Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bagaimana Saya Tumbuh dan Berkawan dengan Buku-buku

3 Mei 2021   09:52 Diperbarui: 6 Mei 2021   12:29 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah acara reuni salah seorang kawan menyeletuk, "Ini pasti tasnya Ire," sembari menunjuk salah satu tas warna hijau mint di antara barisan tas lain yang tengah di tinggal oleh pemiliknya.

"Hah, kok tau?" balas saya.

"Di dalamnya ada buku," balasnya.

Begitulah saya di mata kawan-kawan. Seorang gadis yang kerap menghabiskan waktu istirahat sekolah di perpustakaan karena tak punya banyak uang saku. 

Selepas sekolah, ia akan pergi ke perpustakaan daerah dengan menaiki angkot warna kuning. Di sana ia akan meminjam buku-buku metropop yang judul-judulnya tak ia dapati di perpustakaan sekolah. Salah satu buku langganannya yaitu The Princess Diaries.

Buku karya Meg Cabot pada masa itu memang cukup populer di kalangan anak-anak SMP seusianya, termasuk bagi si gadis. 

Di balik buku The princess Diaries tersebutlah ia menyembunyikan kenyataan hidupnya yang tak seindah cerita-cerita khayalan. Ia merasakan kesenangan ketika membayangkan Mia adalah dirinya, seorang anak yang tidak populer di sekolah, hanya memiliki segelintir teman yang nasibnya berubah seketika setelah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang raja di sebuah negara kecil. Gadis itu membayangkan Mia adalah dirinya atau andai saja nasib hidupnya berubah seperti Mia.

Pada titik itulah ia menemukan kesenangan dari asiknya membaca.

Begitulah kiranya cerita saya. Entah sejak kapan saya jatuh cinta pada buku, tapi yang jelas saya kerap bersembunyi di balik cerita-cerita dari buku yang saya baca.

Memasuki masa sekolah menengah, saya mulai membaca buku-buku sastra karena tuntutan dari jurusan sekolah. Di sanalah saya mengenal puisi-puisi Chairil Anwar dari buku yang berjudul Aku karya Sjuman Djaya. Buku Aku semakin melejit ketika film AADC tayang. 

Kala itu, bukan hanya anak bahasa yang mengenal Chairil Anwar, tapi juga setiap anak muda hampir di seluruh negeri ini. Sementara bagi saya pribadi, puisi-puisi Chairil meninggalkan jejak kenangan di balik seragam putih abu-abu. Jika membacanya lagi, maka akan muncul ingatan-ingatan peristiwa ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Rupanya yang bisa mengikat kenangan tidak hanya lagu tapi juga buku.

Sumber : Dok. Pribadi / Ire Rosana Ullail
Sumber : Dok. Pribadi / Ire Rosana Ullail
Memasuki masa perkuliahan, ragam buku yang saya baca melebar ke arah jurnalistik karena saya bergabung dengan lembaga pers kampus. 

Saya belajar memahami dunia pers dengan bantuan buku Pers Indonesia karya pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama. 

Saya mempelajari mengenai kebebasan pers yang harus disertai kompetensi profesional, instrumen komunikasi, jurnalisme pembangunan serta pers sebagai mitra masyarakat. Sementara tulisan-tulisan saya banyak dipengaruhi dari buku Jurnalisme Sastrawi yang berisi antalogi liputan di mana reportase dilakukan secara mendalam dan disajikan dengan gaya sastrawi.

Sumber : Doc. Pribadi / Ire Rosana Ullail
Sumber : Doc. Pribadi / Ire Rosana Ullail
Lulus dari perguruan tinggi, saya mulai bekerja di salah satu perusahaan swasta. Di saat itulah saya memiliki budget tetap setiap bulan untuk membeli buku-buku. Jadi jika ditanya sejak kapan tumpukan buku saya bertambah pesat? Jawabnya sejak saya sudah berpenghasilan.

Buku-buku yang saya baca beragam, tidak melulu harus jurnalistik dan sastra tapi juga metropop, tidak hanya buku non fiksi tapi juga fiksi, tidak hanya novel tapi juga kumpulan puisi.

Ada satu buku yang mengantarkan saya menulis di Kompasiana, judulnya Citizen Journalism karya Pepih Nugraha. Buku itu saya baca di masa ketika citizen journalism belum sepopuler sekarang. Zaman di mana digitalisasi mulai populer, sementara pemahaman masyarakat mengenai perbedaan jurnalis dengan citizen journalist masih minim. Tentu bagi penulis serta pengguna media sosial, buku karya Pepih Nugraha tersebut cukup membantu untuk bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.

Sumber : Doc. Pribadi / Ire Rosana Ullail
Sumber : Doc. Pribadi / Ire Rosana Ullail
Kado terbaik

Buku adalah kado ulang tahun terbaik, sayangnya hal ini tidak banyak dilirik oleh orang. Daripada saya berharap mendapat hadiah buku, saya justru melakukannya sendiri. Karena bagi saya, kebahagiaan kita adalah tanggung jawab dari diri kita sendiri.

Tahun 2015, saya menghadiahi diri sendiri buku Melihat Api Bekerja karya Aan Mansyur. Saya rasa itu ide ulang tahun terbaik di tahun terakhir saya melajang. 

Buku Melihat Api Bekerja kerap saya sebut dalam judul-judul artikel sebelum-sebelumnya karena saking sukanya. Memang aneh rasanya, saya bisa merasakan kesenangan dan kedamaian dari membaca buku-buku puisi. Rasanya seperti kerumitan di kepalamu mulai diuraikan dalam bentuk bait-bait yg indah.

Sumber : Doc. Pribadi/ Ire Rosana Ullail
Sumber : Doc. Pribadi/ Ire Rosana Ullail

Begini contoh salah satu bait dari puisi berjudul Aku Menunggu di Kantukmu

"Aku mencintaimu seperti televisi tua di gudang nenekmu yang terbakar. Cuma satu kanal dan tidak pakai remot kontrol."

Saya pikir bagaimana seseorang bisa membuat rangkaian kata-kata yang membuat dada berdegup kencang serta pipi memanas sebelum pada akhirnya meninggalkan rasa bahagia ketika selesai membacanya.

Setelah itu saya mulai jatuh cinta dengan karya-karya Aan. Mungkin itulah hadiah bagi seorang gadis lajang yang dalam waktu dekat akan segera menikah.

Beberapa bulan kemudian saya pun menikah.

Banyak kawan berhenti membaca setelah mereka berumah tangga. Alasannya tentu saja karena lelah akibat aktivitas yang padat merayap. 

Mereka berpikir, membaca buku sudah bukan zaman mereka lagi dan pada akhirnya memutuskan untuk menyerah kepada keadaan.

Tapi saya cukup keras kepala untuk itu. Saya masih saja pergi ke toko buku atau terkadang membelinya secara online, menghabiskan sela-sela waktu dengan membaca buku dan sesekali memberi kode kepada suami tentang buku apa yang ingin saya miliki.

Menikah tidak membuat saya berhenti membaca buku, hanya genrenya saja yang mulai berubah. Salah satu buku yang menyita perhatian setelah menikah adalah Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982. 

Saya menyukainya karena banyak hal yang relate dengan apa yang saya lihat dan rasakan sebagai perempuan serta posisi mereka dalam kehidupan berumah tangga.

Sumber : Dok Pribadi/ Ire Rosana Ullail
Sumber : Dok Pribadi/ Ire Rosana Ullail
Kim Ji Yeong menggambarkan bagaimana perempuan masih mengalami diskriminasi baik di dalam keluarga sendiri hingga di ranah pekerjaan. 

Saya rasa budaya patriarki semacam itu juga masih kita temui di Indonesia, di mana perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh nantinya hanya akan berakhir di dapur dan kasur atau beberapa pekerjaan yang lebih memprioritaskan pria karena perempuan dinilai merepotkan jika nantinya mereka menikah dan punya anak.

Pola-pola seperti itu sangat familiar di masyarakat kita serta membuat banyak perempuan berpikir bahwa setelah menikah hidup mereka berubah dan karir mereka tamat. 

Selanjutnya mereka hanya akan bergumul dengan rutinitas keseharian sebagai seorang istri dan Ibu bagi anak-anaknya sembari tanpa sadar diserang oleh bibit-bibit depresi.

Beruntungnya, Kim Ji Yeong di buku tersebut diceritakan memiliki seorang suami yang peduli dan sayang padanya. Tapi sayangnya, tidak semua perempuan di dunia nyata bernasib sama dengan Ji Yeong, banyak dari mereka harus menghadapi situasi berat, rutinitas yang padat sementara di sisi lain suaminya acuh tak acuh dengan kondisi rumah.

Dari buku ini saya berpikir mengenai kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi tidak hanya perempuan-perempuan di Indonesia tapi juga di bagian negara lain seperti Korea.

Rupanya, apa yang saya rasakan ternyata juga di rasakan oleh banyak perempuan di dunia ini. Kita semua adalah Kim Ji Yeong yang bahkan di tahun 2021 ini masih harus menghadapi budaya patriarki.

Hal semacam itu membuat saya justru ingin memberi dukungan kepada sesama perempuan untuk tidak menyerah kepada keadaan serta terus memperkaya diri. Karena diskriminasi terhadap kaum perempuan akan semakin kuat jika para perempuan itu sendiri menerimanya sebagai suatu kodrat.

Ingin rasanya saya mengupas satu persatu buku yang saya baca tapi rasanya itu tidak akan selesai dalam waktu yang singkat. Pada intinya saya tumbuh dan berkawan baik dengan buku-buku. Mulai dari pertama kali membaca majalah Bobo di masa kanak-kanak seperti yang sempat saya ceritakan melalui video pada link ini hingga buku-buku yang relate dengan kondisi perempuan setelah berumah tangga.

Buku sudah menemani saya tumbuh dengan baik. Saat di mana saya merasa tersisih, merasa tidak sempurna serta sedang tidak baik-baik saja.

Kebahagiaan-kebahagiaan kecil dari membaca buku itu perlahan-lahan tumbuh dan membentuk diri saya yang sekarang. Jika hidup adalah pembelajaran, maka buku adalah media pembelajaran yang paling baik. 

Jika hidup adalah kesetiaan, maka buku adalah teman paling setia. Ia tak hanya menemani tea time di kala pagi dan sore hari, tapi juga ketika keadaan sedang tidak bersahabat.

"Books are good company, in sad times and happy times, for books are people -- people who have managed to stay alive by hiding between the covers of a book."   ___E.B White

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun