Berjualan di masa ini membawa dilema tersendiri. Jika saya mengirim barang ke reseller di kampung artinya saya membuka keran untuk orang-orang saling bertemu. Sementara jika saya jual sendiri 100% secara online kok rasanya ragu-ragu. Apa perlu merayakan sesuatu dengan baju baru di tengah pandemi begini?
Saya kembali teringat, siang-siang begini, selain membeli dagangan saya juga berbelanja untuk keperluan lebaran sekalian. Bahagia rasanya bisa berbagi untuk sanak keluarga, saudara serta teman-teman dari hasil berjualan.
Kenyataannya siang ini saya hanya bisa meratapi kerinduan untuk pergi ke Tanah Abang sembari diam-diam berharap tiba-tiba saja ada keajaiban dan semua kembali seperti sedia kala.
Tapi bagaimana pun beratnya, apa yang saya rasakan tidak lebih berat dari pada para pemilik kios serta penguni tanah abang yang lain. Saya jadi teringat abang-abang parkir pula tenaga bantu di beberapa kios yang kerap membantu saya. Apa kabar mereka semuanya?
Beruntunglah kita yang masih mendapat gaji tetap bulanan, dibandingkan mereka yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian. Tak hanya pegawai serabutan, pemilik kios pun bergantung pada pendapatan harian. Bahkan bisa dikatakan seluruh penghuni Tanah Abang bergantung pada pendapatan harian.
Jika ditanya apa yang berat dari ramadan kali ini, entah mana dulu yang lebih dulu yang harus saya sebutkan. Tak hanya hati saya, saya pun berat melihat Tanah Abang berdarah-darah. Jika biasanya ramadan dibarengi dengan banjiran rejeki, kali ini harus dibarengi dengan pandemi.
Ramadan kali ini berat, teman. Lebih berat dari rindunya Dilan. Tapi meski berat kita harus dituntut untuk tetap kuat. Karena begitu semua ini berakhir, kita harus kembali bergerak cepat mengejar banyaknya ketertinggalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H