Ada yang perlu dunia tahu tentang Depok selain kabar-kabar aneh seperti tuyul, babi ngepet, begal atau covid pertama. Lebih dari itu, Depok punya sejarah yang mungkin banyak orang belum tahu. Salah satunya bahwa kota -yang identik dengan artis Ayu Ting Ting- ini pernah punya presiden. Yah, itu semua terjadi di masa sebelum kemerdekaan, tepatnya masa kolonial Hindia Belanda.
Untuk menelusuri jejak presiden Depok, saya bersama teman-teman dari Clickompasiana dan Kreatoria menemui seorang keturunan Belanda Depok yang bernama Boy Loen. Kami bertemu di  Cornelis Koffie yang letaknya ada di jalan pemuda, Pancoran Mas.
Sosok Pak Loen mengingatkan saya pada tokoh-tokoh di masa lampau. Usianya sudah tidak muda, memakai kacamata dengan rambut di sisir ke samping. Pak Loen mengenakan kemeja putih kotak-kotak yang dimasukkan ke dalam celana cokelat terang. Penampilannya sederhana tapi rapi.
Setelah menyapa ala kadarnya, Pak Loen  pun mulai bercerita tentang seorang tuan tanah kaya raya pada masa penjajahan Belanda bernama Cornelis Chastelein.
Chastelein membeli tanah Depok atau yang pada waktu itu bernama Het Land Depok sekitar tahun 1965. Ia kemudian mulai membuka lahan-lahan produktif untuk  ditanami aneka macam hasil bumi.
Kala itu Chastelein juga ingin menghasilkan hasil bumi yang bisa diekspor ke Eropa layaknya VOC. Untuk memenuhi keinginannya tersebut ia mulai mendatangkan 150 budak yang ia beli dari pasar budak di Bali.
Di masa kolonial perdagangan budak masih dianggap legal. Ada 2 lokasi pasar budak kala itu, Bali dan Makasar. Orang-orang yang diperdagangkan berasal dari berbagai daerah seperti jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi bahkan ada juga yang datang dari Bengali, India.
Chastelein adalah seorang yang kaya raya pada jamannya. Ia memiliki  lahan-lahan yang bernilai ekonomi tinggi di Batavia, sebuah area yang bahkan hingga kini masih prestisius seperti contohnya kawasan Monas, Masjid Istiqlal, TIM hingga RSPAD Gatot Subroto.
Berbagai hasil bumi seperti kopi, tebu ia tanam di lahannya yang berada di Batavia. Budak-budak yang baru ia datangkan harus magang dulu di lahan-lahan tersebut sebelum menggarap lahan di Het Land Depok.
Budak-budak itu dibuatkan rumah di tepi sungai Ciliwung dari bambu dan tanah. Mereka lalu menggarap lahan-lahan milik Chastelein dan memanen hasilnya. Salah satu hasil bumi yang paling terkenal yaitu Lada dari area Mampang. Saking terkenalnya sampai ada istilah peper durr (peper : lada, durr : mahal).
Chastelein bukan seorang yang bengis, ia sangat peduli pada budak-budaknya. Ia memperlakukan mereka seperti keluarga. Ia bahkan khawatir terhadap nasib para budaknya jika kelak ia meninggal. Menurutnya mau bagaimanapun orang-orang Chastelein akan tetap menjadi budak sepeninggalannya. Dari keresahan itu terbesitlah niat untuk memberikan pendidikan kepada mereka.
Para budak Chastelein hanya akan bekerja hingga pukul 2 siang. Dari Jam 2 dan 3 mereka beristirahat dan setelahnya  harus
belajar baca tulis di gereja (kini menjadi Gereja Immanuel Depok). Tak hanya baca dan tulis, Chastelein juga mengajarkan organisasi kepada para budaknya. Dari situlah lambat laun budak-budak Chastelein mengalami peningkatan pengetahuan.
Ketika meninggal, Chastelein membuat surat wasiat yang berisi pembagian hak waris. Anak-anaknya mendapat bagian di Batavia sementara tanah di Depok menjadi milik budak-budaknya. Itulah awal mula Depok memiliki pemerintahan sipil atau disebut Gementee Bestuur Depok sekitar tahun 1913.
Pengurusnya ada 5 orang dan ketuanya inilah yang disebut sebagai presiden Depok. Â Pemerintahan presiden Depok sendiri bertanggung jawab terhadap banyak hal meliputi pendidikan, pertanian, infrastruktur hingga irigasi.
Melihat langsung ke Beberapa Titik Heritage Depok
Usai mengetahui sejarah serta seluk lahirnya daerah otonomi Depok, kami pun diajak Pak Loen untuk melihat langsung jejak jejak peninggalan Chastelein yang lokasinya tak jauh dari kafe.
Rupanya  Cornelis Koffie yang kami kunjungi ini adalah lokasi pertama yang memiliki nilai sejarah. Kafe ini merupakan bangunan era
kolonial yang dibangun pada tahun 1930an. Tempat ini dulunya adalah tempat tinggal seorang keturunan Belanda Depok bernama R. Moh. Singer yang merupakan salah satu negosiator pelepasan hak tanah partikelir Depok.
Bangunan utamanya masih dipertahankan sementara area belakang yang dulunya menjadi kandang kuda sudah banyak mengalami perombakan yang disesuaikan dengan kebutuhan kafe.
Dari Cornelis Koffie kami diajak berjalan ke arah barat sekitar 80 meter menuju ke bekas RS Harapan Depok. Bangunan ini dulunya adalah kantor pemerintahan Depok atau gemeente huis atau bisa juga disebut sebagai tempat ngantornya presiden Depok.
Di depan bangunan ini terdapat monumen putih setinggi kurang lebih 3 meter. Monumen ini dibangun sebagai peringatan 200 tahun wafatnya Cornelis Chastelein.
Monumen ini pernah dihancurkan pada tahun 1963 oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab buntut dari penolakan kolonialisme di era Soekarno dan barulah di tahun 2014 lalu monumen ini kembali dibangun.
Semenjak RS Harapan Depok tak beroperasi lagi sejak 2022 lalu, tempat ini menjadi terbengkalai. Atap-atapnya mulai runtuh dan ilalang-ilalang mulai tumbuh. Melihat kondisinya sekarang yang jauh dari harapan sepertinya lebih tepat menyebutnya bangunan angker ketimbang bangunan bersejarah. Sungguh sangat disayangkan!
Puas berkeliling kami pun melanjutkan perjalanan ke bekas rumah presiden Depok terakhir yang bernama Jonathans. Rumah itu berada di seberang gemeente huis. Andai kata kita hidup di masa lalu kita masih bisa melihat jelas rumah itu dari kantor sang presiden tanpa halangan apapun.
Kini rumah tersebut berada tepat di belakang satu rumah. Meski begitu, jejak-jejal kolonial masih terlihat dari jendela dan bentuk bangunannya. Pintu dan jendelanya didominasi oleh jalusi dan krepyak, salah satu ciri khas bangunan era kolonial.
Begitu sampai kami disambut perempuan paruh baya yang belakangan saya tahu adalah cucu dari presiden terakhir Depok. Ia tak banyak bicara, hanya saja terlihat seperti sudah sering mendapat pengunjung seperti kami.
Rumah ini masih ditempati, oleh karenanya kami hanya mengunjungi sebuah ruangan di bagian depannya saja. Isinya kurang lebih barang-barang serta foto-foto yang masih terkait dengan pemerintahan kota Depok  di masa lampau. Selain itu ada juga foto usang presiden terakhir beserta keluarganya.
Setelah sowan ke rumah presiden Depok, kami berjalan ke arah timur menuju kegereja Immanuel yang dulunya dipakai sebagai tempat belajar para budak Chastelein. Gereja ini dulunya bernama Hervormde Kerk (gereja masehi). Â Tak hanya sebuah gereja, bangunan ini menjadi saksi bisu pembebasan perbudakan dan kemanusiaan pada masa itu.
Belum puas kami melihat keindahan gereja Immanuel kami sudah diguyur hujan. Akhirnya  kami berteduh di SMP Kasih yang sekaligus menjadi bangunan terakhir yang harus kami kunjungi.
Dulunya bangunan ini bernama Eben Haezer. Di tempat inilah Kaoem Depok berkumpul untuk mengadakan rapat serta mengambil keputusan-keputusan penting. Di tempat ini pula kematian C Chastelein diumumkan pada 28 Juni 1714 yang sekaligus menjadi penanda perpindahan kepemilikan tanah menjadi milik Kaoem Depok.
Kami duduk melingkar di ruang utama layaknya sedang mengikuti konvensi meja bundar. Di ruang ini beberapa foto presiden Depok di pajang, mulai dari presiden pertama Gerit Jonathans, Frederick Samuel Laurens, Martinus Laurens, Leonardus Leander hingga presiden terakhir Johanes Mathijs Jonathans.
Beberapa benda peninggalan pemerintahan Depok juga dipajang di tempat ini, mulai dari gambar-gambar dari masa lampau hingga genteng era kolonial yang diimpor langsung dari Eropa.
Pak Loen menyelesaikan slide presentasinya seiring hujan yang  mereda. Kami berkumpul dan mengambil foto bersama di teras bangunan untuk meninggalkan jejak bahwa kami pernah ada di sana.  Sungguh hari yang panjang. Meski melelahkan tapi kami pulang dengan sebongkah pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H