Kasus review produk Eiger beberapa waktu lalu memang cukup mengecewakan, tidak hanya untuk para Eigerian tapi juga bagi masyarakat secara umum.Â
Di zaman sosial media seperti sekarang, jumlah reviewers meningkat tajam baik yang sifatnya endorse maupun yang mandiri alias keinginan dan kepentingan pribadi. Hal --hal semacam itu adalah buah dari kemudahan teknologi serta maraknya penggunaan media sosial.
Perkembangan kondisi seperti ini seharusnya terlebih dahulu tercium oleh para pelaku usaha serta pemasar. Apalagi perusahaan dengan karakter produk masa kini dan digandrungi oleh para remaja yang sehari-sehari tidak bisa terlepas dari sosmed.Â
Jadi amat disayangkan bila ada sebuah brand besar yang kurang bisa menempatkan diri di tengah riuhnya kebebasan bersosial media.
Jika dilihat dari sisi pemasaran, banyaknya masyarakat yang membuat review secara pribadi justru memberikan input positif baik bagi produk yang di-review maupun perusahaan.Â
Pertama, perusahaan tidak perlu repot membentuk tim khusus untuk memperoleh feedback dari konsumen mengenai produk mereka.Â
Kedua, perusahaan memperoleh review jujur dari konsumen dan dari data yang didapat, perusahaan bisa mengevaluasi apakah produk mereka sudah maksimal ataukah ada bagian yang perlu diperbaiki atau dimaksimalkan. Ketiga, produk yang di-review otomatis mendapat promosi secara gratis.
Tindakan Eiger tersebut mungkin dilakukan untuk mengasosiasikan brand Eiger sebagai brand dengan tingkat kualitas tertentu, namun sayangnya mereka lupa bahwa banjiran review di jaman sosmed seperti saat ini bukan sesuatu yang mudah dan bebas untuk dikendalikan.Â
Apalagi si pemilik produk tidak terikat kontrak dengan pihak Eiger. Yang terjadi justru kekecewaan banyak pihak serta masyarakat karena merasa kebebasan berpendapat mereka direnggut serta timbulnya keengganan untuk kembali melakukan review.
Beruntung pihak Eiger cukup tanggap menghadapi situasi yang terjadi lalu melayangkan surat permohonan maaf yang juga berisi penjelasan mengenai maksud dan tujuan dilayangkannya surat yang menjadi perkara.
Meski memberi kesan kurang nyaman, namun jika diambil sisi positifnya, surat dari Eiger bisa menjadi bocoran bagi mereka para reviewers yang dalam jangka panjang ingin menggiring kegiatannya ke ranah profesional atau dengan kata lain menerima endorse atau bayaran.
Tidak dipungkiri, endorse bagi para content creator seperti halnya bahan bakar yang menggerakkan aktivitas mereka. Jadi tidak dipungkiri bila endorsement dan paid promote menjadi bahan incaran para content creator. Namun pertanyaannya, apakah effort yang kita berikan sudah layak untuk dibayar secara profesional?
Hal ini tentunya menjadi pertanyaan sekaligus cambukan bagi para youtuber, tiktokers, bloggers, vloggers, maupun selebgram untuk bekerja dan berusaha lebih baik lagi.Â
Apalagi untuk brand kelas tertentu yang memasang standar kualitas yang tinggi. Semakin tinggi sebuah brand, semakin mahal kita dibayar tapi juga semakin besar effort yang harus kita berikan.
Untuk masuk ke dalam ranah profesional, seorang content creator tidak cukup hanya bermodalkan banyak followers saja. Hal ini berkaitan dengan banyaknya jumlah content creator di luar sana yang sama-sama siap berperang untuk merebut perhatian perusahaan atau brand-brand besar.
Kalau bicara soal kebutuhan akan piranti dan editing tentunya bisa dipelajari dengan banyak-banyak menonton video-video pembelajaraan yang tersebar gratis di jagat maya.Â
Namun soal pengendalian diri menjadi perkara lain. Hal tersebut merupakan bagian dari kepekaan diri yang terus menerus perlu diasah melalui pengamatan dan pembelajaran.
Kasus unboxing album blackpink yang dilakukan oleh salah satu conten creator ternama tahun 2018 lalu memberikan pelajaran arti pentingnya pengendalian diri.Â
Terkadang kita lupa dan tidak sadar bahwa video yang tengah dibuat nantinya akan ditonton oleh jutaan orang di luar sana. Meski dalam kasus tersebut si content creator tidak diendorse tapi, imbas dari video yang ditayangkan justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
Pengendalian diri yang saya maksud di sini kurang lebih adalah memahami dan menyadari bahwa ulasan produk yang kita buat nantinya akan ditonton atau dibaca oleh banyak orang.Â
Sebagai imbasnya, kita harus lebih berhati-hati dalam beberapa hal seperti salah satunya mengenai pemakaian bahasa. Bahasa yang kurang pantas akan menurunkan brand image dari produk yang diulas. Hal semacam ini tentunya sangat merugikan bagi si produk maupun perusahaan terkait. Menggunakan bahasa yang baik juga bisa diartikan dengan mengeliminasi kata-kata yang dirasa cukup sensitif dan memicu konflik.
Hal lain yang menurut saya perlu diperhatikan adalah menyampaikan fakta-fakta produk. Misalnya saja spesifikasi teknis seperti ukuran, bentuk, warna, fitur dan lain-lain. Fakta-fakta ini sangat diperlukan oleh audience untuk mengetahui detail produk.
Setelah fakta-fakta produk disampaikan seluruhnya, barulah kita memasukkan opini kita berdasarkan pengalaman pemakaian atau user experience.Â
Bagi para reviewer profesional penting pula untuk memperhatikan keunggulan yang ingin ditonjolkan oleh suatu brand tertentu.Â
Namun, apapun bentuk kesepakatan yang kita buat dengan pihak brand penting halnya untuk menanamkan sikap jujur, bahwa kita tidak menyampaikan kebohongan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakteristik produk.
Saya rasa beberapa hal di atas adalah poin dasar dan penting dalam me-review sebuah produk. Setelahnya adalah bagian teknis serta eksekusi. Pada tahap ini alangkah baiknya bila kita mengenali diri sendiri terlebih dulu artinya, kita harus cukup paham platform sosial media apa yang kita gunakan. Karakteristik review dari seorang blogger tentu saja berbeda dengan seorang tiktoker dan berbeda pula dengan seorang vlogger.
Dari sana kita bisa lebih mengerucut, mempelajari cara eksekusi berdasarkan masing-masing karakter platform yang digunakan. Salah satu caranya adalah dengan melihat cara me-review dari pihak lain yang lebih senior.
Sementara dari sisi brand, mereka akan memilih platform yang cocok dengan market serta karakteristik produk mereka. Tak ada salahnya juga bila kita menjalankan banyak platform seperti yang dilakukan oleh banyak content creator saat ini. Salah satu contohnya adalah edho zell yang selain youtube dia juga memaksimalkan platform instagram serta tiktok.
Saya lihat isi tiktok belakangan ini sangat menarik, terutama konten-konten yang berisi cara me-review produk. Tak perlu memakai alat yang mahal, para tiktokers membagi tips fotografi serta cara me-review produk hanya dengan alat- alat sederhana.
Berbeda dengan tiktok yang berdurasi pendek, review di youtube cenderung lebih panjang. Salah satu contoh review produk yang maksimal menurut saya adalah yang dilakukan oleh Agung Hapsah dan Team2One. Dua youtuber kawakan tersebut menjadi contoh bagaimana membuat sebuah review produk dengan kemasan yang menarik.
Tips-tips seputar teknis dalam review produk mudah saja kita dapat dari banyak platform, kita hanya perlu meluangkan sedikit quota dan waktu untuk mempelajarinya.Â
Sekian dari saya dan semoga kita semua bisa mengambil pembelajaran dari kasus-kasus yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H