Acara berlangsung singkat dan diakhiri dengan makan bersama. Para peserta saling menukar lauk meski secara garis besar menunya sama. Setelahnya warga kembali ke rumah masing-masing dan membawa sisa dari lauk-lauk tersebut. Ada yang berkurang tapi ada juga yang malah bertambah.
Di tempat kami, tradisi ini hingga kini masih rutin di lakukan oleh para warga. Warga masih percaya bahwa makna yang terkadung dalam tradisi kupatan masih relevan dengan zaman sekarang.
Selain warga Guyangsari, tradisi ini juga masih rutin dilakukan oleh mayoritas masyarakat di daerah Jawa seperti Magelang, Kudus, Jepara, Banyuwangi, Pasuruan, Batu, Demak, Madura, Trenggalek, Rembang serta Gresik.Â
Konon kabarnya ada juga beberapa daerah di luar Jawa yang melakukan tradisi serupa seperti di Manado, Lombok dan Gorontalo.
Asal mula tradisi kupatan
Tradisi kupatan sendiri dipopulerkan pertama kali sekitar tahun 1600an oleh Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Walisongo yang turut menyebarkan ajaran islam di pulau Jawa.
Tradisi ini lahir sebagai bentuk tanggapan atas adanya puasa syawal. Sebagaimana yang kita ketahui, setelah perayaan 1 syawal, umat islam dianjurkan untuk berpuasa selama 6 hari sebagai ibadah sunnah.
Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW: "Barangsiapa yang berpuasa ramadan kemudian berpuasa 6 hari di bulan syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Bukhari Muslim)
Baik lebaran 1 syawal maupun lebaran ketupat, keduanya merupakan simbol perayaan atas keberhasilan manusia dalam menahan nafsu dari segala sesuatu yang membatalkan puasa.
Meski berbentuk perayaan dan sudah menjadi tradisi turun temurun tapi masyarakat diharapkan tetap memegang teguh makna yang terkandung dalam setiap simbol yang ada. Dengan begitu kegiatan yang dilakukan bukan sekadar ritual serta acara makan-makan semata tapi juga sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt.