Polemik mundur tidaknya Walikota Surabaya Tri Rismaharini menjadi perbincangan banyak kalangan. Rata-rata mereka simpati akan keberadaan  Bu Risma.  Prestasinya yang dalam waktu 3.5 tahun dalam membanguan Surabaya sudah banyak di akui bukan hanya lembaga-lembaga yang ada di Indoesia, tapi juga luar negeri.  Dalam acara  Mata Najwa terungkap  bahwa Bu Risma mengalami tekanan yang akhirnya beliau harus mengambil sikap untuk "mundur". Walaupun di desak oleh Najwa sang pembawa acara agar berjanji untuk tidak mundur.  Namun Bu Risma tidak berani untuk  berjanji.
Dugaan yang selama ini beredar adalah karena pengangkatan wakil walikota yang sebenarnya dulu bernisiatif menggalang pemakzulan dirinya. Ada juga dugaan kalau sikap beliau terhadap pembangunan jalan tol ditengah kota yang melibatkan pengusaha dan penguasa di atasnya. Banyak dugaan yang sebenarnya publik ingin tahu ada apakah gerangan.
Bu Risma merupakan walikota yang didukung oleh PDIP yang dalam pencalonannya melibatkan kader tulen PDIP Â Bambang DH. Â Sedangkan Bu Risma asalanya birokrat sejadi di pemkot Surabaya. Jadi sebenarnya Bu Risma bukan kader tulen PDIP yang di"besarkan" oleh PDIP. Â Seiring berjalannya waktu ternyata kemampuan bahkan elektabilitas Bu Risma semakin naik, karena di anggap tokoh yang mampu mengimbangi elektabilitas Jokowi yang sama-sam berasal dari PDIP.
Saya menduga sebenarnya tekanan yang di hadapi oleh  Bu Risma berasal dari partai pengusungnya sendiri. Berkaca dari usulan pemakzulan dirinya pada awal menjabat juga justru berasal dari internal partai pengusungnya. Lalu apakah DPP tidak turun tangan.  Kalau untuk kasus yang pertama nampaknya DPP harus turun tangan untuk menyelesaikannya. Sehingga pemerintahannya aman.  Nah untuk kali ini seakan-akan DPP membiarkan sehingga "Bu Risma mundur dengan sendirinya".  Kenapa, menurut pendapat saya nama besar Bu Risma membahayakan orang-orang DPP.  Kita juga melihat bagaimana kapasitas Megawati ataupun Puan Maharani yang justru elektabilitasnya di kalahkan sama Jokowi.  Seandainya Bu Risma bilang "ya" saja ketika di tawarkan sebagai capres atau cawapres pasti elektabilitasnya 11-12 sama Jokowi.
Itulah dinamika yang terjadi di PDIP yang sebenarnya banyak melahirkan tokoh perempuan di eksekutif, misalnya Rustriningsih atau Rina Iriani. Tapi nampaknya mereka baru sebatas di jajaran Wakil Gubernur atau Bupati. Â Semacam ada rasa ketidakrelaan ketika kader-kader perempuannya muncul di level paling tinggi. Gagalnya pencalonan Rustriningsih dalam pilkada Jateng adalah salah satu buktinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H