[caption caption="foto taken trisna"][/caption]
Bagi saya yang tidak mempunyai dasar keilmuan tentang dunia antropologi dan jejak-jejak manusia purba, saya sering bertanya dalam diri saya sendiri. Pernahkah kawan, termasuk saya, berfikir, tentang manusia-manusia purba. kenapa ada manusia yang berbeda warna kulit, Ras dan bahasa? Mungkin bagi mereka yang memahami tentang disiplin ilmu tersebut dengan mudah menjawabnya karena riset-riset yang dilakukannya.Tapi bagi saya terutama, tetap saja saya masih bingung bagaimana penyebarannya. ah sudahlah.
Coba kawan merenung sebentar, kenapa di Indonesia bisa mewakili beragam warna kulit di dunia? kulit Hitam Afrika, ada di Papua dan Ambon. Kulit kuning bisa di wakili oleh orang Manado dan Bumi Priangan. Kulit merah Indian sepertinya nyaris sama dengan Suku Dayak di Kalimantan. Mungkin ini pertanyaan sangat mendasar dari saya, betapa Indonesia bisa mewakili beragam warna kulit di dunia ini.
Dengan kekayaan ini, Indonesia akan menjadi tujuan utama persiet dunia, selain Lukisan goa dai Papua, juga lukisan goa di Maros Sulawesi yang mengundang decak kagum peneliti dunia. Sebelum membahas lebih jauh ke lukisan goa tersebut, saya mencoba melihat jejak-jejak manusia purba di Sangiran. Pada saat saya kesana saya menggunakan motor bersama Sena. Saya di sana di temani oleh Sena, kawan dari Solo yang pernah satu frame ketika kita naik gunung Papandayan di Garut. Sena meminjamkan motornya kepada saya untuk mengexplore Sangiran. . Tulisan ini sebenarnya adalah kelanjutan cerita saya tentang http://www.kompasiana.com/4ym4r4/candi-cetho-tinggalan-sejarah-yang-mendunia_5553132eb67e61190c13099e.
Saya mengexplore Sangiran di mulai dari tempat saya menginap dekat Terminal Tirtonadi Solo. Sena dengan santainya sudah tiba di depan penginapan saya dengan membawa kawannya yang membawa motor. Pagi itu cuaca cerah dan mendukung sekali. Segera kita berangkaaat. Jalanan Solo begitu mulus dan tidak macet kawan. sebelum dzuhur kami sudah tiba di daerah Sangiran, namun kami tidak langsung menuju Musium Manusia Purba. kami mampir terlebih dahulu ke Gardu Pandang, untuk melihat keadaan sekililing Sangiran. Aku terbawa ke masa ratusan tahun silam setelah melihat lokasi penelitian manusia purba.
Melihat sunset, Sunrise, Di hantam badai, mungkin juga Mabok laut hingga muntah kuning. qiqiqi. mungkin toh. Aku saja yang hanya beberapa jam terkena badai di selat sunda nyaris lewat, kawan-kawanku saja yang hanya 6-7 jam di perahu menuju Teluk Kiluan pada nembak. qiqiqi flash back sedikit kawan.
Siapa Dubois ini, kawan akan sangat bisa dengan cepat mendapatkan informasi tentang Dubois ini, karena google dengan sangat cepat bisas menjawab itu semua, pun demikian dengan saya. Sumber tulisan ini adalah saya dapatkan dari berbagai sumber yang ada di internet.
Tiap hari, sejak pukul delapan pagi, Citro menemani Koenigswald menjelajah wilayah-wilayah di Sangiran. Ia biasa membawakan payung bagi Koenigswald sehingga secara luas ia dijuluki sebagai “si anak payung”. Dari proses bersama inilah Citro belajar seluk-beluk fosil sebab tiap menemukan fosil, Koenigswold akan bercerita padanya soal temuan itu. Dari cerita-cerita inilah, Citro mulai memahami wujud fosil, bagaimana cara mengambil dan memperlakukannya supaya tak rusak, bahkan Citro mulai paham bagaimana memperkirakan umur fosil.
Bersamaan dengan proses itu, pandangan mereka ihwal tulang-tulang manusia itu pun berubah. Karena para peneliti asing yang datang ke Sangiran selalu memberikan imbalan uang bagi tiap tulang yang ditemukan, para penduduk pun mulai menganggap tulang-tulang itu tidak sebagai balung buto tapi sebagai “barang jualan”.
Informasi ini di olah dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H