Mohon tunggu...
M Armeilian Fahriza
M Armeilian Fahriza Mohon Tunggu... Akuntan - Staf Divisi Akuntansi dan Perpajakan

Prokopton. Memiliki ketertarikan terhadap sejumlah isu baik sains teknologi maupun sosial humaniora. Di kala senggang, menekuni hobi yaitu membaca, menonton film, dan mendengar lagu.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

SBSN: Purwarupa Investasi Hijau ala Indonesia Maju

31 Juli 2022   23:26 Diperbarui: 31 Juli 2022   23:40 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Restorasi Sungai Sekanak-Lambidaro Palembang. Sumber: palembang.go.id

"I Have a Dream!"

Begitulah kata Martin Luther King Jr, seorang aktivis hak sipil kenamaan asal Amerika Serikat di hadapan pendukungnya pada tahun 1963. Hanya terdiri dari 4 kata namun memiliki makna lebih dari 4 kata. Setiap manusia memiliki definisinya sendiri ketika ditanya tentang mimpi. 

Walau memiliki definisi sendiri namun kita semua meyakini bahwa mimpi adalah penjaga asa terbaik sepanjang masa. Semangat "I Have a Dream" menyala menerangi asa setiap insan melampaui dimensi ruang dan waktu bahkan jauh lebih tua dari usia kalimat itu sendiri ketika menjadi tenar diucapkan dari mulut Martin Luther King Jr.  

Ada kalanya, mimpi yang tadinya bersifat individu dapat berubah menjadi mimpi kolektif. Mimpi kolektif terjadi ketika manusia berada dalam satu waktu, ruang, dan nasib atau dengan kata lain senasib sepenanggungan. 

Berbekal mimpi dan semangat berjuang, para pendahulu ketika berhasil memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Agar dapat terus terjaga, maka mimpi tersebut dikristalkan menjadi empat butir dan termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 

Adapun ke-empat butir tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Tujuh dekade berlalu pemerintahan negeri ini silih berganti namun butir-butir kristal mimpi itu masih abadi. Setiap pemerintahan memiliki caranya sendiri dalam menjaga kilau kristal tersebut. Pemerintahan saat ini dibawah Presiden Ir.H.Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H.Ma'ruf Amin membawa visi "Indonesia Maju". 

Sejak digulirkan pada tahun 2020, visi Indonesia Maju mengajak seluruh Rakyat Indonesia tanpa terkecuali untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. 

Jalan untuk mewujudkan mimpi bukanlah jalan mudah. Begitu pula dengan jalan ikhtiar Indonesia Maju. Dalam perjalanannya, berbagai tantangan ikut menghampiri. Salah satu dari tantangan tersebut adalah perubahan iklim.

Perubahan Iklim sebagai "Turning Point"

Sejenak, mari perhatikan sekeliling kita. Saat ini, berbagai istilah baru perlahan muncul dalam keseharian. Kita tidak asing lagi dengan istilah degredable, eco friendly, dan sustainable. Bermula dari istilah lalu turun menjadi kebiasaan. Sesederhana tidak menggunakan kantong plastik untuk belanja kecil demi menghemat Rp200. 

Produk dengan kemasan degredable semakin mudah dijumpai. Tanpa sadar, kita telah beraksi menyelamatkan bumi dari perubahan iklim. Kebiasaan-kebiasaan baik ini tidak hanya terjadi dalam individu namun telah melembaga dari satuan pendidikan, korporasi, hingga pemerintahan. 

Perlahan, perubahan iklim menjadi titik balik atau turning point dalam episode perjalanan peradaban manusia. Membuka babak baru untuk hidup yang lebih peduli. Semua negara di seluruh dunia tanpa terkecuali merasakan perubahan iklim. 

Dikutip dari menlhk.go.id perubahan iklim didefinisikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang United Nations Framework Convention on Climate Change sebagai perubahan pada iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan. 

Kaya Lee Berne dkk melalui artikelnya "Dunia Pada 2070" dalam National Geographic Indonesia Edisi April 2020 merekam proyeksi suhu, air, dan kerentanan terhadap perubahan iklim negara-negara di dunia tahun 2070. 

Ketiga proyeksi tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Kenaikan suhu berbanding lurus dengan tingkat kebutuhan air dan mendorong kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim.

 

Mengambil Peran melalui SBSN

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tentunya tidak ketinggalan ikut mengambil peran dalam aksi penyelamatan bumi. Surat Berharga Syariah Negara adalah jalannya. 

Merujuk pada Peraturan Bank Indonesia No.17/19/PBI/2015, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset Surat Berharga Syariah Negara, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing. 

SBSN bersama Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman berperan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai penambal celah/gap antara pendapatan dan belanja negara. 

Mengapa pemerintah menggunakan salah satu instrumen pembiayaannya ini sebagai alat kebijakan iklim? Menurut penulis, terdapat dua hal yang melatarbelakangi hal tersebut. Kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. 

Pertama, tata kelola. SBSN dijamin oleh Undang-Undang. Dalam prosesnya merujuk kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002, pemerintah terlebih dahulu harus berkonsultasi kepada Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan dealer utama serta meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Khusus SBSN, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia dilibatkan sebagai penjamin prinsip syariah. Kedua, prospek. 

Dengan tata kelola yang begitu apik ditambah dengan imbalan kompetitif mengikuti BI 7 Day Reverse Repo Rate, dikutip dari kemenkeu.go.id melalui Sukuk Ritel seri SR016 yang merupakan produk turunan SBSN pemerintah berhasil memperoleh Rp18,4 Triliun.

Dengan dua modal besar tersebut, pada tahun 2018 untuk pertama kalinya pemerintah menerbitkan sukuk hijau untuk pasar global dan berhasil memperoleh U$ 1,25 Miliar. 

Keberhasilan ini mendaulat Indonesia sebagai negara pertama dan terbesar penerbit sukuk hijau. Untuk pasar dalam negeri, pemerintah juga menanamkan semangat berinvestasi hijau melalui Sukuk Tabungan seri ST008 tahun 2021 dan berhasil memperoleh Rp5 Triliun.   

Hingga tahun 2021 dikutip dari laman kemenkeu.go.id nilai total proyek yang dibiayai dari SBSN sebesar Rp175,38 triliun. Secara garis besar, profil proyek-proyek tersebut beirisan erat dengan prinsip ESG dan Visi Indonesia Maju yang sama-sama mengedepankan lingkungan, sosial, dan tata kelola seperti diantaranya Restorasi Sungai Sekanak-Lambidaro Palembang,  Jembatan Youtefa Papua, dan Asrama Haji Makassar.

Momentum Presidensi G20 2022

Tahun ini, Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. G20 adalah sebuah forum kerjasama multilateral 19 negara bersama Uni Eropa. 

Melalui momentum G20, Indonesia dapat menunjukkan sekaligus menawarkan mekanisme pembiayaan SBSN kepada negara mitra sebagai solusi cerdas investasi hijau ala Indonesia yang tidak hanya menguntungkan dari sisi investasi namun ramah lingkungan, sosial, dan tertib tata kelola. 

Bukan tidak mungkin setelah melihat langsung kesuksesan tersebut, akan terbuka peluang baru bagi Indonesia dari mitra G20 di pasar investasi hijau dengan tujuan spesifik selayaknya penerbitan Samurai Bonds tahun 2020 untuk Pasar Jepang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun