Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | Temui saya di tempat lain -> irerosana.com atau email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Melambat di Cafe Buku dan Kedai Teh Jadul di Kota Bogor

20 Desember 2024   16:28 Diperbarui: 21 Desember 2024   08:03 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menu yang kami pesan di Maraca Books and Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)

Salah satu impian orang-orang yang doyan jalan tentu saja adalah bisa keliling dunia tapi kalau isi dompet belum mendukung apa salahnya kalau kita ke kota terdekat dulu. Setiap kota punya sisi menarik yang bisa dikulik. Bogor contohnya, meskipun berkali-kali saya ke sana tapi selalu saja ada hal baru yang baru saya ketahui.

Bogor tak hanya soal Kebun Raya dan Surya Kencana. Ternyata kota ini juga punya jalur lambat, maksudnya sebuah tempat yang memaksa pengunjungnya hidup sedikit lebih lambat. Seperti 2 tempat yang saya kunjungi ini, sebuah cafe buku dengan tatanan estetik dan kedai teh dengan desain ala-ala jaman dulu.

Jika biasanya saya banyak dibisiki oleh Google, kali ini saya diajak langsung oleh orang asli Bogor yang juga adalah seorang kompasianer. Namanya Latipah atau biasa dipanggil Lala. Pikir saya, sepertinya menarik bisa melihat sisi lain Bogor dari kacamata penduduk aslinya.

Setelah janjian di alun-alun dekat stasiun, Lala mengajak saya ke sebuah cafe buku di jalan jarak Harupat, tak jauh atau seberang dari sisi utara Kebun Raya Bogor. Cafe ini sedikit menjorok ke dalam, ada plang nama bulat bertuliskan Maraca Books and Coffee yang hampir tertutup oleh tanaman-tanaman di sekitarnya. Kalau tidak jeli, mudah saja bagi pendatang seperti saya untuk melewatkannya.

Banyak cafe-cafe estetik di daerah Bogor, tapi kalau judulnya books and coffee bagi saya selalu terdengar lebih menarik. Melihat bagian indoor dari cafe ini membuat saya mengingat mimpi-mimpi lama saya untuk punya cafe buku sendiri. Yah, sejauh ini posisinya masih belum punya cafe tapi sudah punya banyak koleksi buku. Doakan ya!

Interior dalam Maraca Books & Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Interior dalam Maraca Books & Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)

Kembali ke soal cafe, interiornya didominasi warna putih dan terlihat estetik da instagramable. Tapi yang lebih menarik mata saya tentu saja rak-rak buku yang tersebar di dua titik. Rak pertama berukuran cukup besar dan berada di sisi kiri pintu masuk sementara rak kedua lebih kecil dan berada di sudut kanan pintu masuk.

Tentu saja saya langsung mendekat untuk memeriksa koleksinya? 

Saya penasaran apakah cafe ini benar-benar punya koleksi yang bagus atau sekadar asal agar bisa disebut cafe buku. Rupanya buku-bukunya ditata per warna, ada deretan buku putih, kuning, biru, pink dan hitam. Kalau ditata per warna seperti itu artinya lebih ingin mengedepankan unsur estetika. Kalau saya pribadi cenderung lebih suka susunan per kategori karena lebih memudahkan proses pencarian.

Maraca Books and Coffee Bogor (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Maraca Books and Coffee Bogor (Dokumentasi Pribadi/irerosana)

Saya menemukan beberapa novel karangan Dewi Lestari seperti contohnya Supernova series, buku "Larung" karya Ayu Utami, beberapa Serial Harry Potter, buku-buku Dan Brown, "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari,  "Kitab Omong Kosong"nya Seno Gumira Ajidarma, ada juga buku non fiksi seperti karya dari Rhenald Kasali, Desi Anwar, beberapa jenis ensiklopedi bahkan beberapa buku anak juga ada. Bisa disimpulkan koleksi-koleksinya rata-rata adalah buku-buku fiksi dan non fiksi yang populer atau best selling. Hm, bolehlah ya.

Suasana di dalam cafe Maraca Book and Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Suasana di dalam cafe Maraca Book and Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Saya dan Lala mengambil beberapa buku dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Kami memesan beberapa menu seperti lasagna, sukun goreng sambal bawang, apple pie, thai tea dan camomile tea. Total yang harus kami bayar kurang lebih 115K. Setelah kami mencicipi satu per satu menu yang kami pesan saya menyimpulkan bahwa cafe ini tidak dibuat asal-asalan.

Menu yang kami pesan di Maraca Books and Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Menu yang kami pesan di Maraca Books and Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Maksud saya bukan modal penataan yang estetik supaya viral tapi memang benar-benar dipikirkan secara matang-matang. Menu yang kami pesan semuanya enak, tak ada yang gagal, setidaknya itu yang lidah saya rasakan. Koleksi buku-bukunya juga bukan sekadar pemanis, banyak judul yang benar-benar menarik orang untuk singgah dan membacanya. 

Sepertinya pemiliknya memang orang yang tahu kebutuhan para pencinta buku, sebuah tempat yang nyaman, camilan yang ramah lidah dan koleksi buku yang sulit untuk ditolak. Pantaslah kami nyaman dan betah berlama-lama di tempat itu. Kalau lokasinya dekat pasti sudah saya tengok berkali-kali untuk kabur dari rutinitas yang menjemukan. Maksud saya, berbahagialah kalian warga Bogor!

Interior Maraca Books & Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Interior Maraca Books & Coffee (Dokumentasi Pribadi/irerosana)

Keluar dari cafe buku saya dan Lala lalu melanjutkan perjalanan ke lokasi berikutnya. Kami berjalan kaki, naik angkot lalu berjalan kaki lagi. Selama perjalanan Lala banyak bercerita mengenai tempat-tempat yang kami lalui. 

Tentang mal yang dulu sering ia kunjungi bersama kawan-kawannya ketika SMA namun kini berubah sepi, mie ayam terkenal yang letaknya dalam gang hingga toko sepatu lawas yang dulunya ramai sekali setiap musim masuk sekolah tapi kini terlihat usang dan sepi karena kalah dengan toko modern (mall), "dulu aku suka beli sepatu di situ, terus dulu sih ramai" kata Lala.

Bagi Lala setiap sudut Bogor punya cerita dan kenangan. Yah tentunya itu hal yang wajar mengingat ia tumbuh di kota ini. Ternyata menyusuri jalanan Bogor dengan balutan cerita dan kenangan hidup seseorang menimbulkan kesan yang berbeda. Seolah setiap apa yang saya lihat itu hidup dan menyimpan banyak cerita. Hm, bisa dibilang sedikit mengharukan.

Tak terasa tujuan kedua kami pun sudah di depan mata, sebuah kedai teh dengan warna putih tosca bernuansa jaman dulu (jadul). Namanya Kedai Es Teh Jaya Abadi. Konsepnya memang jadul. Ada beberapa benda lawas seperti lampu minyak, televisi, radio serta kaset-kaset jadul yang semakin menambah kesan jadul pada kedai ini.

Kedai Es Teh Jaya Abadi tampak depan (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Kedai Es Teh Jaya Abadi tampak depan (Dokumentasi Pribadi/irerosana)

Bagian pelayanan Kedai Es Teh Jaya Abadi (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Bagian pelayanan Kedai Es Teh Jaya Abadi (Dokumentasi Pribadi/irerosana)

Berbagai macam teh tubruk dengan aneka merek mulai dari yang terkenal hingga yang langka dan jarang orang tahu juga dipamerkan di dekat area layanan. Jika berjalan lebih ke dalam ada sebuah mini warung berisi jajanan jadul bahkan saya juga menemukan permen YOSAN di sini. 

Iya itu, permen YOSAN zaman kita kecil, yang kalau kita bisa menemukan huruf dan membentuk kata YOSAN akan dapat hadiah tapi entah kenapa huruf "N" nya lebih sulit ditemukan ketibang huruf yang lain itu.

Sudah sudah... biarkan misteri huruf "N" di permen YOSAN hidup dalam kenangan masa kecil kita semua. Siapa sangka juga bisa bertemu lagi dengan permen itu di sebuah kedai teh. Sebuah kedai yang nuansanya jadul tapi sebenarnya baru dibuat tahun 2022 lalu. Pemiliknya adalah seorang dokter bedah yang tertarik dengan bisnis FnB. Kedai yang -kini selain di Bogor- juga sudah membuka cabang ke dua di daerah Cibinong.

Konsep vintage dan jadul belakangan memang menarik perhatian masyarakat khususnya kawula muda karena lebih instagramable. Nuansa jadul juga menghadirkan vibes baru yang berbeda dari kebanyakan cafe modern yang sudah ada.

Hiasan jadul di dalam Kedai Es Teh Jaya Abadi (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Hiasan jadul di dalam Kedai Es Teh Jaya Abadi (Dokumentasi Pribadi/irerosana)
Cafe ini tidak menjual makan besar, hanya minuman aneka macam teh serta kudapan dan camilan seperti roti, risoles, donat, sosil solo dan semacamnya. Harganya cukup terjangkau, minuman mulai dari 6 ribu rupiah hingga 15 ribu rupiah sementara kudapan dan camilan mulai dari 3 ribu hingga 8 ribu rupiah per pcs.

Menjelang sore kami pun bertolak dari kedai dan berjalan menuju ke stasiun. Lala mengantar saya benar-benar hingga ke dalam stasiun. Saya awalnya menolak karena bisa pulang sendiri dan tentunya akan merepotkan tapi ia benar-benar ingin memastikan agar saya tidak kesasar dan aman.  

Hari itu saya menemukan 2 tempat anak-anak Bogor biasa melambatkan waktu. Yah, maksud saya membaca buku dan meminum teh tidak bisa diburu-buru. Keduanya butuh waktu dan suasana yang mendukung. 

Kalau dipaksa cepat maka kenikmatannya akan berkurang. Ada lagi yang baru saya tau dan rasakan sendiri, rupanya melihat suatu kota dengan kacamata penduduk aslinya itu lebih menarik dan mengesankan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun