataan Ahok yang mengutip surah Al-Maidah adalah awal dari semuanya. Jika benar Ahok adalah seorang politisi sejati dan memahami pluralisme, mengapa tidak fokus membahas masalah sosial dan problematika di Jakarta dengan pendekatan teori sosial yang dia pahami. Sebagaimana kita memahami umat nasrani, budha, hindu dsb apakah tidak menimbulkan respon dan sentimen yang sama jika isi kitab sucinya dijadikan sebagai jualan politik. Pertanyaanya siapa pula yang pertama mengeluarkan argumentasi rasialis dengan " dibodohi Al-maidah"?

Kawan, jika pada tanggal 4 kemarin, diantara jutaan umat Islam muncul penumpang gelap baik itu politisi ataupun penyusup, maka ketahuilah massa 2 juta manusia adalah jumlah yang sangat banyak. Apakah ilmiah jika seseorang menjustifikasi bahwa 2 juta manusia itu adalah pion politik? Atau mereka adalah naif?

Kawan, 2 juta manusia yang menuntut kepastian hukum tersebut adalah orang-orang yang bisa saja anarkis, dengan gelombang massa yang banyak konflik horisontal skala besar bisa saja terjadi, tapi faktanya secara umum semuanya aman terkendali. Ketahuilah mereka adalah orang-orang yang taat hukum, yang memiliki perasaan cinta damai lebih besar dari yang kita pikirkan.

Kawan...

Jika dua minggu ke depan kekuasaan dengan tangan hukum berusaha mengaburkan fakta dengan argumentasi hukum yang retoris, seperti kasus-kasus sebelumnya. Maka gelombang massa yang lebih besar mungkin saja akan menjadi jawaban.

Sungguh....

pada batas-batas apapun yang ada diantara kita, kita saling mencintai setiap etnis, suku, agama, dan segala keberagaman ke-Indonesiaan yang saling melengkapi. Agar kelak dikemudian hari semua berada pada kondisi setara, tapi seorang pemimpin adalah sosok yang harus memiliki integritas yang utuh, segala perkataan, perbuatan dan bagaimana dia memahami esensi pluralitas dapat tercermin dari caranya berbicara dan bersikap.

***
Hawa panas jalanan aspal kota makassar, dan pekik tuntutan hukum seantero kota-kota besar di Indonesia khususnya Jakarta sungguh merupakan gerakan anti anarki. Tapi anarki yang paling berbahaya dalam sejarah adalah anarki yang bercokol dalam benak dan batok kepala para penguasa yang zalim, kekerasan yang mereka suntikkan dengan cara halus melalui berbagai macam regulasi atas nama supremasi hukum, penggusuran atas nama keindahan kota, dan keyakinan beragama pihak lain yang dinista atas nama politik dan kekuasaan.

Kekerasan yang tidak nampak kerap muncul dengan wajah cantik di depan publik, dan pada satu sisi dapat menjadi hegemoni yang memabukkan, citra dengan hiperealitas yang dikemas oleh "oknum media massa". Yang juga kerap tergoda oleh kuasa yang menindas.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun