Saya menemukan nama Hay on Wye dalam buku "Jurnalisme di luar Algoritma" yang merupakan buku kumpulan reportase wartawan Tempo kawakan, Arif Zulkifli. Memang tak banyak diulas. Hanya ada 24 halaman namun, cukup untuk menumbuhkan rasa penasaran dan keinginan untuk mengunjunginya.
Mungkin bisa dibilang sebuah keterlambatan, karena selama lebih dari 30 tahun menyukai buku tapi baru sekarang saya tahu mengenai kota yang menjuluki dirinya sebagai World's First Book Town itu.
Tapi tidak seburuk itu, karena dalam salah satu tulisan yang berjudul "Sebait Perlawanan di Inggris Raya," Arif Zulkifli menyebut Hay on Wye rupanya tak cukup populer di kalangan masyarakat London sendiri.
Hay on Wye adalah kota yang terletak di dekat sungai Wye di Pows, Wales, yang merupakan konstituen atau negara bagian dari Britania Raya. Jaraknya 400 km di sebelah barat laut London, ibu kota Inggris. Jadi memang terdengar sedikit aneh jika ada masyarakat London yang tidak tahu mengenai tempat yang disebut-sebut sebagai kota buku itu.
Jika rajin membaca berita nyaris tanpa jeda, sebenarnya sudah banyak media mainstream yang membahas mengenai kota di perbatasan Inggris ini. Gaungnya cukup deras mengingat salah satu toko buku bekas terbesar di kota ini, Richard Booth's Bookshop pernah tercatat dalam Guinness Book of Records sebagai toko buku bekas terbesar di dunia (1978).
Jika kita mengetik kata Hay on Wye di google images maka akan terpampang bangunan- bangunan bergaya arsitektur Eropa, beberapa di antaranya lebih mirip kastil yang sering kita lihat di film-film kolosal serta barisan rak buku di luar ruangan, di pinggir jalan, di tembok luar bangunan yang terlihat estetik namun tak bertuan.
Itulah Hay Castle Bookshop, salah satu toko buku nyentrik di Hay on Wye. Lokasinya berada di tempat terbuka, Â tanpa penunggu. Di sana diberlakukan sistem kejujuran. Pembeli buku tinggal menaruh uang di kotak surat yang sudah disediakan.
Buku-buku bekas dengan harga yang sangat amat miring memenuhi rak-rak tua Hay Castle Bookshop. Semua dibandrol 1 Pound Sterling atau jika dirupiahkan sekitar 19.600 rupiah (terhitung nilai sekarang).
Turis di kota itu lebih banyak disuguhkan dengan aneka macam toko buku ketimbang restoran maupun bar seperti halnya kota-kota lain. Ada sekitar 20 toko buku dengan aneka macam koleksi terutama buku-buku bekas dengan harga yang bervariasi.
Richard Booth's Bookshop adalah toko paling besar yang menyimpan paling banyak koleksi. Jumlah koleksinya digadang-gadang mencapai 1,1 juta buku bekas yang menghubungkan rak sepanjang 8,8 km. Nama Richard Booth sendiri diambil dari nama sang pemilik yang sekaligus pemrakarsa toko buku bekas di Hay on Wye.
Ada juga The Childreen's Bookshop yang khusus menjual buku-buku bekas anak-anak, Poetry Bookshop yang khusus menjual buku-buku puisi, Hay on Wye Booksellers yang menjual buku baru dengan setengah harga, Green Ink Book Seller yang menjual buku-buku filosofi, sejarah dan buku-buku anak, C.Arden Bookseller yang menjual buku-buku sejarah, berkebun serta peternakan dan lain sebagainya.
Toko Murder and Mayhem menjadi surganya para pencinta fiksi detektif dan horor. Di toko tersebut berjejer rapi dan komplit koleksi Green Penguins, Sherlock Holmes dan penulis novel detektif legendaris, Agatha Christie.
Dari sekian banyak anekan macam toko buku, sepertinya para foto hunter menjadikan Hay Castle Bookshop sebagai titik favorit karena terlihat unik, instagramable dan eye catching. Itulah mengapa gambar Hay Castle Bookshop-lah yang paling mendominasi di kolom pencarian Google.
Pertanyaannya, bagaimana kota kecil seperti Hay on Wye bisa berubah menjadi salah satu pusat buku dunia?
Nama Richard  Booth akan muncul dan terus tersemat dalam sejarah Hay on Wye. Ia adalah penggagas pertama toko buku bekas di kota kecil itu. Booth adalah seorang pemuda yang lahir di tahun 1938. Ia memilih berjualan buku bekas sejak usianya menginjak 23 tahun.
Keputusannya tentu mengecewakan pihak keluarga. Bagaimana tidak, ia adalah lulusan Universitas Oxford yang ternama itu. Bisa dibayangkan perasaan ibunya ketika anaknya yang memiliki potensi masa depan cemerlang malah lebih memilih menjadi penjual buku bekas?
Tahun 1962 Booth berhasil membuktikan kebulatan tekadnya dengan mendirikan toko buku pertamanya. Ia membeli sebuah bangunan bekas pemadam kebakaran dengan harga 700 pound. Tempat itu diberinya nama The Old Fire Station.
Ia berburu banyak buku bekas dari segala penjuru Inggris. Beberapa yang berhasil ia kumpulkan berasal dari universitas, lembaga-lembaga publik, perpustakaan pribadi serta koleksi dari para cendekiawan. Ia percaya buku-buku yang ia kumpulkan kelak akan mendatangkan orang-orang dari luar. Baginya buku-buku lawas tidak akan pernah mati, layaknya barang antik, semakin lawas harganya semakin tinggi.
Seiring berjalannya waktu orang-orang mulai mengikuti jejaknya sehingga jumlah toko buku bekas meningkat. Booth juga tak segan menjual toko yang sudah dirintisnya kepada orang lain untuk kemudian mendirikan toko lagi.
Bagaimana Hay on Wye -sebuah kota kecil dengan populasi penduduk kurang dari 2000- bisa dikenal luas seperti sekarang tak terlepas dari peran besar seorang  Richard Booth.
Tak hanya idealis, Richard juga seorang yang eksentrik dan strategik. 1 April 1977 ia menyatakan kedaulatan Hay on Wye dan mengangkat dirinya sendiri sebagai raja Hay dengan berjalan di jalanan Hay on Wye, Powys. Ia juga mengangkat menterinya, membuat mahkotanya sendiri, mengeluarkan mata uang, bendera, lagu kebangsaan dan bahkan perangkonya sendiri.
Seorang sejarahwan bernama Mari Fforde menyebut Booth sebagai pemain sandiwara. Tentu saja aksinya itu tidak dipandang serius oleh pemerintah Britania terlebih hal itu dilakukan ketika april mop. Hari di mana orang-orang sepakat untuk saling menjahili dengan lelucon  dan kebohongan. Meski begitu, faktanya deklarasi tersebut berhasil menarik media untuk berbondong-bondong melakukan liputan ke Hay on Wye.
Kota ini semakin di kenal oleh kalangan pecinta buku di seluruh dunia semenjak diadakannya Hay festival tahun 1988. Hay festival adalah sebuah festival sastra yang mempertemukan penulis dan pembaca serta menghadirkan beberapa penulis terkenal. Festival ini pertama kali dicetuskan oleh keluarga Florence, Peter Florence dan kedua orang tuanya.
Tak berjalan mulus, Hay Festival sempat mendapat pertentangan dari Richard Booth. Menurut Booth, kehadiran Hay Festival yang berfokus pada buku-buku yang baru rilis akan merugikan keberadaan toko buku bekas.
Meski ditentang sang raja, toh nyatanya Hay Festival masih rutin diselenggarakan setiap tahun hingga sekarang. Bahkan Hay Festival disebut- sebut sebagai acara sastra terbesar di Inggris. Jumlah pengunjung pun terus mengalami peningkatan, dari yang awalnya 1000 kini mencapai 250.000 pengunjung.
Richard Booth menutup mata diusia 80 tahun pada 20 Agustus 2019. 10 tahun sebelumnya, patung Booth di penggal oleh kawanan pemberontak raja Hay. Hal itu merupakan buntut dari pertentangan antara mereka yang menamai diri kaum republikan yang mulai berseberangan dengan Booth.
Bagaimanapun, nama Hay on Wye tak akan pernah bisa lepas dari nama Richard Booth. Di luar kecintaannya terhadap buku, ia adalah seorang penyelamat ekonomi kota kecil Hay yang kala itu sedang sekarat.
Booth berjasa besar atas Hay on Wye yang sekarang. Di tahun 2004, Ia bahkan pernah menerima penghargaan dari ratu Elizabeth atas jasanya terhadap pariwisata. Sejarah mencatat, Boothlah yang mengenalkan Hay on Wye kepada dunia melalui buku.
Dari Booth kita jadi tahu, buku rupanya mampu mengangkat nama serta perekonomian di suatu daerah!
Referensi : Buku "Jurnalisme di Luar Algoritma", reff 2, reff 3, reff 4, reff 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H