Apa jadinya jika bulan paling suci milik umat islam ternyata juga menjadi bulan yang paling banyak menyumbang tumpukan sampah?
Yah, selain keberkahan, ramadan rupanya juga membawa serta segudang permasalahan lingkungan.
Sebagai bayaran atas rasa lapar yang harus dilalui seharian, mereka yang berpuasa akan menuntaskannya dengan aneka rupa makanan.Â
Sebagian besar makanan itu datang dari pasar takjil dadakan yang tersebar hampir di setiap titik daerah.
Sudah lumrah sekali ketika menjelang sore, selepas ashar, berbagai macam takjil mulai bermunculan.
Bukan hanya para pemain lama, mereka yang sebelumnya belum pernah berjualan pun ingin mencoba peruntungan dan tak ingin melepaskan kesempatan untuk ikut berjualan. Walhasil jumlah penjualnya pun semakin membludak.
Berbagai macam takjil dipasarkan, mulai dari kelompok minuman seperti aneka es, kolak maupun bubur hingga camilan semacam gorengan, asinan, lontong serta kue-kue manis.
Takjil-takjil itu dibungkus dengan menggunakan tempat berbahan dasar plastik. Mulai dari cup plastik, gelas plastik, mika, dan plastik itu sendiri.
Tanpa sadar banyaknya takjil yang terjual sama artinya dengan menambah jumlah tumpukan sampah baik organik maupun anorganik.
Tak dipungkiri puasa membuat kita lapar mata, seolah semua makanan mampu ditampung oleh perut.
Faktanya, baru makan satu dua jenis saja, perut sudah kewalahan dan sisanya hanya akan berakhir di tempat sampah.
Hal ini berulang dan berlangsung selama 30 hari ramadan. Jika dihitung, jumlahnya tentu tidak sedikit mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengkonfirmasi bahwa pada ramadan tahun 2023 lalu timbunan sampah mengalami kenaikan sebanyak 20%. Jumlah tersebut terdiri dari sisa kemasan maupun sisa makanan.
Mereka juga mencatat contohnya di Kota Tangerang Selatan, kenaikan sampah mencapai 5 sampai 10% atau sekitar 970 ton per hari.
Angka yang terbilang cukup besar namun sayang luput dari perhatian. Berbagai lapisan masyarakat cenderung fokus beribadah selama bulan ramadan, sementara masalah sampah yang ditimbulkan gagal mendapat perhatian.
Kembali lagi ke pertanyaan di awal, apakah kita sadar dan tidak masalah jika bulan suci ramadan, bulan di mana kita beramai-ramai mensucikan diri dari perbuatan maksiat justru menimbulkan permasalahan untuk lingkungan sekitar? Tentu saja hal itu bukan tujuan yang diharapkan, bukan?
Persoalan sampah tidak bisa hanya dibebankan kepada salah satu pihak saja. Kitalah yang menimbulkan sampah-sampah tersebut jadi sudah sewajarnya kita juga bertanggungjawab untuk menyelesaikannya.
Penyelesaian persoalan sampah ramadan bisa dikerucutkan menjadi 2 hal. Pertama mengenai pola konsumsi dan kebiasaan selama ramadan.
Untuk meminimalisir sampah organik kita perlu mulai mendisiplinkan diri untuk mengatur jumlah makanan yang akan dikonsumsi seuai porsi. Salah satu caranya adalah dengan tidak membeli makanan secara berlebihan.
Menjelang sore hari, banyak barisan takjil yang terlihat menggiurkan. Rasa-rasanya ingin sekali memindahkan itu semua ke meja makan. Namun perlu diingat, kita melihatnya dengan kondisi perut yang sedang keroncongan.
Rasa lapar bukan indikator yang baik untuk menentukan jumlah kebutuhan makan seseorang. Rasa lapar berkaitan dengan emosional seseorang, mereka seperti tipu muslihat. Seolah butuh banyak padahal tidak.
Oleh karena itulah kita harus mulai mendisiplinkan diri dari rasa lapar dengan membeli makanan secukupnya.
Ini juga berlaku bagi mereka yang memilih mengolah makanannya sendiri. Jumlah yang diolah harus disesuaikan dengan banyaknya orang dan daya kemampuan mereka yang akan mengkonsumsinya.
Sisa makanan yang timbul ketika bulan puasa akan lebih susah dikelola karena keterbatasan waktu konsumsi dan ujung-ujungnya hanya akan terbuang sia-sia.
Hal kedua yang menjadi perhatian adalah mengenai sampah anorganik dari bungkus-bungkus makanan atau takjil yang jumlahnya tak terbendung.Â
Beberapa organisasi masyarakat sudah mulai tanggap dengan isu ini dan memulai mengemas takjil dengan kemasan yang lebih ramah lingkungan meski jumlahnya masih belum masif.
Bungkus plastik sendiri hingga kini masih menjadi PR besar karena sifatnya yang sulit terurai. Dinas Lingkungan Hidup Buleleng menyebut sampah plastik berpotensi mencemari tanah, air serta udara.
Saking berbahayanya, peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun 2023 lalu mengambil tema "solusi polusi plastik" sebagai bentuk kepedulian terhadap keberadaan sampah plastik yang jumlahnya semakin menggila.
Mengkampanyekan bungkus takjil ramah lingkungan tentu tidak mudah terlebih jika menyangkut para penjual takjil yang jumlahnya tak terhitung.
Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah kampanye serta himbauan untuk menggunakan bungkus ramah lingkungan.
Pemerintah dalam hal ini bisa turut mengkampanyekan melalui jalur resmi sementara masyarakat bisa berkampanye dengan memperbanyak literasi mengenai pentingnya pemilihan bungkus takjil yang lebih ramah lingkungan melalui berbagai platform dan sosial media.
Semakin banyak literasi semakin banyak pula orang yang menerima informasi dan semakin banyak pula yang mengimplementasikan melalui tindakan. Bukan PR sebentar memang, tapi kalau tidak segera dimulai maka tidak akan ada perubahan.
Beberapa contoh bungkus ramah lingkungan yang bisa digunakan selain plastik antara lain daun pisang, kertas, kardus, besek dan gelas dari bahan kertas.
Salah satu contoh takjil ramah lingkungan juga telah dipraktikkan secara turun temurun oleh masjid Pangeran Diponegoro Jogja di mana mereka menggunakan piring yang bisa dicuci untuk kegiatan berbagi takjil.
Tak hanya penjual dan pemberi takjil, kita pun sebagai pembeli harus mulai sadar mengenai isu ini.
Salah satu hal yang bisa dilakukan antara lain membawa kantong belanja sendiri. Hal ini bisa mengurangi banyaknya bungkus plastik yang sejauh ini masih sering digunakan.
Ada lagi yang sedikit gak laen yaitu membawa gelas atau botol sendiri ketika membeli es atau minuman untuk buka puasa
Tak ada salahnya juga membawa mangkok sendiri ketika membeli kolak atau bubur. Memang belum lazim, tapi tak ada salahnya dicoba, kan!?
Perlu kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat untuk menghadirkan ramadan yang tidak hanya bersih secara hati saja tapi juga lingkungan.
Ini adalah tanggung jawab kita sebagai manusia pada umumnya dan umat muslim pada khususnya.
Sebagai umat muslim sudah sepantasnya kita cinta kebersihan sebagaimana Hadist Riwayat Ath Thabrani yang berkata, "Bersihkanlah segala sesuatu semampu kamu. Sesungguhnya Allah Ta'ala membangun islam ini di atas dasar kebersihan dan tidak akan masuk surga kecuali setiap yang bersih."
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H