Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ibu untuk Perempuan yang Tak Bisa Menjadi Ibu

22 Desember 2023   19:19 Diperbarui: 22 Desember 2023   19:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : unsplash.com/priscilla-du-preez

Enes menangkap kilatan cahaya di barisan rambutnya yang hitam. Itu uban. Terlihat bersinar seperti senar putih. Enes menariknya dengan sedikit tenaga sembari mengernyit. Senyum tipis terlihat setelah ia berhasil memisahkan si putih, menaruhnya di telapak tangan serta memandanginya selama beberapa saat.

Kamu tak tak seharusnya berada di antara rambut-rambut hitam itu, posisimu pasti berat. Batinnya.

Setahun belakangan proses penemuan si putih menjadi lebih sering di banding tahun-tahun sebelumnya. Ia sadar, menjelang usia 40 tahun, banyak perubahan terjadi pada tubuhnya, salah satunya munculnya uban. Meski begitu entah mengapa setiap kali menemukannya, bertambahlah tabungan kesedihan yang selama ini ia kumpulkan.

Tak seorangpun ingin menjadi tua. Jika pun ada, Enes merasa sama seperti menyerahkan masa muda, tenaga dan kesehatannya secara cuma-cuma. Enes sudah siap untuk mati kapanpun tapi tidak dengan menjadi tua. Ia pikir daripada menjadi tua, bukankah lebih baik mati muda?

Dunianya berakhir ketika 10 tahun lalu dokter memvonisnya tidak bisa punya anak. Bukan tidak bisa, kata dokter begini, "Ibu Enes, ibu bisa punya anak tapi tidak dari rahim ibu sendiri..!" Jantung Enes seketika berhenti berputar. Ia bahkan lupa caranya bernapas. Enes tergagap, mencoba mencari sumber udara layaknya orang tak bisa berenang yang tak sengaja kecemplung ke dalam kolam air keruh.

Di saat yang sama, rasa sakit mulai menggerogoti ulu hatinya. Rasa sakit itu seolah hidup, berdenyut bersama dengan denyut nadinya dan perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Selama beberapa tahun Enes menjalani hari-hari dengan rasa sakit yang masih bersarang di tubuhnya.

Suaminya Kama memegang pundak Enes ketika dokter mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Di saat istrinya membisu, ia mencoba mencairkan suasana dengan menanyakan ulang dan detail maksud di dokter. Suara gemetar tak berhasil ia sembunyikan. Setelah benar-benar berhasil mendapat penjelasan lengkap, akhirnya sepasang suami istri itu pulang dengan balutan kedukaan yang seolah tak berujung.  

Kama ingin merasa kasihan dengan istrinya, namun ia juga merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Ia tetap harus bekerja seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa. Pekerjaan di negeri ini belum mengkonfirmasi duka akibat vonis tidak bisa punya anak. Ia mengecup kening istrinya yang sudah berhari-hari terpaku dengan tatapan kosong, mencium kedua tangan istrinya lalu melangkah ke luar.

Suasana duka itu masih menyelimuti rumah muda-mudi itu hingga setahun lamanya. Di tahun kedua Enes tak lagi terpaku dengan tatapan kosong, ia terkadang tersenyum melihat acara stand up comedy di salah satu platform. Pikirannya sudah mulai disibukkan oleh beberapa pesanan kue yang masuk. Meski begitu, setiap benda di rumahnya pun tak menapik ada kekosongan di sudut ruang hatinya.

2 tahun setelahnya, Kama mulai jarang terlihat di rumah. Ia lebih sering memilih proyek ke luar kota dan pulang setelah beberapa bulan. Enes sebenarnya ingin bertanya, mengapa Kama lebih sering  proyek ke luar kota sekarang, namun kondisinya menahannya. Emosinya tak bertaring dan rasa cemburunya mulai lumpuh. Mereka makan malam bersama dengan tanpa banyak kata. Hanya suara denting sendok dan piring yang beradu, mengisyaratkan bahwa rumah itu masih ada penghuninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun