Selain itu, hutan wisata juga dapat menghindarkan Aceh dari bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang datang silih berganti, serta menghambat terjadinya penyakit epidemik bencana seperti muntaber, infeksi saluran pernafasan, dan segalanya jenis penyakit kulit yang tentunya memakan banyak korban jiwa.
Memang, sebuah kebijakan positif apapun tak serta-merta akan diterima dengan mudah oleh banyak pihak yang masih memiliki kepentingan pribadi/kelompok yang ingin terus meraup keuntungan besar. Dan ini juga termasuk untuk kebijakan dalam upaya menyelamatkan Aceh dari kerusakan hutan di Aceh itu sendiri.
Namun, keinginan politik yang kuat untuk membangun Aceh bermartabat dari Kepala Pemerintahan Aceh itu sendiri yang didukung oleh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) adalah sebuah langkah serius untuk perbaikan kondisi perekonomian masyarakat Aceh. Hutan yang masih ada di wilayah Aceh akan menjadi nilai jual yang sangat tinggi kepada para pegiat dan penikmat wisata hutan di seluruh dunia. Apalagi, isu pemanasan global yang kian panas sepanas bumi yang hutannya kian sempit akan menjadi penopang bagi keberhasilan program hutan wisata tersebut.
Potensi sumber daya alam hutan Aceh dan semua ekosistem yang ada di dalamnya adalah bentuk keindahan alam yang sangat indah. Bayangkan saja, jika hutan di Seulawah yang ada dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar dijadikan tempat wisata tentu para wisatawan lokal dan mancanegara akan banyak berkunjung kesana. Aceh akan menjadi tempat tujuan wisata baru karena keindahan hutan bagi penduduk bumi.
Mengapa Pemerintah Aceh tidak mencontoh apa yang dilakukan oleh Pemerintah Finlandia di Eropa dimana perekonomiannya mengandalkan hutan secara luas selain memproduksi telepon genggam Nokia? Pemerintah Aceh dapat belajar pengelolaannya dari Pemerintah Finlandia tersebut yang mampu menyulap kawasan Lapland menjadi daerah tujuan wisata warga Eropa dan dunia pada musim dingin itu.
Terakhir, penting bagi Pemerintah Aceh bertindak cepat menyelamatkan hutan di wilayahnya. Jangan berdiam diri saja dan tetap bersikukuh bahwa penerapan program moratorium logging atau jeda tebang dan Aceh Green sejak 2007 silam telah sukses diterapkan. Pemerintah Aceh tidak boleh bangga dan puas dengan harga hutannya yang hanya dibandrol 4 USD per hektar itu. Jika, Pemerintah Aceh tak mau masih keras kepala dan tak mau berbuat apa-apa untuk kelestarian hutan, maka kita semua harus segera bersiap untuk mengucapkan, “Selamat tinggal hutan Aceh dan selamat datang bencana alam tanpa henti di wilayah Aceh.”[]
Tulisan ini juga dimuat di Media Online The Globe Journal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H