Mohon tunggu...
Arbi Sabi Syah
Arbi Sabi Syah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis Komparatif.id

Jurnalis Komparatif.id dan Kreator Konten Media Sosial Blockchain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Pelayanan Rehabilitasi Fisik Menuju Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM)

15 Agustus 2012   17:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:43 2198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu upaya untuk membangun masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang memiliki kemauan dan kesadaran tinggi menghormati hak-hak anak difabel adalah mutlak menjadi tanggung jawab pengambil kebijakan dalam membuat sebuat aturan. Keputusan Pemerintah Aceh terhadap isu difabel secara langsung akan pengaruhi sikap dan perilaku seluruh masyarakat Aceh itu sendiri bagi kaum difabel. Perundangan, peraturan, dan keputusan pemerintah daerah Aceh yang berkaitan dengan perlindungan anak harus disertakan hak-hak anak-anak difabel. Sehingga, perlakuan diskriminasi terhadap mereka oleh banyak orang yang selama ini terjadi karena masyarakat Aceh belum paham sepenuhnya bahwa isu difabel bukanlah sebatas isu sosial biasa. Masyarakat perlu dididik dengan diperkenalkan konsep baru pengertian difabel. Mengapa ini penting?

Stigma negatif masyarakat tentang difabel juga masih kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Sedangkan pengertian Difabel (Different Ability) adalah seseorang yang keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan orang lain pada umumnya. Kebanyakan keluarga yang memiliki anak difabel dan masih menganggap aib serta malu untuk terbuka. Padahal, anak difabel juga memerlukan hak yang sama salah satunya pendidikan. Pemerintah sendiri sering tak menyadari masalah ini. Entah apa yang mereka pikirkan terkait masalah pemenuhan hak-hak difabel. Kadang kala, kita berpikir tentang pemahaman sejauh mana pemahaman para pengambil kebijakan di Aceh tentang isu difabel itu sendiri. Pahamkah mereka? Atau jangan-jangan pemerintah Aceh sendiri tak punya kemauan memenuhi hak-hak kaum difabel?

Masyarakat umumnya telah memutuskan sendiri bahwa kaum difabel itu harus dikasihani dan dihormati. Itu sudah takdir Tuhan yang tak mungkin dilawan. Sehingga, masyarakat masih menempatkan isu difabel itu tak perlu dibahas lebih jauh. Alasannya, kita tak bisa berbuat banyak mengubah kondisi mereka. Pada hal, masyarakat perlu diberi pengetahuan lebih jauh bahwa kaum difabel bukan sebatas mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial. Bukan pula mereka hanya mendapat layanan dasar di pusat rehabiltasi medik sebuah rumah sakit umum milik Pemerintah Daerah. Akan tetapi, masyarakat perlu dilibatkan langsung dalam pemenuhan hak-hak kaum difabel, terutama anak-anak difabel dalam sebuah aksi bernama Rehabilitasi Berbasiskan Masyarakat (RBM).

Pengertian Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM)

RBM adalah sebuah program rehabilitasi untuk difabel non panti (difabel yang hidup
ditengah masyarakat, yang tidak ditangani atau tidak tinggal di panti). Dalam RBM juga diusahakan adanya transfer pengetahuan dan ketrampilan dari professional kepada keluarga dan masyarakat agar mereka mau dan mampu  terlibat dalam upaya membantu kemandirian hidup difabel agar kualitas hidupnya meningkat.  Konsep dan pelaksanaan RBM kemudian berkembang pesat dan dilaksanakan di lebih dari 90 negara, termasuk mencakup kesehatan, pendidikan, mata pencaharian, sosial, dan pemberdayaan. Termasuk di dalamnya adalah upaya advokasi dan pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu terkait difabel dan difabilitas
ke dalam agenda pembangunan.

