Mohon tunggu...
Kuncoro Adi
Kuncoro Adi Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di semarang, tinggal di Jakarta. Penulis, editor buku dan pembicara publik. Tulisan tentang kerohanian, bisa di akses di blog pribadi http://kuncoroadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perkawinan dan Perceraian (Perspektif Kristiani)

20 Juni 2013   10:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:42 2309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

2.3. Perkawinan sebagai persekutuan yang eksklusif Maksudnya, perkawinan kristen itu secara eksklusif hanya terdiri dari dua orang saja, yaitu suami dan istri. Tidak ada pihak ke tiga disana! Keadaan eksklusif ini harus dipertahankan baik dalam suka, maupun dalam duka. Disini prinsipnya tidak mengenal WIL (Wanita idaman lain) atau PIL (Pria idaman lain) atau yang hanya sekedar menyerempet bahaya semacam TTM (teman tapi mesra). Yang ada hanya satu suami untuk satu istri. Titik. Ini baru eksklusif namanya!

2.4. Perkawinan sebagai suatu persekutuan-hidup yang kontinyu Maksudnya kontinyu disini adalah bahwa persekutuan antara suami dan istri adalah pesekutuan yang terus-menerus. Tidak boleh berhenti. Sekali seseorang memasuki jenjang perkawinan, ia terikat terus-menerus dengan pasangannya! Hubungan kasih yang kontinyu ini merupakan cerminan dari kesetiaan Allah sendiri yang berkenan secara kontinyu mengasihi umat-Nya (pengantin perempuan). Tuhan Yesus menegaskan hal ini dengan mengatakan : ” Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat.19:6 ; Mrk.19:9).

2.5.Perkawinan sebagai suatu persekutuan-percaya Yang dimaksud disini bukan berarti bahwa suami istri harus selalu mempunyai pendapat yang sama. Tetapi intinya, sebagai suami dan istri yang telah dipersekutukan oleh Allah mereka seharusnya memiliki banyak persesuaian dalam hal-hal yang prinsipil! Seperti dalam hal makna hidup, maksud dan tujuan perkawinan, pembagian tugas suami-istri, tangung jawab orang tua, bagaimana mengelola uang, pendidikan anak dan sebagainya. Persesuaian atau kesepakatan ini penting, sebab kalau tidak ada persesuaian maka akan terus terjadi pertengkaran. Dan pertengkaran yang terus menerus bisa menggoyahkan sendi-sendi perkawinan yang sudah dibangun dengan susah payah.

TENTANG PERCERAIAN

Dalam pembahasan di depan sudah dikatakan bahwa pada hakekatnya kekristenan tidak mengenal adanya perceraian. Asas indisolubility tidak memberi tempat bagi adanya perceraian ini. Ini adalah bentuk idealnya.

Tapi dalam prakteknya, kemudian ada yang bertanya : Apakah hukum itu (tidak boleh bercerai) mutlak adanya? Apakah sama sekali tidak ada pengecualian ? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat.

Pertama, ada yang menjawab tegas bahwa perceraian karena alasan apapun tidak diperbolehkan. Yang diijinkan hanya hidup berpisah, bukan bercerai. Pandangan ini dipegang oleh gereja Roma Katholik.

Kedua, gereja-gereja protestan umumnya lebih moderat. Prinsip umumnya bercerai itu tidak boleh. Tapi ada kasus-kasus tertentu -kasus-kasus yang sangat istimewa- (border line cases) dimana perceraian dimungkinkan. Kasus istimewa itu misalnya adalah perzinahan yang permanen (jadi bukan hanya sekali dua kali berzinah) . Atau perkawinan yang sudah gagal total, yang tidak berfungsi lagi sebagaimana dikehandaki Allah. Suami istri sudah tidak mau berbicara lagi, malahan sering melakukan pemukulan. Suami sudah berbulan-bulan hidup dengan wanita lain dan sebagainya.

Tuhan Yesus nampaknya juga mempertimbangkan beberapa kasus istimewa yang memungkinkan terjadinya perceraian, terutama karena zinah (lih.Mat.5:32 ;19:9). Saya pribadi berpendapat, bahwa idealnya –das sollen- perkawinan itu tidak boleh diceraikan. Tetapi dalam kenyataannya – das sein- kemanusiaan kita yang berdosa membuat kita tidak bisa memenuhi standar yang ditetapkan Allah. Maka perceraian dimungkinkan untuk kasus-kasus tertentu dimana patokannya adalah : hakekat perkawinan itu sudah hancur dan tidak mungkin lagi diperbaiki! Perkawinan itu sudah tidak sesuai dengan maksud Allah yang semula ketika menggagas sebuah perkawinan. Dengan demikian perceraian bisa dikategorikan sebagai apa yang dalam ilmu etika disebut Evil-nescessity – mendiang Eka Darmaputera mempopulerkannya dengan istilah : Jahat-tapi-apa-boleh-buat.

Jadi sebenarnya perceraian itu adalah sebuah tindakan yang ”jahat”, buruk dan berdosa, tetapi apa boleh buat, kerena kondisi tertentu, hal itu mungkin untuk dilakukan! Dengan mengatakan semua itu, bukan berarti kita lalu menganggap remeh sebuah perkawinan. Tidak! Perkawinan tetap harus dijaga kelanggengannya. Dan harus diupayakan supaya hanya maut yang boleh memisahkannya. Kalau pun toh akhirnya terjadi kasus istimewa dimana perceraian dimungkinkan, itu harus dilihat sebagai sesuatu yang jahat, buruk dan berdosa! Sebab hal itu melanggar Firman dan kehendak Allah!

Catatan

[1] Easton’s Bible Dictionary, Marriage,CD Rom.

[1] J.L.Ch Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994) hal.55

[1] J. Verkuyl, Etika Kristen seksuil (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989) hal.60

[1] J.L.Ch Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994) hal.61-75

[1] J. Verkuyl, Etika Kristen seksuil (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989) hal.113

[1] Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua : Perkenalan Pertama , (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989) hal.145

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun