[caption id="attachment_218167" align="alignright" width="259" caption="Ilustrasi Dari Om Google Nih"][/caption] SUBUH itu seperti biasa suasananya sangat dingin. Hanya sedikit manusia yang sudah bangkit dari peraduannya termasuk kita berdua, ibuku. Setelah selesai menekan satu digit nomor telepon milik-Nya kukeluarkan sepeda antik yang satu-satunya kita punya. Sebuah sepeda yang menjadi harta terbesar sepanjang sejarah keluarga kita. Kangkung yang kemarin sore kita potong dalam selokan di sepanjang irigasi sawah kampung kita telah selesai kubungkus dan kita siap meluncur ke pasar pagi kota kita. Engkau mendorong sepedanya dengan isi bungkusan 50 ikat kangkung itu di belakangnya, Dan aku mengikutimu dari samping sambil tangan kiriku membantu memegang bungkusan itu. Aku ingat bagaimana jalanan yang masih sangat sepi kita lalui sejauh lima kilometer itu. Jalanan penuh kerikil dan berdebu yang saat itu belum masuk prioritas penguasa orde baru memoleskan aspal di atasnya. Pada hal, kata PELITA saat itu begitu seksi gaungnya. Tapi, sudahlah kita mahfum benar bagaimana ketidakadilan yang kita dapat saat itu. Ibu, lima puluh ikat kangkung kita terjual sudah. Cepat sekali. Aku masih ingat. Persis. Setelahnya kita membeli empat bungkus mie goreng berbumbu kacang yang sedikit basah untukmu, aku, dan dua adikku yang masih tidur saat kita kembali ke rumah. Hingga kini setiap melihat kangkung aku tak kan lupa tersenyum sambil mengenang memori bungkusannya bersamamu. Pada hal saat itu pesta piala dunia yang dimenangkan Jerman Barat setelah Argentina dicurangi wasit baru usai seminggu. Sangat lama. Sepuluh tahun yang lalu tepatnya. Lima puluh ikat kangkung itu telah berpastisipasi besar mengepulkan dapur kita setiap hari. Memori ini kusimpan rapi dalam benakku dan pasti kuceritakan pada sepasang cucumu sebagai semangat hidup bagi mereka. Bukan maksudku mengajak mereka untuk mau hidup seperti getirnya masa lalu kita, tapi lebih kepada pemicu semangat mereka untuk tidak takut mengarungi terjalnya jalan masa depan di Negara kesatuan terlucu ini. Banda Aceh, Jam 10.30 Masih Senin Malam di tahun 2010. Salam Kompak selalu, Bahagia Arbi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H