Â
Sebelumnya dengan segala kekurangan saya sebagai penulis pemula mencoba bernostalgia dengan masa dimana saya pernah menimba Ilmu tujuan dari penulisan tersebut ialah ingin menyegarkan Fikiran kita akan perasaan cinta pada symbol lalu dengan gampang melupakan isi yang sebenarnya harapan kita semua kiranya dalam mencetak generasi harapan bangsa ini tidak hanya sekedar Lulusan siap menganggur, akan tetapi terlepas dari alasan apapun itu jujur saja saya ungkapkan tidak ada kebencian yang menguapkan kemarahan yang menimbulkan dendam kesumat diantara kita.
S
uatu ketika saya dapat kenalan Mahasiswa ITB disitu saya banyak berbincang seputar kesan_kesan sewaktu kuliah, dan belaiu dengan raut wajah gembira menceritakannya: tidak ada jarak antara Dosen dan Mahasiswa saling berinteraksi dalam mengembangkan suatu karya lantas setiap kegiatan pun ditanggulangi pihak kampus. mendengar itu saya berdecak kagum masih bisa kah hal yang seperti itu bisa terlaksana di Sibolga yang punya 8 Sekolah Tinggi, pada suatu kesempatan saya mengamati pola Komunikasi Intelektual mengerucut artinya mahasiswa tidak punya ruang gerak yang luas dalam menggali potensi lingkungan sosial&alam(Environment Natural&Social) sementara aktifitas pembelajaran berhenti sampai ke Dosen saja, yang katanya kampus Ya boleh saja bilang kampus mungkin kampus kampung.betapa tidak penggapai ilmu masih pakai baju seragam layaknya anak sekolah, Senin_Kamis putih hitam, Rabu_Kamis baju cokelat, Jum’at_Sabtu pakaian bebas rapi. Ada cerita lain dibalik itu semua yakni pengangkatan dosen harus punya ikatan emosional, pola belajar tidak jauh beda dengan anak SMA dan tak kalah pusing nya kepala saya ialah prospek kelulusan tidak jelas ya boleh dibilang hanya beli kertas saja. Hal ini juga memprihatinkan bagi batang tubuh pendidikan. Intinya kampus keramat yang sepi tanpa pergolakan pemikiran sunyi dari hiruk_pikuk menggali kreatifitas.
PELACURAN INTELEKTUAL
Kuliah bukanlah ketentuan dinegri ini namun sebuah keputusan artinya tanpa sarjana banyak diantara kita yang membuktikan akan hal itu mereka bisa berhasil sukses sebut saja Menteri Kelautan RI Susi Pudjiastuti sukses dibidang bisnis ikan dan mungkin banyak kisah hidup orang sukses yang tidak populis apalagi diekspos. Perguruan ibarat rumah tempat macam_macamnya laku dan bawaannya pula.kuliah proses pematangan sikap tadi sedangkan sarjana hanyalah simbol kehormatan yang diraih. lalu yang menjadi fokus persoalannya ialah banyak diantara kaum intelktual indonesia melacurkan diri dengan membuat pt palsu hal itu terjadi lantaran gaya hidup kita yang serba cepat tpi meninggalkan mutu. Disana_sini sudah pasti meninggalkan beberapa buah pertanyaan 1. Dorongan apa yang membuat PT itu berdiri tanpa Prospek masa depan yang jelas ?, 2 sejauh ini Lulusan mana yang betul_betul siap kerja ?,
DILEMATIS SOSIAL
Pada kesempatan berkali_kali ini saya akan coba menguraikan pada pemirsa peranan kuliah di Zaman Digitalisasi Abad_21, beberapa hari yang lewat televisi maupun media lokal menyiarkan kebobrokan dunia pendidikan Indonesia. mengapa demikian bisa terjadi Pertama Dilematis Sosial coba anda lihat dibumi pertiwi ini sarjana masih saja diupah dengan recehan rupiah dan bahkan prospek karir yang tidak jelas. mari kita lihat Index SDM manusia Indonesia Rektor Institut Teknologi Surabaya Triyogi Yuwono menyatakan jumlah partisipasi kasar penduduk yang mengenyam Pendidikan Strata 1 baru 20 persen, alias mencakup 6 juta orang. Padahal, populasi penduduk produktif di negara maju yang sekolah hingga sarjana amat tinggi. Sebagai perbandingan, di Korea Selatan, penduduk berusia 18-24 tahun yang menempuh studi sarjana mencapai 90 persen.
Kedua Tantangan Global menyinggung akan kualitas para lulusan yang diharapkan mampu menjadi motor perekonomian lantas bagaimana dengan perguruan kita saat ini saja disumut ada 27 pts abal –abalk yang ditutup menandakan bahwa intelektual punya nilai tinggi untuk dilacurkan Untuk diketahui, Lembaga Studi McKinsey menyatakan Indonesia berpeluang naik kelas menjadi kekuatan ekonomi ketujuh dunia. Itu bisa dicapai pada 2030, asal ada peningkatan konsumsi dari kelas menengah yang populasinya berpotensi melampaui 100 juta jiwa.
Kalau ditanya soal lulusan siap kerja naif sekali ditengah_tengah masalah politik masih hangat untuk dibincang namun demikian saya berfikir perlunya mengonsep kurikulum tinggi yang berpatokan pada dunia kerja. mengutip pendapat dari; Quality Assurance Agency for Higher Education (2004) menetapkan bahwa suatu program studi harus memiliki standar capaian (standard achievement) kompetensi lulusan yang dihasilkan. Standar capaian kompetensi diwujudkan dalam bentuk kinerja lulusan yang diklasifikasikan menjadi tiga tingkat yaitu
- Treshold performance, yaitu kinerja kompetensi minimal yang harus dimiliki lulusan untuk mendapatkan gelar jenjang pendidikan tertentu.Â
- Typical performance, yaitu kinerja kompetensi diatas minimal yang harus dimiliki lulusan untuk mendapatkan gelar jenjang pendidikan tertentu.Â
- Excellent performance, yaitu kinerja kompetensi lulusan yang jauh diatas kompetensi dan ketrampilan yang ditetapkan.
Dari ketiga standart tersebut secara sederhana bisa dikatakan bahwa Dunia Pendidikan harus mampu meyakinkan bahwa SDM yang dihasilkannya akan mempunyai kompetensi yang mampu bersaing dalam Era Global. Oleh karenanya, program-program pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberi bukti keterbentukan kemampuan / kompetensi yang dianggap relevan dengan dunia kerja dalam era global. Kemungkinan lain dari terjadinya kesenjangan ini di perguruan tinggi adalah belum adanya pemahaman yang sama tentang kompetensi dan kualifikasi lulusan yang akan dihasilkan oleh program studi. Bahkan tidak mustahil pemahaman tentang konsep kompetensi dan kualifikasi itu sendiri masih beragam. Di luar soal kompetensi generik, bagi perguruan tinggi yang mengelola pendidikan dengan program studi dalam bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam berkewajiban untuk mencetak lulusan yang secara khusus berkompeten. Mengingat tantangan dan peluang yang sangat Dinamis, maka lulusan harus memiliki daya saing, dalam bentuk: kompetensi di bidangnya (competence), mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptability), memiliki kemampuan mengakses pengembangan ilmu (accessibility), dan memiliki karakter (personality) yang baik.
LULUSAN TUNA GUNA
Masih segar dalam ingatan saya sewaktu kuliah dosen senior saya pernah mengajukan pertanyaan yang kritis namun susah untuk dijawab, katanya begini; Apakah anda siap bekerja diluar tuntutan akademik yang saudara pelajari,? Hanya hitungan jari para mahasiswa menjawabnya sementara yang lain bingung bahkan tidak peduli akan masa depan yang lebih jelas lagi. Kita semua berikut element bangsa ini mengharapkan keahlian Akademik dari pekerja lebih utama daripada mereka kerja tanpa Fokus kemajuan pribadi yang berdampak pada hasil produktifitas yang diapat, kini lulusan dihadapkan pada dunia kerja diluar tuntutan bangku kuliah ini tantangan sekaligus juga peluang, tantangannya terletak pada dinamika perubahan diri lebih terbuka, suka bekerja sama sedangkan peluang bertitik tolaknya pada maunya kerja semata tanpa mengetahui apa yang harus dikerjakan. akibat dari ini pasti mengurangi minat investor untuk menanam sahamnya didalam negeri atau lulusan kita hanya dipekerjakan pada sebagai budak. jadi solusinya segarkan kampus dengan menghadirkan kurikulum yang bisa mengintip dunia kerja, pengangkatan dosen disertai dengan tanggung jawab intelektual, hidupkan kampus dengan berbagai karya intelektual maupun fisikal.
Oleh; Wahyu Bobi Handoko Lubis
Penggiat Budaya Pesisir_Penikmat Masalah Sosial BudayaÂ
Peneliti Madya Di Departemen Antropologi USU&UI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H