Kekerasan dapat dihindari dengan menerapkan metode yang memberikan prioritas utama pada hak-hak anak dalam semua kebijakan dan program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak-anak sebagai subjek dari hak-hak mereka terhadap kekerasan, dan memberikan akses kepada anak-anak untuk mendapatkan layanan dasar di bidang kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Salah satu tujuan pemidanaan adalah penyelesaian konflik, yang terkait dengan perlindungan korban. Dengan menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh kegiatan yang melanggar hukum, hal ini akan meningkatkan keharmonisan dalam masyarakat.
Korban dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku kekerasan dengan alasan pelaku melakukan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad), yang didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.Â
Perundungan masih marak terjadi di Indonesia sendiri, dan banyak korban yang tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, hak-hak korban juga dijelaskan dalam Pasal 59 ayat (1), yang dilakukan oleh:
- Intervensi tepat waktu, termasuk pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya, serta terapi dan/atau rehabilitasi fisik, psikologis, dan sosial.
- Dukungan psikososial selama terapi dan hingga pemulihan;
- Bantuan sosial untuk anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah.
- Menawarkan pembelaan dan dukungan dalam semua proses hukum.
Namun, masih banyak masalah dalam penegakan hukum terkait perlindungan anak dari perundungan, antara lain: Masih kurangnya kecepatan dalam hal terapi atau rehabilitasi, baik secara fisik maupun psikologis, serta pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya, tidak adanya dukungan psikososial, tidak adanya bantuan sosial untuk anak keluarga berpenghasilan rendah, tidak ada bantuan yang diberikan kepada anak di bawah umur yang menjadi korban perundungan.
Di Indonesia, perlindungan hukum bagi korban perundungan masih sangat minim. Karena sifatnya yang mengucilkan secara sosial, perundungan relasional lebih sulit dibuktikan di pengadilan daripada perundungan fisik atau verbal. Oleh karena itu, kedua jenis perundungan tersebut - fisik dan verbal - lebih dapat diterapkan dalam konteks insiden perundungan daripada perundungan relasional. Hal ini dikarenakan luka fisik dapat digunakan sebagai bukti perundungan fisik, sementara trauma dan kecemasan dapat digunakan sebagai bukti perundungan verbal.Â
Namun, hubungan yang bersifat relasional sulit untuk dibuktikan. Selain itu, sumber daya manusia dengan keahlian psikologis juga dibutuhkan, terutama ketika menangani trauma psikologis korban. Sebagai gambaran, di setiap sekolah seharusnya ada guru yang menangani masalah anak, khususnya guru BK (bimbingan konseling), meskipun tidak semuanya memiliki latar belakang psikologi.
Salah satu hal pertama yang dapat dilakukan untuk melindungi anak-anak yang menjadi korban perundungan adalah dengan mengamati setiap perubahan yang terjadi pada anak dan segera mendekatinya. Kedua, Bersikaplah tenang sambil meyakinkan anak bahwa mereka telah terlindungi dari perundungan di masa depan.Ketiga yaitu segera beri tahu pengajar atau institusi tentang situasi tersebut. Selanjutnya adalah Mintalah guru BK (konselor sekolah) untuk menyelidiki apa yang terjadi.Â
Yang kelima yaitu meminta informasi dari pihak sekolah tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dan yang terakhir adalah tunjukkan kepada anak-anak bagaimana menangani perundungan yang bisa saja terjadi kepadanya.
Penulis : Moch. Rival Aditya dan Imaduddin Hamzah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H