Di Indonesia, RBM sudah dilaksanakan sejak tahun 1970-an, salah satu perintis RBM di Indonesia adalah PPRBM (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat) Prof. Dr. Soeharso – YPAC Nasional, Solo. PPRBM didirikan oleh YPAC Pusat atau YPAC Nasional. PPRBM Solo mulai berkarya sejak awal tahun 1970-an dan resmi berdiri sebagai lembaga tahun 1978. Sampai sekarang ini ada sekitar 30 lembaga yang melaksanakan RBM di Indonesia, yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut sejak tahun 2008 tergabung dalam Aliansi RBM Indonesia.

Bagaimana Perkembangan RBM di Propinsi Aceh?

Sejak awal tahun 2011 sebuah lembaga bernama Yayasan Rehabiltasi dan Pengembangan Inklusi (YRDPI) telah beroperasi di 2 (dua) Kabupaten/Kota di Aceh. YRDPI Aceh yang didukung penuh oleh Lembaga Caritas Germany menjalankan Program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) di Kecamantan Banda Raya, Kota Banda Aceh, dan Kecamatan Montasi di Kabutapaten Aceh Besar. Memasuki tahun kedua proyek RBM yang dijalankan oleh YRDPI Aceh menurut penulis ikuti sudah menunjukkan perkembangan yang baik mengenai pemahaman masyarakat di 2 (dua) Kecamatan yang menjadi proyek percontohan mereka. Ada pelatihan-pelatihan kepada Bidan Puskesmas dan kader Posyandu. Mereka akan telah libatkan para Bidan Desa dan Kader Posyandu dalam setiap Kegiatan di masyarakat. Adanya Program Grup Terapi yang dibuat setiap minggu di masing-masing Desa dalam area kerja YRDPI Aceh telah memberikan dampak positif bagi orang tua dalam menangani anak-anak mereka yang difabel.

Pemerintah di dua kecamatan tersebut telah diberikan pemahaman tentang disabilitas (kecacatan) dan pengertian tentang RBM. Ini menjadi langkah penting bagi Aceh meskipun YRDPI Aceh abru bekerja di 2 (dua) kecamatan saja di Aceh. Pejabat pengambil kebijkan di Tingkat Kabupaten/Kota juga diberi pemahaman mengenai program RBM. Eksekutif dan Legislatifsangat diharapkan bisa memuluskan langkah-langkah advokasi pentingnya tenaga Fisioterapi di setiap Puskesmas. Dan juga, bangunan-bangunan yang akan dibangun di desa-desa harus memberikan akses yang luas bagi kaum difabel. Hak yang sama bagi setiap warga negara wajib dipenuhi oleh pemangku jabatan karena hal ini sesuai dengan UUD 1945 dan piagam deklarasi umum mengenai Hak Azasi Manusia (DUHAM) PBB. Pemerintah harus diingatkan juga bahwa Konvensi PBB tentang Hak-Hak Difabel (UNCRPD) ikut ditandatanganinya pada tanggal 13 Desember 2006 dalam Sidang Umum PBB.

Walaupun, kendala di lapangan pasti ada terutama adanya regulasi yang menghambat program untuk anak-anak difabel, seperti sulitnya keluarga difabel untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kita berharap kepada Pemerintah Aceh yang baru dapat memberikan dukungan penuh lewat regulasi mereka agar hak-hak kaum difabel di Aceh dapat terpenuhi.

Kampanye (Komunikasi – informasi – edukasi) untuk perubahan sikap masyarakat secara berkala dan berkelanjutan sangat perlu dilakukan oleh Lembaga-Lembaga yang bekerja untuk isu difabel di Aceh. Para pengambil kebijakan perlu disosialisasikan lebih jauh tentang tata cara pelaksanaan proyek RBM agar tidak hanya berpikir untuk pelayanan fisik saja, akan tetapi masyarakat dari segala komponen harus dilibatkan dalam pemberdayaan kaum difabe di Aceh. Otoritas dari tingkat Desa hingga Propinsi harus diberi pemahaman yang baik tentang isu RBM.

Aceh harus diarahkan menjadi daerah yang layak bagi kaum difabel. Ini akan sangat indah bila dibayangkan terwujud. Anak-anak difabel dapat bersekolah dan bermain dengan semua anak seusianya tanpa adanya diskriminasi dari para pendidik dan orang tua anak yang lain. Hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, bahkan hak untuk mendapatkan perlindungan. Semua anak membutuhkan hak-hak tersebut, tak terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus atau difabel.

Pemerintah harus segera membuat sebuah regulasi terkait pemenuhan hak-hak kaum difabel. Karena orang-orang yang berkebutuhan khusus perlu diberi ruang yang sama untuk beraktivitas dalam kehidupan. Mereka butuh ruang publik yang nyaman dan bisa diakses kapanpun.

Masyarakat harus disadarkan bahwa kaum difabel harus terpenuhi hak-haknya. Dan kita harus bertanya pada diri kita sendiri bahwa, “apakah harus menjadi Difabel dulu sehingga kita baru mau merasakan dan ikut memperjuangkan hak-hak kita sendiri? Tentu saja kita tak memiliki pandangan demikian. Kita menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan telah ciptakan kita seindah-indah bentuk sehingga perwujudan yang sempurna itu tergambar dlam tingkah laku kita sehari-ahri. Peka terhadap kebutuhan orang lain yang sama dengan kita, rela berbagi dan saling menolog, serta mendukung terpenuhi hak-hak bagi kaum difabel yang merupakan saudara-saudara kita juga.

Kita tidak ingin saling menyalahkan satu sama lain dalam upaya pemenuhan hak-hak kaum difabel. Mari kita saling bekerjasama wujudkan masyarakat yang paham isu difabel dan rehabilitasi yang ikut melibatkan kita semua. Semoga pemerintah Aceh yang baru paham akan masalah penting ini serta mau mendengar masukan positif dari kita semua.

Berdasarkan pengalaman yang penulis dapatkan dari beberapa kali pertemuan dalam acara seminar atau workshop tentang RBM dan tata cara ADVOKASI hak-hak kaum difabel dengan Pak Sunarman,Amd.Ing (Direktur PPRBM Solo), memberi pengalaman bahwa di tingkat akar rumput dan advokasi  di tingkat kabupaten / kota oleh PPRBM Solo, dan anggota Aliansi RBM Indonesia, model Tim Advokasi Difabel tingkat kabupaten/kota dapat dikembangkan ke  tingkat nasional, termasuk di Propinsi Aceh.

WHO telah meluncurkan Panduan RBM terbaru yang meliputi 5 komponen yang terangkum dalam CBR Matrix atau matriks RBM. Panduan  baru tersebut perlu diperkenalkan kepada stakeholder RBM tingkat Nasional: LSM, Organisasi Difabel, dan jajaran Pemerintahan, baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah pusat (kementerian). Hal ini penting karena upaya pemberdayaan dan pemenuhan hak-hak difabel harus terintegrasi, lintas sektor, lintas dinas/lintas kementrian, terorganisir dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan dimonitor serta dievaluasi secara serius dan berkesinambungan oleh pemerintah.

Banyak LSM dan Organisasi Difabel yang bekerja dalam isu-isu kecacatan tapi kebanyakan berfokus di tingkat akar rumput dan belum banyak menyentuh advokasi kebijakan strategis, bahkan sebagian menggunakan pendekatan rehabilitasi saja. LSM dan Organisasi difabel yang bekerja pada isu-isu kecacatan perlu bertemu dan berkomunikasi dalam suatu forum terencana. Mereka perlu berbagi informasi, mengembangkan kesepahaman dan kerjasama untuk mempercepat advokasi nasional terutama proses ratifikasi United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) dan mempromosikan pendekatan pembangunan yang inklusif. Semoga.

***Penulis adalah Kepala Divisi Pengurangan Resiko Bencana (PRB) pada Lembaga People Crisis Centre (PCC) Aceh, dan juga aktivis pembela hak-hak kaum difabel yang juga kontributor untuk Tabloid terbitan beberapa LSM di Aceh,terutama untuk isu-isu kesehatan dan lingkungan hidup. E-mail: bahagiaarbi@gmail.com Twitter; @ArbiSyach

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun