Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Biasa saja, tidak ada yang istimewa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengadilan Agama Kebanjiran Perkara Dispensasi Kawin

25 Januari 2024   14:13 Diperbarui: 25 Januari 2024   14:24 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semula seorang untuk pria dapat melangsungkan perkawinan apabila telah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan bagi wanita bila sudah berumur 16 (enam belas) tahun sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kemudian terjadi perubahan baik pria maupun wanita disaat sudah berumur mencapai 19 (Sembilan belas) tahun sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasca kenaikan batasan minimal usia perkawinan semula 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita,  menjadi 19 Tahun bagi calon pengantin pria dan wanita, perkara permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama (PA) terjadi kenaikan yang signifikan.

Data perkara yang diambil penulid di Pengadilan Agama Mojokerto Kelas I A sebelum terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yaitu :

  • Tahun 2017 menerima 127 perkara
  • Tahun 2018 menerima 118 perkara
  • Tahun 2019 menerima 264 perkara.  Setelah berlakunya Undang-undang yang baru tersebut, perkara Dispensasi Kawin yang diterima di Pengadilan Agama Mojokerto yaitu :
  • Tahun 2000 menerima 589 perkara,
  • Tahun 2001 menerima 563 perkara
  • Tahun 2022 menerima 481 perkara, dan
  • Tahun 2023 menerima 428 perkara.

Artinya kenaikan jumlah perkara permohonan Dispensasi Kawin dari sebelum terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perkawinan hingga berlakunya Undang-undang baru tersebut perkara naik 3 (tiga) kali lipat lebih.

Secara hukum, bila ada calon pengantin yang usianya masih belum memenuhi batas minimal usia untuk bisa menikah, orang tuanya bisa mengajukan permohonan ke pengadilan yang disebut dengan istilah Dispensasi Kawin sebagimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (2) dan juga disebut dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada Penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 3. Yang dalam hal ini kewenangan secara absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan Dispensasi Kawin adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama islam. Terkait perihal tersebut, setelah berlakunya usia perkawinan minimal 19 tahun bagi pria dan wanita, permohonan Dispensasi Kawin yang masuk di Pengadilan Agama semakin membludak dan tak terbendung.

Tentu saja permasalahan tersebut diatas menjadi semakin dilematis. Di satu sisi, ditinggikannya batas minimal usia untuk dapat menikah atau pendewasaan usia menikah diharapkan untuk dapatnya menekan angka perkawinan anak. Akan tetapi di sisi lain, Undang-undang memberikan alternatif atau kelonggaran apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh orang yang belum memenuhi batas minimum usia untuk menikah, justru di perbolehkan. Hal tersebut seperti menambal satu lubang, akan tetapi lubang yang lainnya dibiarkan tetap terbuka.

Banyak terdapat suatu perikatan, namun ikatan yang sakral itu disebut dengan perkawinan. Bahkan di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebut sebagai mitsaaqan ghalidzan (perjanjian agung), dikarenakan dalam perkawinan inilah mahluk yang bernama manusia itu akan semakin teruji mulia atau tidaknya. Akan tetapi, kemuliaan sebagai manusia bisa menjadi jatuh terjerembab bila "perjanjian agung" itu dilaksanakan dengan asal-asalan dan  kurang persiapan.

Disamping pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, para penggiat hak-hak anak dan perempuan dan lain-lain, peranan para orang tua terhadap permasalahan ini teramat sangat signifikan untuk dapatnya memberi arahan, nasehat dan  bimbingan terhadap anak-anaknya perihal perkawinan.

Tidak bisa dipungkiri, saat ini perkawinan anak dibawah umur menjadi trand, banyaknya perkawinan anak di usia dini atau dibawah umur tidak jarang yang bermula dari keputusan orang tua atau karena keteledoran orang tua dalam membina anak. Hal ini membuat masalah semakin rumit dan kompleks.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang membawahi Peradilan Agama yang mempunyai kompetensi menangani perkara permohonan Dispensasi Kawin (Diska) menerbitkan suatu regulasi berupa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin (PERMA Dispensasi Kawin) sebagai hukum acara perkara Dispensasi Kawin. PERMA tersebut sebagai aturan main yang menjadi pedoman bagi pengadilan dan bagi hakim dalam memeriksa perkara Dispensasi Kawin.

Akan tetapi, baik Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin (PERMA Dispensasi Kawin) tersebut tidak mendefinisikan maksud dari "alasan sangat mendesak", tidak memberikan batasan-batasannya, apalagi memberikan rincian-rinciannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun