Foto : Facebook
#SaveTukangSate, begitulah hastag twitter yang menjadi trending topik dalam tiga hari belakangan. Munculnya gerakan publik di media sosial ini merupakan reaksi atas penahanan seorang buruh kipas sate yang konon melakukan tindakan bullying terhadap Joko Widodo pada saat momentum pemilihan presiden beberapa bulan lalu.
Kita semua sepakat bahwa tindakan bullying apa lagi bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik oleh siapapun dan ditujukan kepada siapapun adalah suatu tindakan yang tidak terpuji dan jauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Bahkan kalau perlu pelakunya pantas diganjar hukuman pidana untuk memberikan efek jera.
Kita tidak tahu apa motif Hendri Yosodiningrat melaporkan MA (24) ke kepolisian apakah memang ingin menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku lain atau merupakan bagian dari skenario pencitraan Bapak Presiden nantinya, kita serahkan kepada yang bersangkutan. Akan tetapi melihat latar belakang fenomena bulliying ini awalnya justru muncul dari relawan pendukung Jokowi, maka penangkapan itu merupakan suatu tindakan yang sangat naïf dan ironis.
Menengok ke belakang, fenomonea bullying ini sebenarnya muncul saat Jokowi lagi populer-populernya. Kepepopuleran Jokowi sebagai idola publik baru menggundang berbagai fihak baik pengamat dan tokoh nasional berkomentar mengenai beliau. Tentunya tidak semua tokoh dan pengamat mempunyai pandangan sama dengan publik saat itu. Amin Rais mantan ketua MPR misalnya pernah membuat pernyataan bahwa prestasi Jokowi sebagai Walikota Surakarta hanyalah prestasi semu. Amin berargumen tidak ada indikator yang jelas yang menunjukkan bahwa Jokowi merupakan Walikota berprestasi, kecuali hanya dapat mendapat penghargaan sebagai Walikota terbaik melalui polling online.
Entah dikoordinir atau tidak pernyataan Amin yang menyududutkan Jokowi ini ternyata menuai reaksi publik. Kolom-kolom komentar pembaca media massa online maupun media sosial yang memuat pemberitaan yang berlawanan dengan opini publik ini, hampir seluruhnya penuh dengan kecaman-kecaman bernada sarkastik dan menyudutkan Amin Rais.
Pertarungan sengit antara Jokowi dan Fauzi Bowo pada putaran kedua Pilkada Gubernur DKI 2012 semakin mempersubur fenomena bullying ini khususnya di kolom-kolom komentar media online dan media sosial. Hampir setiap hari kita melihat kolom-kolom komentar media online seperti penuh dengan sumpah serapah, penghinaan, penistaan setiap tokoh atau pengamat yang berkomentar miring terhadap Jokowi. Dan kalau kita memperhatikan tata bahasa, jargon-jargon dan inti pesan yang ingin disampaiakan sepertinya ada sebuah kesengajaan bullyer untuk mendeligitimasi Foke sekaligus meligitimasi Jokowi saat itu. Bahkan tidak jarang kita melihat foto-foto Foke yang diidentikkan dengan Hitler tokoh Nazi Jerman sementara disampingnya Jokowi yang diidentikkan dengan Obama Presiden Amerika.
Rhoma Irama yang saat itu sangat getol menghambat laju Jokowi pun juga tidak luput dari bulliying para pendukung Jokowi dengan konotasi-konotasi yang sangat memiriskan, baik secara verbal maupun non verbal.
Fenomena bulliying para pendukung Jokowi ini berlanjut pada Pilpres 2014. Saat inilah publik terbelalak ketika seorang wanita cantik bernama Kartika Djumadi pada sebuah acara TV Swasta mengakui ia memimpin sebuah komunitas media sosial yang berkegiatan mendukung aktifitas politik Jokowi. Walaupun Kartika tidak mengaku sebagai fihak yang bertanggungjawab atas fenomena bullying selama Pilkada DKI namun merupakan salah satu alibi yang mendukung bahwa aktifitas bulliying di media sosial bermula dari mereka.
Keberadaan Jasmev sebagai buzzer pendukung politik Jokowi ternyata mengundang reaksi politisi partai Gerindra Fadli Zon. Fadli menuding bahwa keberadaan tentara maya di kubu lawan bertanggungjawab atas beredarnya konten-konten negatif atas Prabowo Subianto. Fadli Zon bersama koleganya dari PKS Fahri Hamzah pun tidak dapat mengelak untuk terjun dalam perang opini lewat media sosial. Bahkan kedua politisi ini sendiri malah menjadi korban bulliying, nama Fadli Zon malah lebih sering dibilang Fadli Zonk di kalangan pendukung Jokowi.
Konstalasi inilah yang akhirnya membuat perang terbuka di media sosial pada Pilpres kemarin benar-benar tidak dapat di elakkan. Jika pada Pilkada DKI Foke dan pendukungnya lebih banyak menjadi korban bullying, maka di Pilpres ini kekuatan menjadi seimbang, jadi tidak mengherankan kalau kita melihat foto Prabowo dikonotasikan dengan hewan maka hal yang sama juga terjadi pada Jokowi. Jokowi dalam hal ini bukanlah objek penderita tunggal sebagaimana dialami oleh Foke.
Berdasarkan hal tersebut diatas saya berkesimpulan bahwa tindakan MA sesungguhnya merupakan reaksi bullying yang dikampanyekan pendukung Jokowi sendiri sejak lama. MA memposting foto yang tidak senonoh itu karena pendukung Jokowi juga melakukan hal yang sama kepada tokoh pujaan MA.
Pertanyaanya kalau niatnya untuk menimbulkan efek jera, kenapa fihak Jokowi melaporkan orang yang sesungguhnya sangat awam dengan permasalahan ini? Bukankan masih banyak pembully yang lebih pantas dikriminalkan dari pada orang MA?
Tidak sewajarnya seorang buruh kipas sate yang hanya berpendidikan rendah yang tidak tahu apa-apa menjadi objek penderita sebagai akibat kebiasaan yang justru datang dari pendukung-pendukung Jokowi sendiri.
Jokowi ataupun pembesar-pembesar di sekitarnya sepertinya sudah mulai lupa bahwa para pembully bodoh inilah yang membungkam orang-orang yang mencoba meredupkan pesona Jokowi sendiri. Mereka sudah tidak ingat bahwa pembully bodoh inilah yang membuat orang-orang pintar macam Marzuki Ali, Amin Rais, Fauzi Bowo, Siti Zuhro, Prabowo bahkan SBY mantan presiden kita benar-benar kelihatan bodoh dan tidak ada apa-apanya dibanding Jokowi.
Jadi sangat naïf dan ironis jika ada pembully bodoh macam MA dikriminalkan hanya gara-gara pembully bodoh dan tidak berpendidikan tersebut kali ini menjadikan Jokowi sebagai korban.
Oleh karena itu jika Pak Presiden memang berniat menghentikan bulliying yang sepertinya sudah membudaya di tengah masyarakat kita, sebagai orang awam saya lebih mengapresiasi Bapak Presiden untuk mengkriminalkan orang-orang seperti Wimar Witular, Fahri Hamzah atau Adrian Napitupulu atas perilaku-perilaku bullying mereka. Pembelajaran yang baik buat publik adalah dari atas ke bawah bukan sebaliknya. Karena tidak mungkin dengan menghukum seorang MA mampu mengubah sikap-sikap sarkastik orang-orang berpendidikan tinggi macam Wimar, Butet, Adrian, Fahri atau Kartika dkk.
Kecuali Bapak Presiden hanya mau mengambil simpati atas penahanan MA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H