Mohon tunggu...
Irvan Sembiring
Irvan Sembiring Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

jangan pernah menilai dari kovernya, tapi percayalah kovernya itulah yang selalu dinilai orang!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menerobos Antrean, Dua Pemuda Dihukum Push-Up

4 Juni 2012   03:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:25 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agaknya ini menjadi pembelajaran bagi masyarakat kita bahwa budaya tertib sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan. Asalkan ada kemauan dan peraturan yang jelas, ditambah lagi dengan kelengkapan perangkat. Buktinya setiap hari ribuan masyarakat Jakarta rela berjejalan mengantre untuk diangku bus TransJakarta yang biasa disebut Busway. Masyarakat dengan ikhlas atau dengan terpaksa menunggu sampai antrean mengular panjang memenuhi halte. Namun keikhlasan masyarakat untuk taat aturan ini masih berbenturan dengan kesiapan perangkat peraturan dan fasilitas yang tersedia. Ketersediaan armada Transjakarta masih dianggap belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini berdampak semerawutnya antrean. Saling mendorong untuk masuk bus sering terjadi. Bahkan tak jarang aksi serobot antrean kerap terlihat. Tak pelak aksi tersebut sangat menjengkelkan bagi masyarakat lain yang juga mengantre.

Seperti pada sore itu, 1 Juni 2012, penulis baru saja pulang dari kantor. Penulis memilih menggunakan jasa TransJakarta. Seperti biasanya, jam pulang kerja merupakan puncak membludaknya pengguna Busway. Benar saja, halte Harmoni yang menjadi sentral keberangkatan bus ke berbagai penjuru sudah dipenuhi calon penumpang. Penulis sendiri hendak menaiki bus jurusan Harmoni-Blok M yang antreannya sudah panjang berkelok-kelok.

Suasana antrean bus terkesan tenang dan lengang. Para calon penumpang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang ber-BB ria, ada juga yang berkipas-kipas kepanasan, yang mengobrol juga banyak, namun tak sedikit pula yang pelangak-pelongok, bengong dan berdiam diri. Ketenangan antrean ini sedikt tercoreng dengan aksi dorong-dorongan yang terjadi ketika bus yang dinanti tiba. Saling dorong itu merupakan akumulasi dari keinginan masyarakat supaya terangkut ditambah lagi kelamaan menunggu.

Setelah kurang lebih 20 menit menunggu, sampailah penulis di antrean depan pintu masuk halte. Di depan penulis ada lima orang. Perkiraan penulis pasti bisa terangkut pada bus berikutnya. Sedikit melirik ke belakang, penulis melihat antrean panjang yanng semakin menggila. Antrean sampai menutupi sebagian jalan yang biasa digunakan penumpang keluar masuk halte.

Tiba-tiba, dua orang pemuda yang entah darimana datangnya masuk menerobos ke antrean terdepan. Mereka berada dua baris di samping penulis. Di samping penulis ada dua perempuan. Sontak saja hal itu menimbulkan keributan dan protes.

“Antre donk”

“Dasar gak laki, lu...”

“huuu..”

Dua pemuda tadi hanya cengengesan dan pura-pura tidak tahu menanggapi omelan penumpang lain. Namun kenikmatan mengantre terdepan hanya sebentar dinikmati kedua pemuda tadi. Seorang bapak paruh baya yang berada di antrean belakang melaporkan kejadian itu kepada petugas. Langsung saja petugas menarik pemuda yang ditunjuk bapak paruh baya keluar antrean.

“Kamu ini tak tahu malu, tak tahu aturan. Masih muda saja tidak tertib. Malu donk sama yang sudah lama mengantre. Ayo push-up!”, terdengar suara keras dan tegas sang petugas.

Si pemuda hanya terdiam menjalani hukuman. Tak kurang lima belas kali badannya naik turun, push up.  Dirinya pun berjalan menunduk tatkala petugas menyuruhnya berhenti dan menyuruhnya mengantre di bagian belakang.

“Pak, yang itu satu lagi tu.” Teriak si bapak paruh bayai menunjuk pemuda yang satu lagi.

Tak pelak pemuda yang satunya juga mendapat hukuman serupa.

“Terima kasih sudah diingatkan, Pak. Kontrol sosial seperti ini memang harus diperlukan. Memang tidak ada peraturan hukumnya, tapi ini menyangkut etika.” Sang petugas tersenyum ramah kepada si bapak.

“Iya, Pak. Mereka berdua itu tadinya antre di depan saya, tapi mereka menerobos lewat lubang kecil palang ini.” Si bapak menirukan cara menerobos melewati palang besi yang berfungsi membatasi antrean yang berbeda tujuan.

“Kalau pemuda seperti itu masih mendominasi negeri ini, kapan majunya Indonesia ya, Pak?” tanya sang petugas retoris.

Begitulah Indonesia dengan segala hitam putih warna hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun