Sutra merah muda melayang berselancar di udara. Dipermainkan oleh angin yang hangat. Menari begitu indah, mengikuti suara malam, berputar dengan anggun. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Hingga angin malas bertiup, ia hanya mengambang dalam kekosongan partikel debu yang berjalan monoton. Dengan lelah sutra itu lemas terjatuh membawa debu ke permukaan sungai waktu dan mengikuti arus. Kali ini, ia berenang dan meliukkan tubuhnya dalam gelombang waktu. Sungai itu mengantarnya.
Entah kemana, hingga bermuara di suatu tempat. Antah berantah, mungkin saja.
Bulan mengapa kamu terasa dekat tapi sangat susah untuk kugapai. Tidakkah kamu kasihan pada diriku yang terombang-ambing oleh waktu. Mana sihirmu? Keluarkanlah, buat aku bahagia. Cerabutlah
diriku dari pusaran waktu yang tak pernah berhenti. Tidakkah kamu menangis akan kisahku. Aku hanyalah sutra, bisa terkoyak suatu saat nanti. Oleh waktu; oleh ruang; oleh partikel kosmik; oleh apapun; dan oleh siapapun. Aku hanya ingin kau, bulan, yang mengangkatku ke atas. Mendekatkanku padamu. Ikatkan aku dengan benang perak di tubuhmu agar diriku tidak terhempas ke bumi. Tidakkah dirimu merasa iba padaku?
Ini cerita pahit. Getir. Sepahit buah maja. Pahit oleh jahatnya waktu. Waktu yang bermaujud iblis telah menamparku kali ini. Aku ingin membalas tapi tidak bisa karena ia hanyalah waktu. Ceritaku tidak manis, semanis madu. Ini hanyalah cerita tentang diriku dan pengunjung asing dalam hidupku.
Hutan Sangeh, Ubud, satu minggu lalu, aku menunggunya. Udara dingin, dingin yang hangat. Dingin asia aku menyebutnya. Terduduk di kursi taman, melempar kacang. Monyet-monyet bergerombol di depanku. Pengunjung-pengunjung asing banyak berkeliaran. Aku berharap di antara mereka ada dia. Datang tersenyum membawa bunga, harapku dalam hati. Langit masih biru. Bau dedaunan dan lumut segar menyelimuti ragaku. Kemana ia? Apakah lupa dengan janjinya? Aku terus menanti.
Teringat pertama kali bertemu dengannya, tidak terlalu berkesan. Kami bertemu dengan diiringi gemuruh suara mesin pesawat. Di bandara, ia terlihat canggung, kemudian tersenyum. Hingga aku baru sadar jika itu adalah senyuman terindah yang pernah aku lihat. Mengapa ia datang kini, ketika aku tidak pernah berharap. Melepaskan jaketnya, berusaha memberikan ruang bagi kulitnya untuk merasakan hawa asia yang menyengat. Waktu hanya singkat tidak ada waktu untuk beramah tamah, ia datang ke sini bukan
untuk berwisata, atau hanya melihat pemandangan laut, gunung, atau apa pun yang katanya eksotis itu. Ia ke sini hanya untuk bisnis. Aku memberikan beberapa proposal; dari penduduk lokal yang menjual tanahnya atau menyewakan villa-nya. Investasi yang menguntungkan bagi kaum-kaum seperti mereka. Ia tidak mengambil proposal itu, lalu berbisik di telingaku, “aku satu bulan di sini, sayang. Jangan terburu-buru. Aku tahu apa yang aku lakukan, dan kamu harus menemaniku. Kapan pun dan di mana pun, oke.” Suaranya kasar, bahasa Inggris dengan aksen Rusia. Kemudian bibirnya menyusuri pipiku dan mengecupku. Aku terkejut, dan hangat. Aku tidak menolak. Pak Wayan yang berencana mengantar kami ke Ubud, terkejut melihatnya. Bersiap-siap akan membelaku, tapi aku menenangkannya. Bukankah lelaki itu klien perusahaan kami. Aku akan menjamunya, setidaknya siapa yang akan menolak lelaki tampan tinggi putih dengan mata hijau sehijau zamrud khatulistiwa.
Suara angin menghanyutkan; simfoni indah mengalun. Derak-derak udara begitu terasa, tidak ada yang pernah tahu mengapa saat ini begitu pekat. Semua berputar dalam satu arus. Arus yang sama
dalam lingkaran waktu. Berjungkat-jungkit naik turun. Keindahannya terletak pada setiap sudut hidupnya. Aku menyukainya. Ia seperti gagak, terbang datang kemudian menghilang, tidak memberikan tanda hanya berjejak. Menyusuri tiap relung dalam hatiku. Mengisinya setengah penuh. Membiarkan gurat-gurat vena
mengeras, dan menyuntikkan cinta ke dalamnya. Membuatku stroke untuk sesaat. Mengembara dalam hidupnya, mengembara dalam imajinasinya. Membiarkan tubuhku terbuka untuknya.
Lelaki itu datang. Oh tidak mengapa aku menunggunya. Ia tersenyum. Aku menunggunya, tapi mengapa aku harus kalut saat ini. Jika aku bisa melompati satu palang waktu, palang waktu kali ini yang
ingin aku lompati. Aku tidak bisa melewatinya. Sungguh pahit rasanya jika menunggu sesuatu yang telah diketahui. Lelaki itu menghampiriku, duduk di sebelahku. Aku terdiam mematung.
Bulir-bulir waktu terus menetes. Aku terasa kaku. Detak jantungku tidak berirama. Ia melingkarkan tangannya ke pundakku memaksa tubuhku untuk mendekat padanya. Aku tidak menolaknya. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia mengecup keningku, aku terbangun menatapnya. Wajahnya mendekat. Ia menciumku, dengan intens dan dalam penuh ambisi, sepenuh ambisinya dalam menjalankan bisnis. Ciumannya juga terasa sangat kaya, sekaya niatnya untuk berinvestasi. Jika tubuhku adalah sebuah villa, maka aku akan rela menyerahkannya tanpa ia harus bersusah payah untuk berinvestasi di dalamnya.
Ciuman menjadi hangat. Aku merasa malu. Ini Asia, tidak pantas untuk berciuman di ruang umum. Tapi rasa pantas apa yang aku miliki saat ini. Setiap jejaknya tidak hanya membekas di hatiku, tapi membekas di setiap tubuhku. Aku adalah teman baginya, teman yang membantunya dalam menyelesaikan masalahnya. Masalah pekerjaan aku selesaikan dengan professional, masalah hasrat biologis aku selesaikan dengan personal. Aku adalah pemandu baginya. Aku memandunya untuk melakukan investivasi yang profitable di wilayah ini, dan aku juga memandunya untuk melakukan hal yang menggiurkan dalam setiap jengkal wilayah tubuhku. Apalagi yang bisa dikatakan pantas saat ini. Akhirnya aku sadar juga jika ia adalah burung, yang bisa terbang ke mana pun, menjejak setiap tanah di wilayah mana pun. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan waktu.
Ciuman perlahan sirna. Aku menolaknya, tapi ia yang punya kuasa. Aku hanya bisa pasrah.
Ia berbisik padaku, “aku pulang ya. Terimakasih atas segalanya.”
Aku mengangguk. “Jangan lupakan aku, ke sini lagi,” harapku.
Ia tersenyum kemudian meraba wajahku. Menghilangkan air mata yang turun dari sana. “Tentu saja. Aku sudah berjanji akan menyewa dua villa di sini.”
‘Tapi bisa saja kamu meminta orang kepercayaanmu untuk melakukannya.”
“Tidak aku akan melakukannya sendiri.’
“Untuk investasi?”
“Tidak, untukmu juga.”
Aku tersipu malu, “bagaimana dengan keluargamu, istrimu?”
“Aku akan ke sini untukmu, dan aku pulang untuk keluargaku. Deal.”
Aku tidak mengerti bagaimana pola pikir pengunjung asing ini, tapi aku memeluknya. Membuatnya
susah untuk mengembangkan sayapnya, aku berharap ia tidak pernah pergi dari sisiku. Biarkanlah keluarganya menunggu. Aku egois. Ia harus tetap di sini. Ia tahu aku sedih. Kemudian dengan kendali dan pesonanya ia membujukku. Bujukan yang hangat, dan dapat melelehkan batu yang keras sekali pun. Batu itu adalah egoku. Akhirnya aku menyerah, lalu membiarkan ia terbang melayang, entah menjejak ke mana lagi. Aku tidak peduli, setidaknya jika ke sini ia adalah milikku.
Suasana sore begitu teduh menyejukkan hatiku. Pesona jingga menyapu langit bak lukisan abstrak yang mengandung misteri yang begitu kental. Aku hanya bisa menatap tanpa tahu makna di dalamnya. Menunggu dan berharap ia terbang ke sini. Mengepakkan sayapnya, dan bersimpuh di depanku. Merengkuh setiap cinta yang telah ia tanamkan di hatiku. Aku akan menunggunya. Sampai waktu yang hina itu mati dan tenggelam. Aku terus menunggu, janjiku pada sang Pengunjung.
(Cerpen ini dikirim ke blog gagas dan tidak dimuat he he he he)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H