Hidup butuh kepuasan.
Karena ia adalah jawaban dari kesenangan itu sendiri.
----
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mendapatkan pekerjaan baru. Posisiku pun lebih tinggi dengan gaji yang lebih besar. Tentunya, dengan seorang atasan yang tahu diri pula.
Wajar, dong kalau kali ini aku bersenang-senang. Biarkan aku puas dengan apa yang aku dapatkan. Bukankah kepuasan dalam hidup harus kita penuhi!?
----
“Say! Metro lagi diskon, tuh!
“Yang bener?”
“Lumayan, ada yang sampe lima puluh persen!”
“Wah, boleh juga!”
“Kapan lu ke sana?”
“Kemarin.”
“Kok, nggak ngajak-ngajak, sih?”
“Kalau elu mau pergi lagi nanti sore, gua juga mau temenin.”
“Masih kurang belanjaan kemarin?”
“Siapa tahu ada lagi yang gua mau.”
“Oke, deh! Mumpung baru gajian.”
Shopping? Wow! Jangan pernah tanyakan hal yang satu ini. Aku doyan banget melakukannya. Kurasa hampir semua wanita normal di dunia begitu senang bila diajak shopping.
[caption id="attachment_98167" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/funkydoll-faaw.blogspot"][/caption] Biarpun dibilang tipikal kebanyakan perempuan, tapi memangnya betul. Bagiku dan bagi sebagian besar teman-teman perempuanku di kantor, shopping adalah hiburan. Ia tak hanya sekedar aktifitas membeli banyak barang kesukaan saja. Begitu pergi shopping, stres setelah berhari-hari kerja di kantor bisa hilang dalam sekejap. Pulang dari sana, bawaannya jadi senang terus. Sumringah, deh!?!
Aku senang belanja apa saja. Baju aku beli, begitu juga sepatu dan tas. Makanan dan barang-barang keperluan rumah sih, sudah pasti dibeli. Pernak-pernik rumah, tanaman, sampai barang yang aku juga tidak tahu mau aku pakai di mana, juga aku beli. This is me!!!
Aku bisa pergi shopping kapan saja aku mau. Tidak harus menunggu gajian. Tidak harus menunggu sale. Tidak harus ditemani orang lain. Tiap hari pun, sendirian pun, kalau memangnya aku mau, aku pergi shopping. Biar lagi nggak ada uang sekalipun. Yang penting bisa bawa tentengan ke rumah. Rasanya aneh saja kalau pulang dengan tangan hampa. Ada yang tak lengkap kalau tak membawa apa-apa ke rumah. Biarkan para tetanggaku saling cerita tentangku yang doyan shopping.
Begitu senangnya shopping, pernah sekali waktu aku disembah orang tuaku.Pasalnya, hari itu aku tidak membawa tentengan ke rumah.Masalahnya, hari itu aku lagi capek dan malas. Jadi, pulang kuliah aku langsung pulang.
Nanti sore aku akan pergi shopping. Again! Baru gajian dan lagi sale pula. Pas banget, kan! Ini kesempatan yang tak akan kulewatkan. Aku tak mau jadi pendengar budiman bila nanti teman-temanku cerita barang-barang yang telah mereka beli. Sungguh, aku tak sudi menjadi pelengkap kepuasan mereka.
Aku akan pergi shopping dengan Rina. Salah seorang temanku di kantor. Aku tidak terlalu dekat dengannya, hanya sebatas teman kantor. Tapi kalau urusan shopping, bolehlah.
-----
“Eh, ini lucu juga, ya!”
“Nggak, ah!”
“Kenapa?”
“Modelnya sih, bagus, tapi warnanya ada yang lain, nggak?”
“Memangnya kalau hitam kenapa?”
“Bosan! Baju lu hitam semua!”
So, what!
“Kok elu merhatiin aja, sih?”
“Hehehe….”
Dasar perempuan!
“Nggak ah, gua mau yang ini aja!”
“Ya, terserah elu!”
Aku dapat satu baju. Warnanya hitam. Biar bajuku hampir semuanya hitam, tapi aku ingin punya baju hitam yang satu ini lagi. Aku memang suka baju hitam. Bagiku, warna hitam tak harus selalu diidentikkan dengan rasa duka. Hitam menggambarkan sesuatu yang istimewa bila dipadukan dengan kulitku yang putih. Keren, gitu!!
“Modelnya bagus, ya?”
“Lagi ngetren tuh!”
“Kalau gitu nggak jadi, deh!”
Memangnya gua pikirin! Gua nggak peduli dengan tren, yng penting modelnya gua suka! Gua bukan orang yang kemakan tren.
“Kalau yang ini?”
“Mendingan yang tadi, ini sih udah basi.”
Huuh!
“Tapi gua lebih suka yang ini.”
“Harganya berapa?”
“Cuma empat ratus lima puluh ribu. Diskon dari tujuh ratus.”
