Kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang cacat memang masih kurang. Sangat sedikit dijumpai fasilitas umum dan fasilitas sosial terhadap mereka. Tak hanya di Banda Aceh, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Semarang juga belum dilengkapi dengan fasilitas khusus untuk para penyandang disabilitas.
Minimnya kamar- kamar kecil di tempat-tempat umum dan pusat-pusat perbelanjaan untuk para penyandang cacat adalah realita yang mudah dijumpai. Fasilitas untuk orang yang tidak berkebutuhan khusus seakan dilayani lebih baik. Bahkan tempat parkir khusus untuk mereka dengan lambang kursi roda belum kita temui di Aceh. Belum lagi, kendaraan angkutan umum yang khusus untuk penyandang cacat masih belum kita jumpai di Kota Banda Aceh.
Bagaimana dengan pekerjaan untuk mereka? Mengutip Pasal 4 Konvensi Hak Penyandang Cacat masih sangat sedikit dari mereka yang bisa diserap untuk bekerja, termasuk di instansi pemerintah. Banyak instansi yang menolak menerima penyandang cacat untuk bekerja bersama mereka. Padahal, sudah banyak prestasi ditorehkan oleh para penyandang disabilitas hingga ke tingkat dunia. Kenapa Instansi dan perusahaan yang ada di Indonesia belum benar-benar terbuka untuk menerima para penyandang cacat?
Mereka, seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan mereka yang tidak terlahir sempurna.
Di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi dapat disaksikan dengan mudah bagaimana minim dan nyaris tidak dijumpai fasilitas yang layak bagi para penyandang cacat.Status anak tiri masih saja terbingkai untuk mereka. Padahal di negara-negara lain terutama negara maju, kepedulian pemerintah terhadap para penyandang cacat sudah sangat tinggi. Karenanya banyak sekali para penyandang cacat yang meraih prestasi baik di bidang akademi, olahraga, maupun bidang-bidang lainnya.
Terus terang, penulis punya harapan besar hal tersebut dapat terwujud khususnya di Aceh dan juga di seluruh wilayah Negara Indonesia tercinta ini. Walaupun, harapan dan impian kita semua kepada pemerintahan baru dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II-nya itu untuk memikirkan dan meningkatkan kepedulian terhadap para peyandang cacat Indonesia sudah tertanam dari dulu.
Kita pantas khawatir karena jumlah penyandang cacat di Negara ini tidaklah sedikit. Perhatian terhadap mereka harus ada lewat program kerja Pemerintah agar hak-hak mereka terpenuhi dengan baik sebagai umat manusia.
Dari beberapa kesempatan menjadi fasilitor dan penyelenggara training bagi para penyandang cacat di Aceh, penulis sering berdiskusi tentang keinginan mereka yang sebenarnya tidak ingin diistimewakan, tidak berharap dikasihani, atau minta diberi perlakuan berlebih. Mereka hanya ingin memperoleh hak yang layak seperti warga masyarakat lainnya. Tetapi, mereka mengakui bahwa keterbatasan fisik yang mereka miliki itu sering dianggap tak bisa berbuat apa-apa sehingga kesempatan untuk mandiri pun terhambat.
Sungguh sangat beralasan bila mereka berharap agar pemerintah Aceh dapat membantu mereka dengan menyediakan akses yang layak di tempat-tempat umum seperti sekolah, universitas, mesjid, bank, dan tempat lainnya. Semua itu bertujuan agar mereka mudah beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga bisa berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain dan ikut memberikan sumbangsihnya di bidang pembangunan Aceh ke depan.
Sudah selayaknya para penyandang cacat itu diberi kesempatan untuk berkiprah dan berkarya sesuai kemampuannya. Banyak dari mereka yang sudah mendapatkan pembekalan berupa latihan dari berbagai Lembaga Non-Pemerintah baik asing maupun lokal. Namun, jika Pemerintah Aceh tak ikut membantu menyediakan akses yang layak untuk mereka rasanya akan sia-sia saja semua peningkatan kapasitas yang telah mereka dapat tersebut.
Harapan dan Tantangan
Diskriminasi terhadap para penyandang cacat memang sering terjadi. Dalam bidang pendidikan, ketenaga kerjaan, pelayanan kesehatan, aksesibilitas adalah beberapa contoh yang nyata. Sementara Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, sosialisasi dan implementasinya masih minim. Bahkan, undang-undang penanganan penyandang cacat tersebut masih berorientasi pada rehabilitasi dimana tupoksinya ditangani oleh satu sektor saja yaitu Departemen Sosial.
Bantuan Pemerintah Pusat sendiri untuk Dinas Sosial di Aceh juga masih terbatas. Ini memungkinkan terjadinya ketidakadilan dalam hal penyaluran bantuan kepada penyandang cacat itu sendiri. Kewalahan dan terbebani sering dirasakan oleh para pekerja sosial kecacatan di lapangan ketika kursi roda, tongkat, dan alat bantu lainnya yang jumlahnya terbatas setiap tahun itu dibagikan. Banyak sekali para penyandang cacat yang tak mendapatkan bantuan.
Kejadian seperti tersebut di atas masih berlangsung hingga saat ini. Pemerintah Aceh harus membuka diri untuk memberi perhatian kepada para penyandang cacat ini. Aturan berupa Qanun untuk mengatur masalah kecacatan sepertinya sudah sangat mendesak dirancang oleh Pemerintah Aceh untuk dibahas oleh legislatif Aceh. Walau sebenarnya, dalam Qanun Kesehatan sendiri telah disebutkan beberapa pasal tentang penyandang cacat, namun butir-butirnya belum terakomodir masalah-masalah menyangkut hak-hak para penyandang cacat di Aceh.
Hanya sebatas proses rehabilitasi medik saja dimasukkan ke dalam Qanun Kesehatan tersebut. Itu pun masih jauh dari apa yang diharapkan karena pelayanan kesehatan untuk mereka terkesan pelengkap saja.
Sebenarnya, beberapa usaha telah dilakukan melalui diadopsinya dasawarsa penyandang disabilitas Asia pasifik kesatu dan kedua melalui penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacats yang disusun dengan partisipasi penuh lintas sektoral dan organisasi kecacatan dalam rangka menajamkan strategi implementasi, akan tetapi sampai hampir berakhirnya dekade kedua, capaian tersebut belum dapat dilihat dalam bentuk yang kongkrit, segala sesuatunya masih dalam bentuk meningkatkan kepedulian baik masyarakat maupun pemerintah itu sendiri.
Hak Penyandang cacat secara mendasarpun masih tetap terabaikan seperti hak untuk berkehidupan yang layak, pelanggaran-pelanggaran hak asasi penyandang cacat kerap terjadi, akan tetapi penanganan oleh beberapa institusi hak asasi manusia yang ada terlihat kurang maksimal capaiannya dikarenakan oleh tidak berjalan dengan baiknya komunikasi dari masyarakat penyandang cacat yang memang sangat merasa asing karena keterbatasan pendidikan dan informasi terhadap para institusi yang juga mempunyai keterbatasan pengetahuan tentang keberadaan penyandang cacat dan cara penanganannya.
Angin segar terlihat dari adanya Komitmen Global yang terus menguat dan baru terhadap usaha penghapusan diskriminasi, peluang kesamaan kesempatan dan kesetaraan, dan perlindungan terhadap hak penyandang cacat melalui diadopsinya Convention on The Rights of Persons with Disability (Konvensi Hak Penyandang Cacat) pada tanggal 13 Desember 2006 oleh PBB dalam Resolusi No. 61/106 Tahun 2006.
Indonesia melalui dorongan organisasi penyandang cacat menandatangani konvensi tersebut pada saat kesempatan pertama di buka pada tanggal 30 Maret 2007 di Markas PBB New York, selanjutnya proses untuk meratifikasi terus berlangsung dan dikawal oleh para organisasi Penyandang cacat (DPOs). Dan diharapkan ratifikasi Konvensi Internasional Hak Penyandang cacat dapat berhasil pada tahun ini.
Terakhir, kita semua berharap untuk lebih menjamin hak-hak penyandang cacat ini, Dinas Sosial (Dinsos) Aceh dapat merumuskan draft Qanun Penyandang Cacat untuk dibahas di Badan Legislasi DPR Aceh. Kita berharap dengan adanya Qanun tersebut, akan memberikan perlindungan yang layak bagi penyandang cacat di Bumi Serambi Mekah yang kita cintai ini.
***Tulisan ini juga dimuat di Media Online The Globe Journal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H