Saya pernah marah kepada Tuhan! Beberapa tahun lalu Tuhan  telah memberikan cobaan yang saya rasa paling besar selama saya hidup. Ia menitipkan sebuah penyakit yang membuat saya tidak bisa memiliki buah hati. Perempuan mana yang tidak sedih dan terpuruk jika berada dalam kondisi tersebut?! Rasanya dunia berhenti dan isi otak saya membeku.
Saya tidak bisa berpikir (kosong) selama beberapa hari. Mungkin lebih tepatnya bukan tidak bisa tapi tidak berani berpikir. Takut membayangkan masa depan yang harus saya hadapi. Tubuh dan organ-organ saya serasa berhenti bekerja. Rasanya dunia saya sudah berhenti berputar. Menangis pun entah kenapa sudah tidak bisa.
Berbagai nasihat dan quotes positif sudah tidak lagi mempan untuk saya. Kalimat-kalimat indah itu hanyalah imajinasi sementara kondisi saya terlalu nyata. Saya tidak tahu harus marah kepada siapa, atau bahkan saya tidak tahu apa itu marah karena rasanya kosong belaka.
Setelah beberapa waktu saya baru bisa marah kepada Tuhan, mengapa dari sekian juta perempuan di dunia Ia dengan sengaja memilih saya. Dari sekian juta masalah yang Tuhan beri, saya selalu berusaha berpositif thinking, saya berupaya selalu menerima namun yang satu ini rasa-rasanya terlalu berat.
Ternyata membawa kekesalan dalam hati membuat kondisi yang saya jalani semakin bertambah berat. Sejak itulah saya mulai belajar memaafkan. Bukan untuk siapa-siapa tapi untuk diri sendiri. Saya perlu melanjutkan hidup dan menyelamatkan diri dari keterpurukan.
Sejak itu pula saya lebih mudah memaafkan seberat apapun kondisinya. Saya mulai memaafkan orang yang menipu saya puluhan juta, bukan untuk orang tersebut tapi untuk diri saya sendiri. Ternyata membenci orang membuat dada saya sesak dan tidak bisa tidur.Â
Saya merasa harus keluar dari rasa benci dan kesal agar bisa melanjutkan hidup dengan baik. Satu-satunya cara adalah dengan memaafkan. Memaafkan kesalahan orang lain, memaafkan diri yang mudah dibodohi, memaafkan keadaan yang sekilas terlihat merugikan.
Saya juga belajar memaafkan tetangga yang berkata ingin menginjak-injak saya hanya karena kesalahpahaman. Lagi-lagi membawa rasa benci ternyata membuat dada saya sesak, susah tidur dan sulit melanjutkan hari-hari.
Apakah memaafkan itu mudah? Tentu saja tidak. Semua itu butuh waktu, proses serta rasa sakit yang begitu mendalam. Dari rasa sakit itulah muncul pertahanan diri seseorang. Ia mulai berpikir perlunya keluar dari zona tidak nyaman yang dirasakan.
Memaafkan orang lain bukanlah perkara tentang orang lain, tapi diri kita sendiri. Memaafkan orang lain adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Jadi ketika kita susah memaafkan orang lain karena kesalahan mereka yang terlalu berat, mulailah berpikir bahwa itu semua bukan untuk orang lain tapi untuk kita sendiri. Agar kita bisa melanjutkan hidup dengan rasa damai dan lapang.