Lumayan murah!
“Cobain aja dulu, deh. Gua juga mau nyobain yang ini.”
“Iya, deh! Mbak, mbak…!”
Setelah kucoba, kurasa model sepatu ini cocok denganku. Jadi dengan sangat tidak terpaksa, kubeli juga sepatu itu.
“Ke tempat bra, yuk!”
“Yuk!”
“Gua memang lagi nyari bra item.”
“Item lagi?”
“Yoi!”
Aku akhirnya beli beberapa potong bra dan celana dalam. Bukannya nggak ada di rumah. Sudah banyak! Tapi aku paling nggak bisa menahan diri untuk tidak membeli bra dan celana dalam. Bagiku, bra dan celana dalam adalah penting. Kalau aku memakai bh dan celana dalam yang bagus dan matching, aku merasa lebih percaya diri.
Akudan Rina terus belanja sampai kami merasa capek dan memang tidak ada lagi tempat yang belum kami datangi. Aku sudah beli baju, sepatu, bh, celana dalam, tas kecil, make-up, dan dua potong kemeja untuk suamiku. Banyak banget, kan! Itu belum termasuk roti dan kue-kue, lho!
----
Tiba di rumah, aku langsung membuka seluruh barang belanjaanku. Biar sudah tahu isinya, tetap saja aku tidak sabar untuk membuka bungkusannya untuk bisa melihatnya lagi. Biar bisa aku coba, sekali lagi.
Rasanya beda kalau aku mencoba di toko dan di rumah. Kalau di toko, terbatas oleh waktu. Kasihan kalau aku berlama-lamadi kamar pas. Pasti bakalan banyak yang antri! Kalau di rumah, mau kucoba beratus-ratus kali pun tidak akan ada yang komplain. Paling-paling suamiku.
----
“Baru pulang dari Metro, ya?”
“Kok,tahu!”
“Tuh, bungkusan metronya ada di mana-mana!”
“Hehehe….”
“Belanja apa aja?”
“Banyak!”
“Ada yang buat saya nggak?”
“Ada, dong!”
Aku tahu, kamu pasti nggak akan ngomel kalau aku beliin sesuatu untuk kamu. Asal ada perhatian, tidak akan ada masalah.
“Mana?”
“Nih!”
“Wah, bagus banget! Harganya berapa?”
Sudah pasti bagus. Aku kan punya selera yang bagus!
“Nggak inget! Pokoknya murah, deh!”
“Oh!”
“Lagi diskon dua puluh lima persen.”
Biar harganya mahal, kalau lagi diskon, rasanya murah-murah saja. Yang penting masih bisa kebayar!
“Oh!”
Udah, deh pergi sana. Aku mau menikmati semua belanjaanku. Nanti malah cerewet lagi!
“Kamu abis berapa, sayang?”
Tuh, kan!
“Belum dihitung!”
“Jangan sampai gaji kamu habis semua, ya!”
“Memangnya kenapa?”
“Ya, kan sayang. Jadinya nggak ada yang bisa ditabung. Siapa tahu besok-besok ada barang yang lebih bagus.”
Iya juga, sih.
“Ah, itu sih gimana besok aja.”
“Terserah kamu, deh sayang!”
Aduh!
----
Aku senang! Aku puas! Aku dapat semua yang aku mau.
Aku sebal! Aku kesal!
Sehabis bersenang-senang dengan semua barang belanjaanku, kulihat semua bonnya. Ya, ampun! Gajiku habis semua! Memang tidak semuanya kubayar kontan, tapi tetap saja, sekarang aku bangkrut. Terpaksa, aku harus minta!
Aku bisa saja minta sama suamiku, suamiku juga pasti akan memberikannya. Masalahnya aku gengsi! Seharusnya memang tidak ada yang namanya gengsi suami istri, tapi aku gengsi. Kalau aku minta uang ke dia, berarti aku harus melakukan sesuatu untuknya. Memang tidak harus juga, tapi bagiku itu adalah hutang baru. Tapi, daripada aku minta ke ayahku. Biarpun pasti dikasih, tanpa ada beban lagi, tapi rasanya kok nggak enak. I have no choice.
Batas antara pemikiran dan perasaan hanyalah selembar kertas tipis yang sudah tua dan lapuk di atara tumpukan buku-buku tua yang sudah usang dan berdebu. Terkadang disimpan laksana emas intan dan berlian dua puluh empat karat di dalam lemari besi yang tertutup rapat lengkap dengan kunci-kunci dan kode-kode rahasianya. Terkadang dibuang seperti sampah busuk yang baunya sangat menyengat di dalam sebuah kubngan lumpur berair yang sering dinjak-injak dan diludahi orang-orang gemuk, bau dan penyakitan. Sama seperti pemikirandan perasaanku.
Aku berhutang lagi! Sebal![arbimariska]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H