Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wujud Kebhinnekaan Itu Ada di Jakarta Pusat

25 Februari 2024   01:12 Diperbarui: 27 Februari 2024   20:02 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Wisata Kreatif Jakarta (dok.pri/irerosana)

Ingatkah kamu adegan persidangan Fahri di film Ayat-Ayat Cinta? Rupanya adegan ikonik itu diambil di salah satu gereja tertua milik umat Kristen Protestan di Jakarta, lho! Namanya gereja Immanuel.

Bagi yang kerap lalu lalang di jalan Medan Merdeka tentu sudah tak asing dengan bangunan kolonial Belanda bergaya arsitektur neo klasik dengan dominasi warna putih yang ada di seberang stasiun Gambir. Yah, itulah gereja Willemskerk atau lebih dikenal dengan nama gereja Immanuel.

Kemegahan dan keklasikannya seolah menarik orang yang melihatnya untuk kembali ke masa lalu.

Halaman depan Gereja Immanuel (sumber : dok.pri/irerosana)
Halaman depan Gereja Immanuel (sumber : dok.pri/irerosana)

Dari gereja inilah saya dan 11 kawan dari Wisata Kreatif Jakarta akan memulai perjalanan lorong waktu. Kami akan kembali ke jaman di mana Kota Batavia lama (Oud Batavia) dilanda banyak permasalahan, mulai dari merebaknya wabah penyakit serta gempa bumi yang cukup membuat jantung kota Batavia porak-poranda.

Dari kondisi itulah ide untuk mendirikan kota Batavia Baru di sekitar Gambir Jakarta Pusat terlahir. Banyak bangunan mulai dibangun salah satunya Gereja Immanuel.

Gereja ini bisa dibilang cukup istimewa karena dibangun khusus untuk memenuhi kebutuhan rohani para petinggi Hindia Belanda.

Rombongan kami berusaha masuk ke area utama melalui pintu selatan. Ruangan itu tak sebesar seperti yang terlihat dari luar namun kesan klasik masih terasa kental. Bentuknya melingkar dengan 2 tingkat layaknya gedung-gedung opera ala Eropa.

Ketika datang, suasana tiba-tiba bertambah terang. Rupanya lampu-lampu di bawah kubah itu sengaja dinyalakan untuk menonjolkan eksotisme dari ruangan yang sudah berumur 185 tahun itu.

Di belakang mimbar terpampang figura raksasa berisi nama -- nama berbahasa Portugis. Belakangan saya tahu rupanya nama-nama itu adalah nama para jemaat gereja Immanuel era Kolonial.

Di sudut berlawanan dengan mimbar terdapat orgel, alat musik langka yang berusia 178 tahun dan dibuat oleh Jonathan Batz di Utrecht, Belanda. Kabarnya hingga hari ini orgel itu masih berfungsi dan bisa difungsikan dengan baik. Sayangnya kami tidak berkesempatan untuk mendengarkannya secara langsung.

Di depan orgel itulah para hakim yang mengadili Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta duduk. Yah, siapa sangka adegan di salah satu film religius paling laris di negeri ini, dibuat di sebuah gereja. Aroma toleransi lamat-lamat mulai tercium dari sini.

Interior Gereja Immanuel (dok.pri/irerosana)
Interior Gereja Immanuel (dok.pri/irerosana)

Dari gereja Immanuel kita bergeser 950 meter ke arah utara. Di sana ada gereja Katolik pertama Jakarta, Katedral. Kami menjangkaunya dengan berjalan kaki. Berbeda dengan gereja Immanuel, gereja ini bergaya Neo -Ghotic. Sudut-sudutnya mengerucut dengan 2 menara tinggi menjulang dan 1 menara yang lebih pendek di tengah-tengahnya.

Menara-menara itu menambah kesan megah dan klasik dari si gereja. Usianya sekitar 214 tahun, lebih tua 29 tahun dibanding gereja Immanuel. Sayang kami gagal melihat ke dalam karena sedang digunakan untuk acara pernikahan.

gereja Katedral (dok.pri/irerosana)
gereja Katedral (dok.pri/irerosana)

Mengobati kecewa, kami pun beranjak ke museum Katedral yang terletak di belakang sebelah kanan gereja.

