Waktu libur panjang juga menjadi kesempatan beberapa orang menyalurkan hobi yang mungkin membutuhkan waktu lebih dari satu atau dua hari, contohnya hiking.Â
Naik gunung yang jaraknya di luar kota akan membutuhkan waktu yang lebih panjang sehingga momen libur seperti beberapa hari belakangan adalah kesempatan emas.
Sayangnya setiap orang punya pemikiran yang sama bahkan tujuan yang sama sehingga terjadilah kemacetan. Hal semacam ini tentu tidak diharapkan dan malah justru menimbulkan trauma tersendiri. Bayangkan saja liburan yang seharusnya menyenangkan malah berujung lelah dan trauma.
Kondisi yang terjadi beberapa hari lalu bagi saya pribadi tentunya akan menjadi bahan ulasan jika nanti kembali bertemu dengan libur panjang.Â
Sebenarnya bukankah kemacetan dan kepadatan sudah bisa diprediksi dari pengalaman yang sudah-sudah? Kita tidak harus keras kepala dan memaksakan diri untuk kembali ke lokasi yang sama dan mengulang kondisi yang sama, bukan?
Kita bisa bertanya ulang kepada diri sendiri, seberapa perlukah liburan ke luar rumah? Sepadankah dengan konsekuensi macet yang akan diterima?Â
Apakah itu hanya egoisme semata, untuk dipandang kekinian serta terlihat bahagia di mata orang? Ataukah kita benar-benar perlu ke tempat itu hingga segala halangan serta rintangan yang menghadang pun harus diterjang. Pun kalau terjebak macet rasanya masih tetap sepadan?
Banyak hal dalam hidup yang tidak selalu bisa kita menangkan, ada beberapa yang memang harus diikhlaskan dan dikubur dalam-dalam.Â
Seperti halnya rencana liburan di waktu libur paling strategis sekalipun. Ada kalanya mengalah menjadi keputusan terbaik demi keselamatan diri dan orang lain.
Pemahaman bahwa setiap orang butuh liburan sangat bisa dimengerti. Bahkan dari total 12 bulan, pekerja pun diber hak cuti selain hari libur sabtu minggu dan libur nasional.Â
Tandanya ada aktivitas yang memang harus dihentikan sejenak demi kelangsungan aktivitas selanjutnya. Setiap orang butuh butuh jeda, butuh berhenti dari rutinitas.Â