Setelah kami istirahat dan makan, hasil olahan porter kami yang uenak tenan, kami berniat untuk muncak Jam 03.00 dini hari. Ya, Jam 03.00 itu adalah jam yang dianggap paling pas oleh timku dan dipilih untuk memulai perjalanan menuju puncak.Â
Waktu tempuh perjalanan pun relatif lama,. Hal itu dilakukan agar ketika tiba di puncak pada pagi hari, seiring dengan momen matahari terbit, dengan memancarkan kehangatannya bagi siapa saja, serta waktu dimana bentangan alam Rinjani yang sangat menawan bisa dijumpai. Jam 02.00 dini hari kami bangun, kami bersiap untuk muncak, semua cariel kami tinggalkan di dalam tenda kami, kami hanya membawa air minum dan makanan kecil. Oh iya di pos ini juga sandal kawan kami yang baru dibelinya hilang, sandal bang Togi dan sandal ucok Fandi juga raib, entah siapa yang doyan sandal itu.
Dengan dinginnya udara Rinjani, dengan mata menahan kantuk, dengan kesenyapan malam yang menemani kami, kami akan memulai pendakian, sekali lagi kami akan menggapai makhota Anjani kawan. Tinggal sebentar lagi aku akan menggapainya. Semua siap. Packingan kami siap. Berdoa tak lupa kami panjatkan.Om Locker Alfonso (guide kami) berada di depan untuk menunjukkan jalan kepada kami.Â
Seperti biasa aku di tengah-tengah dan Kang Tege dibelakang. Kami mulai berjalan, selalu beriringan. Bagaikan semut, ya sekerumunan semut berjalan beriringan memberikan upeti kepada sang raja. Nyala headlamp itu membuat suasana malam yang tadinya gulita dan pekat, kini mulai menampakkan kehidupannya, cahaya itu indah seperti kunang-kunang.Â
Keheningan malam itu tidak terasa sunyi bagi kami, karena aku yakin di dalam fikiran kawan-kawanku, mereka mempunyai ceritanya sendiri dan akan membawa pengalaman baru, ya semua itu ada dalam setiap langkah yang akan kami tempuh. Sejarah akan kami ciptakan kawan, terutama untuk kami sendiri dan untuk orang-orang yang kami kenal.Â
Kami akan menikmati keheningan malam itu, ketika orang-orang disana begitu lelap, dengan kehangat selimut dan kenyamanan bantalnya. Rasa dingin itu menjalari kulit kami. Tak apa, kami akan menikmatinya kawan.
Kami terus berjalan menyusuri punggungan gunung Rinjani itu. Anginnya membuat aku menggigil. Medan pasirnya membawaku melayang, teringat ketika pendakian ke Gunung Semeru,https://www.kompasiana.com/4ym4r4/5520166c813311611e9dfc64/semeru-puncak-abadi-para-dewasebuah-catatan-perjalanan  lelah, mengantuk dan sempat tertidur di balik batu.Â
Medan menuju puncak Rinjani sendiri memang tidak mudah kawan. Selain harus sabar serta tahan mental kita juga di uji lagi dengan tanjakan yang curam, kondisi trek yang berpasir, terutama menjelang puncak. Juga badai yang sesekali akan menghadang pendakian.Â
Bisa dibayangkan, dengan medan berpasir atau berkerikil itu, jalur yang kita lalui menjadi licin dan butuh keseimbangan yang tinggi kawan, jika tidak, blaarrrr, kanan kiri kita jurang kawan. Di butuhkan kesabaran tingkat "dewa" untuk bisa megalahkan rasa itu. Akan tetapi, aku sangat yakin dengan kata-kata ini, bahwa "sebuah proses yang berat, akan menghasilkan apa yang kita inginkan akan terasa lebih indah, serta akan membawa suatu pengalaman batin yang luar biasa."
Sekira separuh perjalanan aku mendengar seperti suara jutaan lebah, mengaung jelas terdengar. Suara yang begitu menyeramkan dan membuat aku bergidik dan terkesima, takut dan tak pernah merasakannya. Ya, ternyata suara itu adalah badai besar kawan. Badai yang belum pernah aku lihat atau temui selama pendakianku.Â