Di museum itu kami kembali diajak ke masa lalu, masa ketika Pastor Peter Bonnike berlayar ke Hindia Belanda tahun 1881 dan wafat karena tenggelam di Selat Lewotobi tahun 1889.

Museum Katedral juga merekam jejak-jejak para pastor beserta benda-benda peninggalannya. Ada jubah, koper, sepeda bahkan kasur pun ada.

Bagaimana gereja Katedral dibangun dari tahun ke tahun serta riwayat para uskup dari masa ke masa juga tak lupa diabadikan.

Di tempat ini pula terdapat patung Bunda Maria berbaju kebaya dengan garuda di dada. Menurut tour guide kami Mbak Maesa, patung Bunda Maria selalu disesuaikan dengan budaya setempat. Sehingga di masing-masing negara bisa jadi berbeda-beda.

Patung Bunda Maria berkebaya di Museum Katedral (dok.pri/irerosana)
Patung Bunda Maria berkebaya di Museum Katedral (dok.pri/irerosana)

Puas berkeliling kami pun melanjutkan perjalanan. Lorong waktu kami bertolak menuju ke tahun 1954, masa di mana Soekarno mengusulkan lokasi pembangunan masjid di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina.

Salah satu pertimbangannya adalah di seberangnya ada gereja Katedral. Fokus Soekarno kala itu adalah ingin menunjukkan kerukunan dan keharmonisan umat beragama yang ada di Indonesia.

Tahun 1961 masjid itu mulai dibangun dan 17 tahun kemudian lahirlah masjid Istiqlal yang berhadap-hadapan dengan gereja Katedral sampai dengan sekarang.

Wajah kebhinnekaan tergambar dalam sejarah pembuatan Istiqlal di mana sang arsitek yang bernama F.Silaban adalah seorang Kristen Protestan.

F. Silaban berhasil memenangkan sayembara desain masjid Istiqlal. Soekarno sendiri secara pribadi menyukai desainnya. Menurut Soekarno, desain dari pemuda asal Tapanuli itu bergaya arsitektur modern dengan kesan yang kuat serta megah.

Desain F. Silaban juga dinilai memuat sejarah perkembangan Indonesia serta mengandung unsur keagamaan.

Hal itu tercermin dari ukuran-ukuran yang dipakai seperti tinggi menara 6666 sentimeter yang mana menggambarkan jumlah ayat dalam Al-Qur'an. Jumlah lantainya ada 5 tingkat, yang mana sesuai dengan salah satu rukun islam yaitu salat 5 waktu.

12 penyangga melambangkan 12 Robiul Awal yaitu kelahiran Nabi Muhammad SAW serta diameter kubahnya 45 meter yang melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia 1945.

Interior Masjid Istiqlal (dok.pri/irerosana)
Interior Masjid Istiqlal (dok.pri/irerosana)

Nama Istiqlal sendiri dalam bahasa Arab berarti "merdeka". Artinya, selain sebagai tempat beribadah, masjid ini juga menjadi simbol serta monumen saksi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Hidup bertetangga dengan Katedral melahirkan toleransi di antara keduanya. Mereka saling bantu dalam kondisi tertentu. Contohnya menyediakan lahan parkir ketika salah satunya tengah merayakan hari raya serta menggelar aksi buka bersama di dalam gereja Katedral ketika bulan ramadhan tiba.

Kabarnya saat ini juga sudah dibangun terowongan silaturahmi yang nantinya akan menghubungkan keduanya dari bawah tanah. Sayang terowongan tersebut belum dibuka untuk umum.

Tiga tempat ibadah yang kami kunjungi adalah wujud nyata kebhinnekaan di Jakarta pusat. Di dalamnya lahir benih-benih toleransi dan kesadaran untuk saling menghormati antar satu sama lain. Seperti halnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Salam.

Bersama Wisata Kreatif Jakarta (dok.pri/irerosana)
Bersama Wisata Kreatif Jakarta (dok.pri/irerosana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun