Mohon tunggu...
Aditya Salim
Aditya Salim Mohon Tunggu... Konsultan - Law enthusiast

Write to educate

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Indonesia-Vietnam: Intrik di Balik Konflik 2

15 Mei 2019   11:10 Diperbarui: 15 Mei 2019   18:59 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul "Indonesia-Vietnam: Intrik Dibalik Konflik". Untuk dapat mengikuti dengan baik tulisan ini, alangkah baiknya bagi pembaca jika sudah membaca tulisan pertama dan menonton video Youtube unggahan Bapak I Made Andi Arsana dengan judul "Perseteruan Indonesia dan Vietnam di Laut (Natuna Utara)".

Dari tulisan pertama, kita telah mengetahui beberapa hal, yaitu:

  • Straight baseline Vietnam saat ini ditetapkan dengan tidak memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana tercantum dalam Konvensi tentang Laut Teritorial 1958 (KLT) yang kemudian diadopsi dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Oleh karena itu garis straight baseline tidak dapat digunakan dan terjadi perubahan konfigurasi garis zona maritim Vietnam.
  • Perubahan konfigurasi tersebut berdampak pada beberapa hal:
    • wilayah perairan yang sebelumnya diklaim sebagai perairan pedalaman (internal waters), yaitu perairan yang berada di antara bibir pantai dan pulau-pulau di depannya, sebagian akan menjadi laut territorial milik Vietnam dan sebagiannya lagi Zona Ekonomi Eksklusif. Jika dilihat dari sudut pandang kebebasan berlayar (freedom of navigation), perubahan ini merupakan hal yang signifikan. Selain itu jika dilihat konteks pengelolaan sumber daya juga terdapat perubahan yang signifikan karena adanya perbedaan rezim hukum untuk pengelolaan sumber daya antara perairan pedalaman dan ZEE.
    • niscaya akan ada perubahan luasan wilayah tumpang tindih ZEE Indoensia dan Vietnam.
    • Kehadiran kapal perikanan Vietnam dan Vietnam Coast Guard dalam konteks "mendorong" terwujudnya single line (yaitu batas ZEE Indonesia dan Vietnam menggunakan garis yang sama yang menjadi batas landas kontinen Indonesia dan Vietnam). Sebagai catatan, posisi garis batas landas kontinen Indonesia dan Vietnam saat ini adalah lebih selatan (lebih dekat ke Indonesia) jika dibandingkan dengan proposal garis batas ZEE yang diajukan oleh Indonesia (yang posisinya berada lebih utara).

Kali ini saya akan mencoba membahas beberapa skenario delimitasi maritim Indonesia dan Vietnam, dan memberikan perhatian khusus kepada pulau-pulau yang berada di depan bibir pantai Vietnam. Pembahasan mengenai pulau, terutama dalam kaitannya dengan zona maritim dalam hukum internasional merupakan pembahasan yang amat sangat menarik. 

Isu ini tidak selesai dianalisis dengan ilmu hukum semata, namun harus juga melibatkan pengetahuan mengenai sejarah dan ilmu bumi. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjadi tulisan yang dapat terus berkembang bergantung pada seberapa kaya informasi mengenai sejarah dan ilmu bumi yang dapat ditambahkan oleh para pembaca. Latar belakang pendidikan penulis, yaitu ilmu hukum, perlu mendapat banyak masukan dari para pembaca untuk membangun kesimpulan yang solid.

Pertanyaan utama yang menjadi landasan pembahasan tulisan ini adalah, "bagaimanakah konsep single line yang diajukan oleh Vietnam dari kacamata hukum laut internasional?"

Pertama-tama, proses delimitasi maritim sejatinya adalah proses perundingan untuk mencapai sebuah kesepakatan garis batas. Sebagaimana nature sebuah kesepakatan, apapun bisa terjadi sepanjang kedua belah pihak setuju. 

Namun demikian, Indonesia dan Vietnam sebagai bagian dari UNCLOS tentu terikat pada rambu-rambu yang diberikan oleh UNCLOS untuk perundingan batas maritim ini. Kesepakatan yang "menyimpang" dari UNCLOS sangat kecil kemungkinan terjadi karena tentu Indonesia dan Vietnam masing-masing memiliki kepentingan untuk wilayah lautnya.

Penentuan garis batas ZEE sangat ditentukan dari garis pangkal (baseline) sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan pertama. Dalam konteks ini, terdapat 2 skenario yang bisa muncul. Pertama, garis batas ZEE Indonesia-Vietnam adalah garis tengah yang "dihitung" dari garis pangkal Indonesia (archipelagic baseline) dan garis pangkal bibir pantai Vietnam (normal baseline). 

Kedua, garis batas ZEE Indonesia-Vietnam adalah garis tengah yang dihitung dari garis pangkal Indonesia (archipelagic baseline) dengan pulau-pulau Vietnam. Straight baseline tidak lagi akan dibahas dalam tulisan ini.

Gambaran dari skenario pertama adalah sebagai berikut (perhatikan garis putus-putus yang merupakan dasar proyeksi terciptanya garis batas ZEE):

Gambar 1: garis batas ZEE skenario 1
Gambar 1: garis batas ZEE skenario 1

Gambaran dari skenario kedua adalah sebagai berikut (perhatikan garis putus-putus yang merupakan dasar proyeksi terciptanya garis batas ZEE):

Gambar 2: garis batas ZEE skenario 2
Gambar 2: garis batas ZEE skenario 2

Jika kedua skenario tersebut digabungkan maka akan menjadi seperti gambar di bawah ini:

Gambar 3: gabungan skenario
Gambar 3: gabungan skenario

Dalam pasal 74 paragraf 1 UNCLOS, disebutkan bahwa delimitasi ZEE 2 negara yang berseberangan dilakukan untuk mencapai sebuah "equitable solution". Apa makna dari equitable solution tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga aplikasinya berbeda-beda bergantung pada kasusnya masing-masing. Terdapat berbagai kasus di pengadilan internasional tentang delimitasi maritim yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui metode penarikan garis yang mencapai "equitable solution".

Mengutip pendapat hakim pada perkara perbatasan maritim antara Rumania dan Ukraina, "...to delimit the ... exclusive economic zones ...First, the Court will establish a provisional delimitation line ... constructed from the most appropriate points on the coasts of the two States concerned, with particular attention being paid to those protuberant coastal points situated nearest to the area to the delimited."

Tahap kedua, "...the Court will at the next, second stage consider whether there are factors calling for the adjustment or shifting of the provisional equidistance line in order to achieve an equitable result."

Tahap ketiga, "Finally, and at a third stage, the Court will verify that the line (a provisional equidistance line which may or may not have been adjusted by taking into account the relevant circumstances) does not, as it stands, lead to an inequitable result..."

Tiga tahap tersebut di atas sejatinya adalah tahapan untuk mendelimitasi batas laut territorial sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UNCLOS, yang juga diaplikasikan untuk mendelimitasi batas ZEE.

Mengacu pada metode tersebut, maka dengan mudah dapat kita simpulkan bahwa proposal single line dari Vietnam tidak dapat digunakan, karena jika dari garis landas kontinen tersebut ditarik garis pertama, yaitu ke titik dimana terdapat bagian daratan Vietnam yang menjorok ke laut, tidak akan menghasilkan panjang garis yang sama dengan garis kedua, yaitu garis yang ditarik dari titik yang sama di landas kontinen tersebut ke di titik pulau terluar Indonesia. Pasal 15 UNCLOS menyebutkan bahwa titik tengah dari 2 negara haruslah, "...equidistant from the nearest points on the baselines ...".

Sampai pada tahap ini, maka kita dapat simpulkan bahwa single line tidak dapat dibenarkan. Perilaku kapal perikanan Vietnam dan juga Vietnam Coast Guard untuk melindungi interest Vietnam mengenai single line juga tidak dapat dibenarkan.

to be continued...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun