Pertengahan puasa seperti ini biasanya saya sedang berdesak-desakan di Tanah Abang. Â Meski pergi ke Tanah Abang ketika ramadan ibarat perang Badar tapi demi keluarga, ponakan, saudara dan demi barang-barang dagangan saya sanggup melakukannya.Â
Tolong jangan tanya bagaimana nasib Tanah Abang sekarang. Di awal tahun lalu, ketika banjir besar menggenangi sejumlah titik di daerah Jakarta Jakarta saya pernah membahas betapa napas Tanah Abang terengah-engah jika 2 hari saja tutup.
 Sempat Meredup Akibat Banjir, Berapa Kerugian Pasar Tanah Abang?
Sekarang? Rasanya tak sanggup mengatakannya, hancur, babak belur, berdarah-darah pastinya. Bisa dibayangkan tingginya harga sewa kios di sana. Info dari langganan saya, harga sewa kios di PGMTA (Pusat Grosir Metro Tanah Abang) pertahun saja kurang lebih mencapai 1 Miliar, sementara kios-kios blok A blok B mencapai 300-400an juta per tahun. Itu belum termasuk kios yang letaknya strategis seperti di pintu utama atau di pinggir ekskalator yang kurang lebih bisa mencapai 500 jutaan pertahun.
Blok F sendiri yang bisa dibilang lumayan sempit, panas dan sarat berdesak-desakan harga sewanya sudah mencapai 75 -100 juta per tahun. Itu semua belum termasuk harga sewa kios-kios kecil di luar gedung utama yang juga tak kalah mahalnya. Sementara dari 100 persen pendapatan, bisa dibilang 70%nya di tutup dari penjualan menjelang lebaran.
Di tanah abang setiap toko kurang lebih memiliki karyawan harian untuk bantu-bantu, jumlahnya bervariasi antara 1 -4 orang. Jika jumlah kios diperkirakan ada sebanyak 21.000 maka bisa dihitung berapa banyak pegawai harian yang kehilangan pendapatan akibat pandemi ini.
Lagi-lagi jumlah itu semua belum mencakup keseluruhan kerugian dari para pedagang emperan serta, penjual jajanan, pedagang keliling, tukang parkir serta aneka macam kerjaan serabutan lain yang tak bisa tak bisa dihitung jumlahnya.
Tanah Abang tutup sampai dengan waktu yang ditentukan, kata beberapa langganan saya. Meski begitu mereka tetap menawari jasa kirim online dari rumah. Hal itu dinilai sebagai solusi paling memungkinkan untuk menyelamatkan produk-produk yang harusnya sudah meluncur kepasaran. Pertanyaannya sekarang akankah ada perayaan lebaran tahun ini?
Di luar ada tidaknya perayaan lebaran, saya memutuskan untuk tidak berjualan terlebih dahulu. Omzet penjualan busana muslim di kala lebaran memang menggiurkan. Tidak hanya cukup  untuk pribadi tapi juga cukup membantu para reseller-reseller di kampung halaman. Tidak hanya cukup untuk modal mudik saja tapi juga untuk modal usaha hingga beberapa waktu ke depan.
Berjualan di masa ini membawa dilema tersendiri. Jika saya mengirim barang ke reseller di kampung artinya saya membuka keran untuk orang-orang saling bertemu. Sementara jika saya jual sendiri 100% secara online kok rasanya ragu-ragu. Apa perlu merayakan sesuatu dengan baju baru di tengah pandemi begini?
Saya kembali teringat, siang-siang begini, selain membeli dagangan saya juga berbelanja untuk keperluan lebaran sekalian. Bahagia rasanya bisa berbagi untuk sanak keluarga, saudara serta teman-teman dari hasil berjualan. Â
Kenyataannya siang ini saya hanya bisa meratapi kerinduan untuk pergi ke Tanah Abang sembari diam-diam berharap tiba-tiba saja ada keajaiban dan semua kembali seperti sedia kala.
Tapi bagaimana pun beratnya, apa yang saya rasakan tidak lebih berat dari pada para pemilik kios serta penguni tanah abang yang lain. Saya jadi teringat abang-abang parkir pula tenaga bantu di beberapa kios yang kerap membantu saya. Apa kabar mereka semuanya?
Beruntunglah kita yang masih mendapat gaji tetap bulanan, dibandingkan mereka yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian. Tak hanya pegawai serabutan, pemilik kios pun bergantung pada pendapatan harian. Bahkan bisa dikatakan seluruh penghuni Tanah Abang bergantung pada pendapatan harian.
Jika ditanya apa yang berat dari ramadan kali ini, entah mana dulu yang lebih dulu yang harus saya sebutkan. Tak hanya hati saya, saya pun berat melihat Tanah Abang berdarah-darah. Jika biasanya ramadan dibarengi dengan banjiran rejeki, kali ini harus dibarengi dengan pandemi.
Ramadan kali ini berat, teman. Lebih berat dari rindunya Dilan. Tapi meski berat kita harus dituntut untuk tetap kuat. Karena begitu semua ini berakhir, kita harus kembali bergerak cepat mengejar banyaknya ketertinggalan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H