Mohon tunggu...
Almanico Islamy Hasibuan
Almanico Islamy Hasibuan Mohon Tunggu... Bankir - Saya adalah Forever Blues.

Saya hobi menulis dan bermain sepak bola seperti Eden Hazard.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya-budaya Masyarakat yang Semakin Memudar

29 Agustus 2022   13:11 Diperbarui: 29 Agustus 2022   13:14 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Budaya yang saya maksud di cerita ini bukanlah budaya dari suku-suku di Indonesia, tapi lebih ke budaya dalam berkehidupan di masyarakat. Mereka mulai memudar seiring majunya zaman. Apakah ada kaitannya?

1. Budaya Antri

Budaya Indonesia yang sering kita baca di buku pelajaran masa sekolah dasar. Budaya mengantri adalah budaya Indonesia, baik dalam membeli sate, lontong, dll. Bagaimana dengan sekarang? 

Budaya ini memang tidak hilang sepenuhnya, bagi yang sudah menerapkannya sejak kecil akan terus bertahan. Mengapa mulai memudar seiring majunya zaman? Zaman kita identik dengan efisiensi, lebih mengutamakan yang efisien. 

Kasarnya mau cepat selesai baik dengan cara apa pun, lebih menyukai yang instan. Apakah mereka berpikir bahwa dunia ini seperti dunia kapur yang ditulis akan langsung muncul? Urusan mereka ingin cepat selesai tanpa menunggu lama.

2. Budaya Buang Sampah pada Tempatnya

Hal ini juga sering kita baca di buku pelajaran masa kita sd dulu. Hal ini juga diajari di sekolah. Barangsiapa yang ketahuan membuang sampah sembarangan, akan disuruh membersihkan kamar mandi. The horror in primary school is cleaning the toilets. Budaya ini juga semakin memudar seperti cat rumah yang telah ditinggal selama sepuluh tahun. 

Buktinya, lihatlah sungai. Apakah ada sungai yang tanpa memiliki  pewarna? Apakah masih banyak sungai dengan rasa air asli? Jika kau ke pedalaman memang masih banyak, namun tidak tahu untuk ke depannya. Berbeda jika kita di kota, pemandangan sungai asli tanpa bumbu dan pewarna sudah jarang kita lihat. 

Sungai asli itu sendiri memiliki suatu fungsi non konsumsi. Apakah itu? Jika kau stres, pergilah ke sungai, tatap atau ambil pancingan. Stres level akan menurun apalagi jika kita mendapat ikan.

Hal ini juga berkaitan dengan efisiensi. Mereka yang tidak dapat menemukan tong sampah dan malas mencarinya, akan langsung berpikir cepat dan membuangnya langsung ke alam. Kenapa tidak kau kantongi saja? Kalau sampahnya basah? 

Bawa kantong plastik untuk menyimpan sampahmu jika daerah yang kau kunjungi memiliki tong sampah yang sedikit. Hal ini sangat bagus diterapkan jika anda sedang berada di kendaraan. Jangan asal buang ke jalan. Coba bayangkan, petugas kebersihan yang memungut sampahmu bisa saja tertabrak saat mengambilnya di jalan.

3. Budaya Gotong Royong

Hal ini sering saya lihat waktu masih bocil di hari-hari libur. Bapak-bapak akan bekerja sama baik membersihkan got dan membantu pembangunan rumah, sedangkan ibu-ibu akan berkumpul dan membuat makanan beserta minuman untuk dinikmati oleh bapak-bapak. Anak-anak akan bermain bebas karena orang tuanya keluar rumah. 

Momen inilah yang membentuk kebersamaan, namun kebersamaan ini mulai memudar. Gampang, tinggal panggil dan sewa tukang atau pihak yang bertugas. Utamakan efisiensi. Ada sesuatu yang kita dapatkan jika dilaksanakan secara gotong royong. 

Kita seperti dimanjakan oleh pemikiran efisiensi ini, padahal mereka akan semakin sehat, dekat antar sesama tetangga, menyambung silaturahmi, saling membantu, dan banyak pelajaran lainnya yang sudah sulit kita dapatkan di masa sekarang. 

4. Budaya Mindset Keberlanjutan

Mengapa budaya ini juga memudar? Hal inilah yang paling crucial untuk keberlangsungan kehidupan kita, semakin lama semakin berkurang. Tidak ada lagi lubuk larangan, tidak ada lagi yang peduli terhadap hutan, laut, dan semua sumber kehidupan lainnya. 

Mengapa begitu? Mengapa masalah lingkungan semakin parah selain dari mindset keberlanjutan yang hilang tersebut? Mindset tersebut digantikan oleh mindset yang lebih buruk. Mindset ekonomi. 

Mereka lebih mengutamakan keuntungan daripada lingkungan. Tidak apa-apa rusak, yang penting untung. Mereka berebutan mencari keuntungan ini tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya, setelah terkena dampaknya langsung menyalahkan pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab. 

Pertumbuhan ekonomi memang identik dengan peningkatan kerusakan lingkungan, seperti pada zaman industrialisasi, asap pabrik di mana-mana. Kita juga bahkan pernah mengalami hujan asam akibat polusi pabrik tersebut, tapi bagaimana setelah pertumbuhan ekonomi kita sudah sangat bagus, namun lingkungan sudah mencapai kerusakan yang tidak bisa dipulihkan kembali? Apakah kita harus mencari planet baru?

Semua penyebab di atas bisa dijawab dengan satu jawaban. Semuanya sudah lebih mementingkan dirinya sendiri. Kita bahkan bisa mengatakan, hanya teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengalami kemajuan. Moral, etika, kepedulian lingkungan, semuanya istirahat di tempat. 

Aku bahkan tidak terkejut jika kita sebentar lagi akan seperti di film-film fiksi, tumbuhan tidak dapat tumbuh lagi, dunia sudah ditutupi air, dan banyak kejadian kerusakan lingkungan lainnya. Bersiap-siaplah. Padahal, aku masih ingin memancing di masa pensiun nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun