Mohon tunggu...
aslan syahputra kilan
aslan syahputra kilan Mohon Tunggu... -

Pakar Seniman Pujangga

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sambungan Cerita Awal Dilema Sang Bintang

3 Januari 2013   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:34 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krek, krek!, jari-jemarinya berbunyi bak ranting kering yang dipatahkan, begitulah kebiasaan Bintang setiap bangun tidur, jari-jemarinyaselalu dibunyikan secara refleks, dikala bangun tidur baik itu tidur siangmaupun bangun dari tidur malam, ia seolah-olah merasakan semangat baru setelah mendengar bunyi gesekan kedua jemarinya.

“Hah!, ternyata Ane baru bermimpi” ia bergumam dalam hati, Bintang segera bangkit dari ranjang tidurnya menuju tempat berwudlu di losmen sebelah rumah. Terlihat emaknya sedang zikir di ruang shalat di tengah rumah, ayahnya masih tampak tertidur pulas dengan selimut tebal sampai ke pundaknya, inilah kebiasaan buruk sang ayah biasanya ia bangun jam sembilanan, tapi kalau sudah bangun sehabis menikmati kopi dan sebatang rokok, ayahnya kalau tidak ngantor langsung ke belakang rumah mencangkul dan membersihkan pekarangan sekitar rumahnya untuk yang satu ini ayah Bintang memang jagoannya, memang kebiasaan orang itu berbeda-beda tergantung kepribadian yang membentuknya sejak awal, tampaknya emak Bintang lebih dahulu bangun, seperti biasanya emaknya Shalat duluan, setelah itu barulah sang emak membangunkan anggota keluarganya satu-persatu, biasanya yang paling sulit dibangunkan adalah Bintang, tapi tak tahu hari ini Bintang bisa bangun sendiri. Setelah berwudlu Bintang langsung menuju ruangan shalat, kemudian ia langsung shalat subuh persis disebelah emaknya, emak Bintang tampak tersenyum melihat anaknya shalat subuh, tanpa dibangunkan olehnya terlebih dahulu.

“Allâhu Akbar!” pagi itu Bintang rasakannikmat sekali menunaikan perintah Allâh, terasa khusyu’ dan menyentuh saat membacasurah al-Fâtihah.

“Baru kali ini Bintang merasakan kenikmatan menjalankan perintah Allâh, apakah ini yang dinamakan shalat yang khusyu’’ Bintang membatin ia belum memahamisubstansi makna dari pelaksanaan shalat sebagai rutinitas ritual yang dilaksanakannya ini, baru sebatas melaksanakan atau sekedar menggugurkan kewajiban, yang jelas itu semua dilaksanakannya bagaikan air mengalir, berlalu menyelusuri dataran demi dataran dari yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, arahnya tidak teratur dan bergerak liar mengikuti kelokan yang dilaluinya tanpa ada tujuan yang pasti.

“Assalâmu’alaikum Warahmatullâh” Bintang menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, sambil mengucapkan salam, emaknya tampak lagi memanjatkan do’a dengan khusyu’ sehingga terlihat mulutnya komat-kamit mengutarakan puji syukur dan harapan kepada Allâh, keinginan dan harapan yang tak pernah putus, terus hadir seiring dengan ritme kehidupan sampai pada waktu yang ditentukan.Bintangpun tak lupa memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Ilahi Robbî, sambil memanjatkan do’a demi kebaikan keluarga dan kaum muslimin diseluruh alam, dan memohon keberkahandunia maupun akhirat.

“Amîn yâ Robbal ‘âlamîn!” do’a penutup terlantun dari mulutnya, sebagai penutup do’a dikala shubuh itu, Bintang langsung mencium tangan emaknya sambil tersenyum dan bersimpuh sopan.

“Al-Hamdulillâh, anak Emak bangun dan shalat subuh tepat waktu” emak memujinya sambil membelai rambut sang anak yang kriting, terasa lembut belaian seorang Ibu yang selama ini paling disayangi dan dikasihinya, maklumlah anak bungsu lelaki sebelum adiknya yang terakhir perempuan, memang Bintang agak sedikit dimanja oleh emak, mungkin begitu realitas yang terjadi walaupun kasih emak terhadap anak-anaknya tak pernah dibedakan, tetapi ada sedikit perhatian yang berlebihan dari emaknya terhadap dirinya, buktinya si emak selalu memujinya disaat melakukan kebaikan-kebaikansepertimelaksanakan shalat, beternak, barkebun dan Bintang masih belum mengerti saat itu apa tujuan dari emaknya melakukan hal itu, yang jelas pada saat itu Bintang hanya memahami, itulah naluri seorang ibu terhadap anaknya, cinta buta, adalah hasrat yang akan luntur bagaikan kemarau setahun akan hilang dan sirna oleh hujan sesaat, kasih sayang mengembara, berkelana dalam relung kehidupan tanpa ada batas yang menghalangi kecuali nyawa berpisah dari badan, tulus dan bening sebening mutiara di dasar lautan, itulah ibarat kasih tulus seorang ibu dengan anaknya, surga rela berada di bawah tapak kakinya sebuah philosofis Hadits penuh makna.

“Mak, semalam Bintang bermimpi, Indah sekali dan begitu menakjubkan” Bintang memulai omongan, sambil duduk di samping emaknya.

“Emangnya, Bintang mimpi apa semalam?” tanya emak Bintang dengan muka terheran-heran.

“Mimpi melihat sekelompok orang-orang yang memakai seragam rapi” Bintang berusaha mengingat-ingat mimpinya semalam.

“Ah!, Bintaang…Bintaang, mimpi itukan bunga tidur, dan mimpi kebalikan dari sebuah kenyataan”si emak menjawabnya dengan nada datar.

“Tapi Mak…!” Bintang berusaha meyakinkan emaknya akan kejadian dalam mimpi yang dialaminya seolah-olah begitu nyata.

“Sudahlah Ang!, yang penting sekarang, laksanakan tugasmu seperti biasa, Emak mau ke wc, perut Emak lagi mules!” emak Bintang segeraberanjak dari ruangan shalat menuju wc. Begitulah kebiasaan emaknya, kalau udah selesai shalat subuh,perutnya pasti menginginkan sesuatu yang harus segara disetorkan pada tempatnya, Sedangkan ia tidak terbiasa buang hajat pagi-pagi, paling kantuk menyerang matanya, kadang Bintang kembali tertidur di atas sajadah sampai si emak membangunkannya semula, mengingatkan untuk melaksanakan tugas seperti biasanya sebelum berangkat sekolah.

“Astaghfirullâh!, Aaang…Aaang kok tidur lagi sich!” Emak Bintang tampak bingung melihat anaknya yang tertidur lagi selesai shalat.

“ Ang, bukan Emak ngelarang kamu tidur selesai shalat subuh, tetapi itu tidak baik buat kesehatanmu, matahari pagi itu baik buat tulang” Emak menimpali omongannya sambil menatap wajah Bintang yang masih kuyu karena baru terbangun dari tidur keduanya itu. Bintang mengusap-usap kedua kelopak matanya yang masih terasa berat untuk dibuka, omongan Emaknya hanya samar-samar terdengar bagai diantara alam sadar dan mimpi, Bintang langsung menyeringai melihat Emaknya sedang duduk memperhatikannya yang masih belum sadar.

“ Emangnya sekarang jam berapa Mak?” Bintang berusaha bicara walau kerongkongannya masih terasa kering.

“ Hampir jam setengah tujuh Nak” Emaknya menjawab dengan nada cemas

“ Cepat laksanakan tugasmu, habis itu mandi ya?, jangan lupa sarapan ya Nak” Emaknya terus beranjak dari ruangan shalat menuju dapur sambil mempersiapkan jualan buat di kantin depan rumah. Emaknya juga punya pekerjaan sampingan di rumah yaitu menjual bubur pedas (makanan khas masyarakat melayu pesisir kab.sambas kal-bar) dan bubur nasi di kantin sekolah depan rumahnya, di kantin itu juga tersedia es teh, es kopyor, dan es jeruk kebetulan saat itu kakaknya selesai kuliah dan masih nganggur, jadi dia diberi tugas sama emak menjaga kantin pada pagi hari dan siang harinya digantikan oleh Bintang atau adiknyayang bungsu bergantian dengan jadwal yang telah ditentukan emaknya, Bintang sampai sekarang masih saja enggak habis pikir emaknya yang berprofesi sebagai guru masih sempat-sempatnya berjualan, demi menambah penghasilan keluarga maklumlah gaji pegawai negeri pada saat itu hanya bisa diandalkan buat makan saja bahkan kadang-kadang tidak cukup. Ayahnya adalah seorang yang berwatak keras kepala dan sangat boros dalam manajemen keuangan rumah tangga, kalau lagi banyak duit, ayahnya akan membeli lauk sebanyak-banyaknya yang kadang-kadang mubazir, kalau dimarahi sama emak Bintang, maka ia akan marah-marah nggak karuan, tapi tak juga disangkal Bintang bahwa ayahnya sangat dermawan dan murah hati terhadap tetangga-tetangga bahkan tak sering mereka mampir sebentar saja, trus diajak makan sama ayahnya, yach..begitulah ayah Bintangdengan kebiasaannya yang kadang sering membikin hati Bintang gembira plus bingung karena beliau tidak jarang marah-marah kalau tidak ada duit, maka Emaknyalah yang kebagian pemalakan bukan berarti pemaksaan sich, walau hal seperti ini wajar-wajar saja dalam sebuah keluarga, berta’âwanu dalam kemashlahatan adalah sebuah perintah dan anjuran dalam agama Islam, tetapi sifat boros sangat tidak dianjurkan oleh rasulullah bahkan diidentikkan dengan sahabat setan yang terkutuk.

“Ang kesini sebentar!” Ayahnya memanggil dengan suara agak lantang.

“Iya Yah!, ada apa sich!” Bintang agak sedikit kesal karena lagi asyik memandangi kelinci-kelincinya yang berkejaran kesana-kemari.

“Belikan Ayah rokok ya?” pinta Ayahnya sambil meneguk kopi panas.

“Duitnya mana Yah” Bintang berbalik bertanya.

“Minta sama Emakmu“ Ayahnya menyuruh dengan nada santai .

“Yach, Emak lagi, Mak lagi!” Bintang rada kesal dengan Ayahnya, kalau udah kehabisan uang maka Emaklah yang menjadi tempat rujukan, tapi kalau udah gajian Ayah tidak pernah memberikan uang belanja atau mempercayakan kepada Emaknya buat mengatur duit belanja sehari-hari, tetapi Ayah Bintang lebih memilih belanja sendiri dan mengatur keuangan sendiri dan sudah tentu dengan sifat borosnya itu, belum habis pertengahan bulan mukanya tampak manyun menunggu awal bulan karena duit gajinya telah habis sebelum akhir bulan, dan kalau udah begitu pasti Emak yang jadi sasaran buat minta uang kalau nggak dikasih sama Emak, maka Ayah akan ngebon ke warung cina langganannya itu, Bintangpun terkadang tidak habis fikir, kenapa sifat Ayahnya yang satu ini nggak bisa dirubah walau sudah beberapa kali Emak menasehatinya, tampaknya Ayah mendengarkannya hanya masuk kuping kiri, dan keluar kuping kanan, tanpa ada perubahan yang berarti dari periakunya, Emak Bintang sering curhat dengannya akan perilaku Ayahnya yang tidak sejalan dengan keinginan emaknya, walaupun Emak mengakui dalam menghadapi kebutuhan keuangan yang mendadak yang jumlahnya besar Ayah selalu dapat memberikan jalan keluar, entah bagaimana caranya yang jelas Ayah memang punya banyak tanah, dan satu kebiasaan ayahnya yang ia kagumi saat itu, Ayahnya tidak mahu menabung di bank konvensional yang beroperasi berdasarkan bunga, tetapi Ia lebih memilih menginvestasikan uangnya dengan membeli tanah, dan tanah itu bagaikan emas yang harganya relatif tidak pernah turun, melainkan terus meningkat dari tahun ketahunpaling tidak harganya tetap stabil. Di dalam hati Bintang hanya ada satu tekad Bintang tidak mau mencontoh Ayah dari sisi manajemen keuangannya itu, tetapi lebih memilih jalan tengah dan mengambil sisi-sisi positif dari perilakunya demi kebaikannyananti, Bintang jadi ingat nasehat guru agama di sekolahnya.

Kita harus mempertahankan sesuatu yang lama yang sifatnya baik dan bermanfaat, serta mengambil dari yang baru dalam rangka perbaikan dan kemaslahatan ke depan, ini adalah tindakan arif dan bijaksana dalam bermu’asyarah menjalani kehidupan” pesan yang berisikan hikmah ini, sering dilontarkan guru agamanya yang karismatik dan disegani murid-muridnya baik di sekolah maupun diluar sekolah, karena beliau lebih senang memberikan contoh yang baik ketimbang berkata-kata tanpa arah dan tanpa tujuan.

“Ang, jangan lama-lama ya ?“ ayah Bintang menyuruhnya untuk segera ke warung, setelah uang untuk membeli rokok dikasih emaknya.

“ Beres jangan khawatir dech Yah, paling cuman dua jam” Bintang sedikit berkelakar menutupi sedikit kekesalan yang mengganjal di hatinya, hal ini sebenarnya adalah Anemulasi dari rasa tidak tega terhadap emaknya, yang sedikit tertindas oleh sang ayah, tetapi mungkin inilah namanya lika-liku hidup berumah tangga, Bintang jadi teringat pesan pamannya, “Ang, berumah tangga itu ibarat makan pakai sendok, sepelan apapun atau seteliti apapun cara kita menggunakannya pada saat makan, pasti akan menimbulkan bunyi saat ketemu dengan piring, hanya saja kualitas suara yang dikeluarkan relatif, tergantung kecermatan kita dalam menggunakannya” ingatan Bintang akan nasehat pamannya itu menyadarkannya dari kekesalannya saat itu.

Ayah Bintang tampak diam tanpa kata-kata, memperhatikannya pergi, mungkin Ia juga berfikir kenapa anaknya berkata seperti itu, tetapi hanya ayahnyalah yang tahu persis apa yang terlintas dalam benaknya sendiri.

“Beli rokok surya Bang!” bang Mamat pemilik warung di seberang jalan rumah Bintang itu dengan sigap mengambilkan rokok yang diinginkannya dari dalam etalase rokok yang ditaruh persis di bagian depan warungnya bang Mamat.

“Berapa Bang?” Bintang lupa harga rokok surya yang enambelas batang.

“Lima ribu tiga ratus rupiah saja Ang!” bang Mamat seolah-olah menjual dengan harga murah kepadanya, biasalah yang namanya pedagang harus pintar-pintar meyakinkan.

“Ada kembalian nggak Bang!” Bintang kembali bertanya pada bang Mamat, maklumlah Bintang agak tulalit dalam bidang hitung menghitung, nilai matematiknya tidak pernah lebih dari enam bahkan lebih sering merah.

“Emangnya, duit ente ada berapa Ang?“ bang Mamat memandanginya dengan mimik datar.

“Enam ribu lima ratus“ Bintang kembali menjawab bang Mamatsambil menatap wajah bang Mamat yang berewokan itu.

“begini aja, bagaimana kalau kembaliannya diganti dengan rinso dan korek api saja ya?” bang Mamat memohon sambil melempar senyum kepadanya.

“Okelah, no problema” Bintang menjawab dengan mimik bingung, tapi berlagak sok tahu.

“Ma kasih ya!” bang Mamat kembali tersenyum, dia memang pintar menarik pembeli, dan pintar membuat orang untuk tidak mengharap uang kembalian, banyak tetangga-tetangganya dan orang sekampungyang memilih berlangganan berbelanja kepadanya, karena Bang Mamat terkenal ramah dan murah senyum, apalagi di kampung Bintang pribumi jarang yang membuka usaha warung, karena didominasi oleh orang-orang cina.

“Nich rokoknya, nggak telat kan?“ Bintang kembali menggoda ayahnya yang dari tadi mukanya terlihat muram.

“ Nah begitu baru anak Ayah!” ayahnya tampak tersenyum girang, karena kepergiannya membeli rokok tidak lama, sehingga sang ayah kembali bisa menikmati rokok kesukaannya, begitulah orang tua, kalau perintahnya dituruti maka pujian akan keluar dari mulutnya, secara spontan. Bintang kemudian bergegas menuju ke kamar mandi, setelah itu ia langsung berpakaian dan tak lupa melahap goreng pisang yang tersedia di atas meja makan serta meneguk segelas kopi, kemudian ia berangkat ke sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumahnya setelah ia berpamitan dengan kedua orang tuanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun