Mohon tunggu...
Linda Fakhry
Linda Fakhry Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mempertanyakan Nasionalisme Archandra Tahar (Sebuah Catatan dari Ibu Murid Mengajinya)

17 Agustus 2016   07:06 Diperbarui: 17 Agustus 2016   10:59 6072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya mengenal Archandra Tahar sekitar tahun 2006 di Houston. Walaupun tahu dia bekerja di sebuah perusahaan minyak tapi saya lebih mengenalnya sebagai ‘guru ngaji’!

Setiap Sabtu pagi sosok ini selalu ‘stand by’ di Konsulat untuk mengajar anak-anak Indonesia mengaji. Kenapa saya sebut ‘stand by’? Ya karena terkadang banyak yang datang, terkadang sepi, maklumlah setelah sibuk sekolah Senin – Jumat, anak-anak atau orang tua yang mengantar ingin ‘leyeh-leyeh’ di hari Sabtu pagi, termasuk saya. Jadi walaupun saya hanya datang ‘randomly’, namun kok ya selalu ketemu bapak ini. Jadi dedikasi mengajarnya boleh diacungkan jempol!

Terkadang saat menunggu anak-anak belajar mengaji, kami ibu-ibu duduk menunggu di pojokan. Pernah Pak Archandra mendatangi kami dan dengan santunnya menawarkan diri untuk me’refresh’ lagi bacaan Quran kami sehingga bisa saling memperbaiki bila ada kesalahan. Kami pun setuju dan bergantian mengaji di depan beliau. Dengan santun beliau memperbaiki tajwid kami.

Di lain waktu, pernah pula beliau mendekati kami para ibu yang sedang menunggu dan bilang “Bu, itu sudah kami sediakan buku Iqra. Silakan diambil dan tolong anak-anak dibantu latihan mengaji di rumah setiap malam. Jangan sampai karena tinggal di Amerika, anak-anak kita jadi tidak bisa mengaji”.

Demikianlah, saya hanya mengingatnya sebagai guru ngaji yang penuh perhatian dan dedikasi.

Tahun 2007 kami kembali ke Indonesia. Saya sudah melupakan sosok ini ketika tiba-tiba di TV saya melihat berita pelantikan menteri ESDM. Ternyata Archandra Tahar, guru ngaji di Houston itu pulang ke Indonesia sebagai menteri! Tentunya saya sangat terkejut sekaligus senang.

20 hari kemudian, kejutan kedua datang, beliau diberhentikan sebagai menteri karena kasus dwi kewarganegaraan! Selanjutnya berbagai polemik dan spekulasi simpang siur beredar di media. Banyak pakar dan politisi menyebut bahwa Archandra tidak nasionalis, pengkhianat, agen Amerika, membohongi publik dan sebagainya. Saya tercenung lama dan mulai mengkaji pengalaman mengenal sosok Archandra di Houston dulu.

Seorang sosok yang mau membaktikan hari liburnya, yang seharusnya dihabiskan untuk istirahat bersama keluarga, untuk mengajar anak-anak Indonesia mengaji… apakah ini pekerjaan penghianat?

Meninggalkan ‘kenyamanan’ hidup dan gaji tinggi di Amerika untuk mengabdi di Indonesia dengan gaji yang jauh lebih rendah… apakah ini tidak nasionalis?

Beliau secara khusus mengingatkan ibu2, jangan sampai karena tinggal di Amerika anak2 jadi tidak bisa mengaji. Bukankah ini bentuk ‘concern’ yang tinggi terhadap bangsa?

Saya yakin beliau menerima warga negara Amerika hanya untuk kemudahan melakukan bisnisnya, tapi hatinya tetap Indonesia. Meskipun ini salah secara hukum, bukan berarti kita bisa menghakiminya sebagai penghianat atau tidak nasionalis.

Saya teringat dulu Anggun C. Sasmi pernah mengatakan dia berganti kewarganegaraan karena tuntutan pekerjaan. Dia menegaskan bahwa dirinya tetap orang Indonesia, meski statusnya dalam paspor tertulis Warga Negara Perancis. “Yang beda cuma warna buku saat aku traveling, supaya aku tuh enggak disusahin tiap kali masuk imigrasi”, katanya. Kita tahu, sebagai pemegang paspor Indonesia, bila ingin keluar negeri kita harus mengurus visa dengan screening luar biasa ketat, maklumlah negara kita dianggap sarang teroris. Bayangkan bagaimana repotnya pengusaha yang harus berpergian ke banyak negara dengan mobilitas tinggi. Kita tahu, Archandra adalah Presiden perusahaan yang bergerak di bidang offshore.

Bila anda pernah tinggal di luar negeri, pasti akan menemukan banyak warga negara Indonesia yang secara diam-diam mempunyai dwi warga negara. Ini mereka lakukan semata-mata untuk kelancaran urusan administrasi, namun percayalah, mereka tetap loyal terhadap Indonesia. Setiap tahun mereka mengirim zakat dan kurbannya ke tanah air, bahkan banyak yang mengirim uang untuk membiayai pendidikan anak asuhnya di Indonesia. Hukum yang Indonesia anut lah yang membuat banyak kaum diaspora ‘terpaksa’ melakukan ini.

Kini Archandra tidak bisa menjadi menteri karena pernah mendapat paspor AS dan tidak layak jadi WNI karena belum tinggal 5 tahun di Indonesia. Jadilah dia ‘stateless’.

Anehnya, kita mencari ‘talent-talent’dari luar seperti pemain bola asing untuk mengharumkan nama Indonesia, menawarkan mereka naturalisasi, yang bahkan syarat tinggal 5 tahunnya pun bisa kita by pass, namun mengapa di saat yang sama kita malah menyia-nyiakannya ‘talent’ anak bangsa sendiri dengan memakai alasan hukum. Atau mungkin lebih tepatnya politik? Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun