Fara terlihat lelah, sementara senja mulai memerah. Sang leader menyarankan pendaki yang membawa tenda agar mempercepat langkah, sedangkan Fara masih didampingi oleh pendaki pria lainnya.
Jingga berganti pekat, tubuh terasa penat, tapi puncak tak juga mendekat. Kami terus merangkak, dengan sedikit asa tersisa. Headlamp telah menyala, suara penyemangat tak hentinya berucap.
Aku tiba terlebih dahulu dengan beberapa pendaki lainnya. Mencari lokasi mendirikan tenda dan menyiapkan kebutuhan lainnya. Lima pintu tenda telah terbuka, sebagiannya mulai memasak. Aku ke dalam tenda, mengusap debu mengganti wudhu. Membentangkan tapak membentuk sedekap.
Ketika tujuh kulit bersamaan menyentuh bumi, terdengar gaduh dari luar tenda. Mereka mengabarkan bahwa kondisi Fara memburuk. Pendaki pria segera beranjak, sementara aku meneruskan rakaat.
Fara tak sadarkan diri ketika sampai di dalam tenda. Kecemasan menyelimuti kesemua pendaki. Kang Ay dan Mas Sinyo berupaya agar tak terlihat gelisah. Mereka berusaha membuat suasana terkendali tanpa histeria yang hanya sia-sia. Aku bisa menatap wajah mereka meramu kalimat yang terucap adalah sebuah harap. Sementara dari dalam tenda, para pendaki wanita terus memanggil nama Fara agar tak tertidur dan tetap terjaga.
Ini kali pertama aku mendapati kondisi mencekam. Suara pendaki wanita tak hentinya memberikan bantuan. Suara mereka penuh doa dan kalimat laksana pejuang.
"Fara, bangun mba..."
"Fara, ayo bangun. Katanya mau buat masakan mba..."
"Mba Fara, jangan tidur...mba.."
Mba Indri, Erika, Yau dan Dian tak henti-hentinya menyemangati. Kang Ay dan Mas Sinyo terus memantau perkembangan. Sementara selainnya bersiap di luar tenda memenuhi apa yang dibutuhkan.
Aku hanya membatu