Mohon tunggu...
Solehuddin -
Solehuddin - Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lelaki Biasa Yang Akan Mengubah Dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tarumpah Panjang : Kolektivitas Individu Mandiri

9 Juli 2013   12:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:48 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mengenang sebuah permainan yang sudah mulai menghilang tertelan jaman memang kadang terasa sangat menyakitkan, apalagi permainan itu mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukan pribadi yang sangat mengagumkan.

Dibesarkan didaerah Sunda yang mempunyai banyak permainan tradisional membuat saya menjadi pribadi yang periang, hampir semua permainan tradisional saya kuasai waktu itu, mulai dari Egrang Jangkung, Dagongan sampai Congklak pun saya mainkan. Tapi ada salah satu permainan yang sangat saya sukai yaitu Tarumpah Panjang.

Tarumpah Panjang atau Tandem Bakiak merupakan sebuah permainan sederhana menggunakan sandal tradisional Bakiak yang berbentuk memanjang, dalam permainan ini satu Tarumpah dipakai oleh 5 (Lima) Orang.

Permainan yang sering saya mainkan 20 tahun lalu ini kini sudah mulai tergerus oleh roda jaman, padahal pada permainan tradisional selalu memberikan pelajaran yang sangat berharga, baik tentang kelincahan, kebersamaan maupun kemandirian.

Permainan Tarumpah Panjang memerlukan kolektivitas dari setiap individu yang berada dalam satu Tarumpah, karena permainan ini memerlukan pergerakan yang bersamaan menuju garis akhir untuk sebuah kemenangan.

20 (dua puluh tahun) lalu, saya dan sahabat sering melakukan permainan ini ditanah kosong disamping tempat pemakaman umum,  tanah lapang ini menjadi salah satu tempat berkumpul warga untuk melepas lelah selepas waktu Ashar dan dijadikan arena permainan anak yang gratis.

Kami membuat sebuah kelompok yang berjumlah 5 orang, sama seperti yang dilakukan oleh anak-anak lainnya untuk memainkan tarumpah panjang ini. Permainan yang penuh kecerian dan kebersamaan ini terus berlangsung sampai waktu mendekati maghrib, kami terus berulang kali melakukan perlombaan yang entah berhadiah apa. Tapi kami menemukan kebahagian kecil ketika kami menjadi pemenangnya.

Dikampung saya waktu itu ada seorang kakek tua yang selalu menyediakan tarumpah untuk kami bermain, atau membetulkan tarumpah kami yang rusak, tarumpah itu selalu diberikannya dengan cuma-cuma dan tanpa imbalan apapun. Dan saya baru mengerti kenapa tarumpah itu diberikan cuma-cuma kepada kami, ketika kita melihat orang lain berbahagia maka kita akan ikut merasakannya. Itu adalah salah satu pelajaran yang saya dapatkan.

Kebersamaan itu terus terjalin, kekompakan kami terjaga sampai kami berkeluarga. Kini kami sudah mempunyai anak dan jaman sudah berbeda permainan ini pun mulai terlupa, bahkan hanya jadi retorika. Usaha untuk mengenalkan permainan tradisional ini kami merasa percuma, karena anak kami sudah tidak bisa memainkannya. Tidak ada lagi lokasi untuk bermain, kampung kami hanya memiliki jalan gang sempit yang ramai oleh kendaraan. Tidak adalagi tanah lapang.

Tapi harapan saya untuk mengembangkan dan mengenalkan kembali permainan tradisional ini masih ada, sehingga menjadi warisan yang terjaga sepanjang masa dan menjadi ikon Indonesia Travel yang mendunia.

Mari kita lestarikan permainan tradisional, kita bangkitkan kepedulian kita terhadap Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun