buku di rak saya, tapi hanya sebagian saja yang sudah dibaca. Kurang lebih itu yang ingin saya sampaikan. Jika membeli buku tapi tidak membacanya adalah sebuah dosa, maka saya tengah menanggung dosa tersebut. Bisa juga  dikatakan saya mengalami tsundoku. Istilah ini berasal dari kata tsunde-oku yang artinya membiarkan benda yang tertulis menumpuk (kompas.id)
Ada ratusanTapi sebenarnya itu tidak seratus persen benar. Saya membeli banyak buku bukan  dengan tujuan tidak membacanya tapi benar -benar untuk dibaca nanti suatu ketika. Sayangnya waktu-waktu yang saya nanti itu tidak datang dengan mudah. Â
Setelah dewasa dan menikah ternyata sulit sekali menemukan waktu untuk membaca. Ada-ada saja hal yang harus dikerjakan, ada-ada saja masalah lain yang meminta  perhatian yang memasaklah, menggosok pakaianlah, arisan RT-lah, arisan keluargalah dan tetek bengeknya.
Dalam kondisi yang tidak siap, memaksa diri untuk membaca hanya akan menyeret saya ke  Zoning out. Suatu istilah yang belakang di ulas oleh beberapa teman-teman kompasiana seperti Kazena Krista dan Pangestu Andika Putra.
Zoning out bisa diartikan kehilangan fokus ketika membaca. Seperti kita sudah membaca beberapa halaman tapi tidak tahu apa yang dibaca. Saya kerap mengalaminya, terutama saat membaca dalam kondisi capek atau sedang memikirkan tugas lain yang menunggu untuk diselesaikan.
Yah itu hal paling utama yang menjadi alasan mengapa masih banyak buku berplastik di rak baca saya. Bahkan beberapa buku yang saya bawa untuk donasi buku di acara Kompasianival lalu sebagian masih berplastik, artinya saya sendiri belum membacanya. Ada beberapa yang sengaja saya buka dulu plastiknya biar terkesan sudah dibaca dan entah mengapa saya melakukannya.
Jarang membaca menjadi salah satu hal paling menyedihkan mengingat saya kerap menyebut diri sebagai seorang blogger dan memakai istilah-istilah kutu buku di profil media sosial.
Apalagi setelah membaca tulisan Kazena Krista yang berjudul, "Zoning Out, antara Kebiasaan dan Skala Prioritas" dengan kalimat pembukanya : "Siapa saja yang berani dengan lantang menyebut dirinya pegiat aksara lengkap dengan segala penyebutan "label" yang menyertainya seperti sebagai seorang penulis, blogger, copywriter, scriptwriter, dlsbnya, mustahil bukan seorang pembaca yang tekun."
Bisa dibilang kalimat tersebut cukup menyentil tapi benar dan harus diterima. Mustahil ada seorang penulis yang tidak gemar membaca karena proses awal dari menulis itu sendiri adalah dengan lebih dulu membaca.
Dengan banyak membaca  tulisan kita jadi lebih berisi atau setidak-tidaknya bisa menyusun kalimat dengan lebih baik dan runut. Saya rasa semua penulis sepakat soal itu.
Kalau dipikir-pikir lagi memang sedikit aneh, dulu ketika masih duduk di bangku sekolah saya bisa menamatkan 1 buku bacaan dalam satu hari atau bahkan dalam 2 jam  pelajaran. (Ini bukan sesuatu untuk ditiru tapi) dulu jika saya kurang suka dengan pelajaran atau cara mengajar seorang guru, saya akan banyak menunduk ke bawah dan membaca buku lain.