Balada orang-orang pedalaman
Di hutan di gunung dan di pesisir
He....ya...ya...ya...he...ya....ho
Manusia yang datang dari kota
Tega bodohi mereka
Lihatlah tatapannya yang kosong
Tak mengerti apa yang terjadi
(Balada Orang-Orang Pedalaman)
Iwan Fals
Kembali Narkopian mengexplore salah satu suku yang masih mempertahankan niali budaya dan kearifan lokal. Atau lebih tepatnya kembali kami akan mencoba mengenal lebih dekat budaya dari Suku Baduy Banten. Jelas ketika kita mengunjunginya, baik itu ke sebuah puncak gunung, ke sebuah mall besar atau kemanapun kita melangkah, kita akan dapat mengambil sebuha pelajaran dari tempat yang kita kunjungi. Dengan 48 personel plus 3 orang anak di bawah 10 tahun kami berniat mengunjunginya. Meeting point (MP) sudah di tetapkan, Stasiun Tanah Abang adalah MP kita. Karena memang dari sanalah kita mulai untuk menuju stasiun Rangkas Bitung. Ada juga kawan yang lain yang berangkat dari Stasiun Serpong dan juga ada kawan yang sudah menunggu di Stasiun Rangkas Bitung.
Jam 07.00 kami semua sudah berkumpul dan langsung kami menuju peron 6, sambil menuggu kereta Rangkas Jaya yang akan membawa kami ke tatar Banten. Dengan Rp 4.000,- kami sudah akan menginjakkan kaki disana kawan, ya hanya seharga 4 batang rokok 234, cukup murah bukan kawan. Sekira pukul 09.30 kami tiba di stasiun Rangkas, dan langsung mencari lapak untuk menaruh barang-barang dan juga untuk berkoordinasi sebentar.
Kami langsung berbagi tugas untuk berbelanja kebutuhan masak disana. Aku, Kang Tege, Tutu, Mbak Indro, dan Mboiy Nyot langsung kepasar. Beras, sayuran, bumbu dapur, sambelan telor, ikan asin, ikan bandeng, tempe, kerupuk, baso, garam, kopi gula, itu bahan yang akan kita rajam berjamaah. Jam 11.15 kami siap menaiki mobil elf menuju Cijahe. Nah kawan, Cijahe ini adalah jalur alternatife yang lebih manusiawi ketimbang kita lewat gerbang utama yaitu Ciboleger. Jalur ini lebih cepat menuju Cibeo. Namun kami akan mengexplore Baduy Dalam semuanya dari Cikeusik-Cikatawarna-Cibeo. Dan kami akan bermalam di Cibeo.
Jam 13.00 kami tiba di Cijahe, tepatnya sebelum gerbang utama Cijahe. Karena mobil yang aku tumpangi tidak lulus ujian, karena IPK nya rendah dan juga banyak warna merahnya di raportnya sehingga tidak lulus ujian dan tidak naik kelas alias mogok, karena tidak mampu melewati medan yang begitu parah, licin, dan becek. Mau ga mau kami berjalan menuju ke Cijahe. Langsung kami di sambut hujan dan ini membuat kami sedikit repot, mantel, rain coat di bongkar..petualangan baru saja di mulai kawan.
Kami melewati perkampungan Cijahe dan rupanya disana banyak sekali yang menjual cinderamata khas Baduy, dari kain hingga tas, juga kaos-kaos Baduy. Rintangan pertama kami adalah Jembatan Bamboo yang sudah oleng kawan, dan kami harus berjalan meniti jembatan itu satu-persatu, sukses, kami mampu melewatinya dan sekarang jalur yang kami lalui adalah jalan tanah merah yang masih bersahabat dengan view perbukitan khas Baduy. Kami sangat menikmatinya dan sempat bernarsis ria di sana. Kami terus berjalan beriringan laksana semut memberikan upeti kepada sang raja, lama kelamaan kami berpencar membuat beberapa kelompok.
Sekarang jalan setapak itu kini sudah mulai berat, jalan licin, berlumpur dan di tambah hujan pula membuat beban di pundak kami semakin berat, namun kawan lagi dan lagi, ku beritahu satu hal, ”Tujuan adalah bukan yang utama, yang utama justru adalah prosesnya”. Ya proses. Sebuah proses apapun itu merupakan awal dari sebuah tujuan. Dan kita akan selalu menghargai sebuah proses. Dia tidak akan ujug-ujug atau tiba-tiba. Bahkan seorang Iwan Fals, ia bahkan terseok dengan melalui proses yang luar biasa.
Hingga ia berhasil seperti sekarang ini. Dan proses itu sekarang sedang kami alami. Medan yang berat, berlumpur, licin, tanjakan serta turunan. Luar biasa. Mungkin ada sebagaian kawan yang kesel, kecewa, mengeluh, bahkan sampai menitikkan airmata, tidak sabar, mungkin sudah tidak bisa menikmatinya lagi dan bahkan mungkin sudah menyerah namun tidak ada pilihan lain yang mau ga mau harus jalan. (I’ts u’r choice, cos life is a choice). Namun dari kekesalan dan kelelahan fisik tadi itu, aku pernah menuliskan dalam sebuah Catper pendakian Gunung Ciremei, “Bahwa dengan kelelahan, kekesalan, bahkan mungkin airmata yang mau atau sudah keluar, kita bisa sangat tahu betapa nikmatnya ketika kita santai dan enjoy kawan”. Dan itu akan membuat kita mensyukuri nikmat-NYA.
Aku terus berjalan melawan rintangan itu, ya jalan berlumpur, licin, tanjakan terjal serta turunan dan hujan. Dengan berdendang lagu Iwan Fals dalam hati, selalu ku kuatkan tekad untuk mampu mengalahkan atau mampu melewati proses ini. Akhirnya Cikeusik aku tembus kawan dan sempat berbincang dengan Jaro Alim. Sebenarnya di Cikeusik itu ada acara adat yaitu prosesi lamaran, namun sangat disayangkan bahwa kami tidak bisa mengabadikan moment itu karena memang berfoto disana dilarang. Setelah merasa Istirahat kami cukup, kami lanjutkan perjalanan kembali menuju desa Cikatawarna. Jalan sepertinya ga ada habisnya. Medan masih sama kawan. Kami terus menyusuri jalan itu, lemah, lunglai letih dan lesu, mungkin sebagian kawan merasakan itu. Namun perjuangan belum selelsai.
Jam 19.30 seluruh Tim Narkopian tiba di Cibeo, langsung kami membagi ke tiga rumah. Rumah Anaknya Ayah Anas, Rumah pak Syarif dan Rumah July. Segera kami menyiapkan bahan makanan yang dibawa tadi untuk di bagikan ke kawan kami masing-masing. Proses masak berjamaah di mulai. Moment kebersamaan ini yang sepertinya banyak di tunggu oleh kami.
Makan malam tandas dengan menu Sayur Sop, Ikan Bandeng, Tempe Goreng, Ikan Asin, Sambal Tumbuk. dan ingat kawan. semua itu adalah hasil dari kita semua masak barang di "Hawu" (tempat masak tungku, khas pedesaan) Mantaaaaab. Dan pastinya setelah makan malam selesaiprosesi tuang kopi masih aku lanjutkan bareng kawan2 yang lain, sambil mendengarkan kang sob dan bang togi curhat. Ayeaaay.
Selesai prosesi itu semua. Akhirnya kami semua masuk SB dan zzzzzzztttt. Sungguh ternyata kami mampu mengkhatamkan ketiga kampung Baduy dalam itu dalam seharian, dengan melalui proses yang luar biasa, belum lagi cerita pada saat kami turun dari cibeo menuju ciboleger, belum lagi cerita seorang Sapri menjadi TT (trending topic) di Republik Narkopian ini, itu hanya serpihan-serpihan cerita yang ada di catatan ini, jelas kawan-kawan yang lain pasti mempunyai ceritanya sendiri. Pengalamannya sendiri dan hikmahnya sendiri. hahaha. Jelas kami dapat pembelajaran dari budaya mereka ini. Adat istiadat dan budaya yang mengakar kuat sampai saat ini masih mampu mengcounter budaya-budaya asing yang masuk. Masih jelas kulihat ketulusannya. Keluguannya
Suatu negara akan beradab, jika pemimpin dan masyarakatnya menghargai kebudayaan dan mau belajar dari budaya itu sendiri.budaya positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H