Bicara soal bermaaf-maafan, saya jadi teringat kisah Moek dan Is dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan yang juga adalah salah satu pemenang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014.
Moek dan Is semasa kecil bersahabat, namun ketika keduanya mulai beranjak dewasa, masing-masing memiliki pandangan tersendiri, Moek lebih condong ke NU sementara Is lebih condong ke Muhammadiyah. Keduanya saling diam dan menjauh selama berpuluh tahun.
Itulah mengapa novel tersebut  berjudul Kambing dan Hujan yang mana menggambarkan kisah Moek dan Is layaknya Kambing dan Hujan yang menolak untuk saling bersentuhan.
Suatu ketika, keduanya terjebak dalam suasana di mana mereka harus bertegur sapa kembali setelah terdiam selama puluhan tahun. Kita bisa membayangkan bagaimana kikuknya suasana dan keadaan di antara keduanya. Sama-sama malu dan sama-sama gengsi untuk memulai pembicaraan lebih dulu.
Saya tak pernah berselisih paham dengan seseorang hingga puluhan tahun layaknya Moek dan Is. Paling banter ya cuma beberapa bulan. Perempuan memang kerap berselisih soal hal-hal sepele dan tahan untuk saling mendiamkan selama beberapa waktu karena dirudung gengsi.
Dalam kondisi ini, lebaran adalah momen terjitu untuk memecahkan segala macam perselisihan. Orang bisa saja gengsi ketika meminta maaf di hari biasa tapi menjadi biasa saja ketika dilakukan ketika lebaran. Tidakkah lebaran telah membantu banyak terciptanya perdamaian? Seolah siapapun yang memulai dulu tak menjadi soal karena berlindung di balik alasan "lebaran"?
Begitu pula lebaran telah banyak menyelamatkan perselisihan saya, terutama dengan rekan kerja. Sebenarnya ada beban tersendiri ketika pertama kali akan masuk kerja seusai libur lebaran. Duh, gimana nanti ketemu si anu ya? Selalu saja ada rasa canggung dan ragu-ragu untuk bertemu dengan orang-orang tertentu.
Saya memang sempat bekerja di beberapa tipe perusahaan yang berbeda. Ketika masih bekerja di kantor kecil dengan segelintir orang, jarang terjadi perselisihan, sehingga tak ada kecanggungan di hari pertama masuk pasca libur lebaran.
Sementara ketika saya bekerja di perusahaan industri dengan jumlah karyawan ribuan, rasanya pasti lebih canggung. Tuntutan pekerjaan menyebabkan saya harus berselisih dengan beberapa orang dari departemen lain. Berselisihnya memang hanya soal pekerjaan tapi rasa kesalnya itu bisa terbawa hingga ke dunia nyata. Yah, begitulah perempuan.
Tapi ada untungnya juga bekerja di Industri padat karya. Di sana karyawan akan melakukan halal bihalal dengan membentuk barisan melingkar. Bisa dibayangkan jika dalam satu gedung terdapat sekitar 500 -- 1000 orang, berapa luas lingkaran serta waktu yang dibutuhkan untuk berjabat tangan dengan seluruh karyawan? (Tolong ahli matematika, dibantu menghitung)
Seusai berjabat tangan dengan seluruh karyawan, perselisihan pun dianggap selesai begitu saja. Semua orang sepakat untuk membuka lembaran baru.
Eits, tapi jangan salah, tak berselang lama setelah halal bihalal dilakukan, konflik pekerjaan kembali bermunculan. Perang email lagi, meeting lagi, perang lagi.
Yah, begitulah hidup, salah lagi, baikan lagi, salah lagi, baikan lagi. Saya anggap proses seperti itu wajar karena tuntutan pekerjaan. Jadi bisa dibilang, pengalaman bermaaf-maafan yang saya alami sekian puluh tahun jenisnya seperti itu.
Permasalahan tiap-tiap orang berbeda. Ada yang bisa diselesaikan segera, ada pula yang butuh waktu hingga puluhan tahun untuk bisa saling memaafkan seperti Moek dan Is. Pelik masalah hidup tak semudah mengucap rangkaian kata idul fitri di mana yang meminta maaf dan yang memaafkan akan mendapatkan kemuliaan.
Egoisme dan gengsi membuat manusia bertambah rumit. Masalah yang seharusnya sederhana menjadi berbelit-belit. Statusnya sih bermusuhan padahal dalam hati merasa tidak nyaman juga jika harus diam-diaman.
Bagi saya lebaran hadir untuk membuka pintu maaf untuk hal-hal rumit itu. Biarkan egoisme dan gengsi malu-malu berdiri di balik topeng idul fitri. Bukan karena terpaksa, tapi karena di dalam hati kecil kita sebenarnya masih ada cinta.
Oh ya, dengan ini pula saya memohon maaf lahir dan batin kepada seluruh kompasioner semuanya. Â Tidak dipungkiri aneka kecemburuan, kekesalan sering kali muncul akibat interaksi yang terjadi baik melalui artikel maupun komentar.
Berselisih pemikiran itu wajar, tapi jangan sampai merendahkan harga diri sesama kompasioner,ya! Terakhir, saya ingin mengutip tagline dari Lembaga Pers Mahasiswa DIMENSI yang pernah menjadi rumah belajar menulis saya ketika masih menjadi mahasiswa.
"Biarkan perbedaan warna menjadi potensi besar berkembangnya pola pikir."
Jika kambing dan hujan saja bisa saling memaafkan, apalagi kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H