Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Belanjaan Tak Bersalah, Kitalah yang Egois

2 Mei 2020   22:38 Diperbarui: 2 Mei 2020   22:59 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kala ramadan, menahan diri untuk tidak membeli banyak makanan ibarat Dilan yang sedang menahan rindu, berat. Rasa lapar dan haus sudah berada diujung-ujung, akibatnya setiap kali melihat deretan makanan berbaris entah di pinggir jalan maupun etalase toko, lidah tiba-tiba bergoyang, perut tambah keroncongan dan nalar waras pun melayang. 

Beberapa saat setelahnya, senyum mengembang setelah berhasil membawa banyak makanan di tangan. Pernah begitu nggak, sih? Kalau saya sering hehehe

Rasa lapar tak hanya mengaburkan fokus pikiran tapi juga penglihatan, melihat sunlight dikira sirup marjan, lihat kanebo dikira dadar gulung, lihat kuncir rambut dikira putu ayu, lihat si dia dikira bidadari, duh duh luar biasa benar efek puasa ini, benar-benar bisa membuat seseorang halu (baca : halusinasi)

 Rasa lapar membuat seseorang cenderung emosional dan tidak dapat berpikir logis. Wajarlah ketika mereka melihat deretan makanan yang ditangkap pertama adalah merasa perutnya memiliki daya tampung yang besar, sebesar rasa lapar yang dirasakan. Kalau sudah begitu kita jadi lupa esensi puasa.

Esensi puasa adalah menahan diri. Kita sering tanpa sadar mengartikan menahan dalam hal ini adalah persoalan haus, lapar, marah dan nafsu syahwat saja padahal, menahan bisa juga diartikan menahan diri dari hal-hal yang berujung pada kemubadziran termasuk salah satunya adalah membeli makanan yang berlebihan.

Mubadzir karena ternyata setelah berbuka puasa, masih banyak makanan sisa yang termakan. Itu artinya banyak pula rupiah yang telah kita keluarkan dan berakhir sia-sia belaka. Jika ingat begitu saya jadi kepikiran, apakah benar saya sudah benar-benar puasa? Ataukah hanya menahan lapar dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari? Duh.

Lalu bagaimana kondisi di masa pandemi? Memang kegiatan memborong takjil mulai berkurang, tapi rupanya para ibu rumah tangga memiliki hobi baru, memasak dan mencoba aneka resep. Pantas sajalah di masa WFH ini timeline sosmed dipenuhi gambar-gambar makanan beserta resepnya. Mereka yang tak biasa memasak jadi ingin belajar sementara mereka yang memang sudah hobi memasak semakin menggebu-gebu menambah jumlah resep baru.

Begitu pula yang terjadi pada saya. Masa #dirumahsaja yang sudah saya dilakoni lebih dari satu bulan ini lebih banyak digunakan untuk menjajal aneka resep. Jadi jangan heran ketika ramadan tiba, bahan makanan yang rencana habis seminggu malah ludes dalam 2 hari. Walhasil, strategi belanja seminggu sekali yang sudah disusun menjadi berantakan.

Sama saja bukan, belanja banyak makanan atau memasak banyak makanan dan tidak habis. Sama-sama mubadzir tenaga, waktu, uang dan barang (berupa makanan). Belum lagi soal belanja online. WFH ini tak dipungkiri meningkatkan jumlah kegiatan berbelanja online. Mula-mula sekadar iseng membuka marketplace, namun rupanya makin ditelusuri makin menggiurkan. Akhirnya klik, klik dan klik, semudah itu berbelanja di era daring. Tau-tau saldo habis saja tanpa sadar.

Jangan heran pula jika setiap hari ada saja suara paket datang. Beli hiasan rumahlah, beli tempat sikat gigilah(yang aslinya nggak penting-penting amat), bahkan terakhir kali saya membeli stiker saklar bergambar kartun kepala gajah. Ya Allah, saya telah membeli stiker saklar kepala gajah lho o, untuk apa pula saya membelinya? Duh.

Efek kelamaan WFH memang bisa merambah kemana-mana, bahkan kepada keinginan membeli stiker kepala gajah berukuran 3.5 cm. Tentu kita semua berharap pandemi ini segera berakhir karena kalau tidak, saya takut akan mengoleksi stiker aneka kepala binatang. Huft.

Tak sadar kan rupanya di masa ramadan versi pandemi ini banyak hal mubadzir yang telah kita lakukan. Memborong takjil, foya-foya terhadap bahan makanan, belanja online tidak sesuai kebutuhan. Lalu bagaimana kita bisa keluar dari rutinitas nikmat tersebut dan merebut kembali esensi dari ibadah ramadan?

Jawabannya ada di sekitar semua, sangat jelas dan terpampang nyata. Kita tahu itu namun mungkin tak menyadari sampai ke sana. Pastinya kita semua tidak lupa betapa pandemi ini membawa banyak duka lara di banyak keluarga. 

Para pekerja ojol yang tiba-tiba kehilangan orderan, para karyawan yang tiba-tiba di rumahkan. Belum lagi usaha non formal yang mendadak sepi serta saudara kita para tenaga medis yang harus berjuang dan bertaruh nyawa di garis akhir. Mereka semua butuh dukungan.  

Di kala kita semua berfoya-foya, menuruti ego untuk membeli aneka bahan makanan dan barang-barang online dan menyianyiakannya, di saat itu pula ada saudara --saudara kita yang menahan lapar atau yang butuh bantuan. Tidak perlu jauh-jauh teman, rupanya kita dekat dengan itu semua. Duh, tampar saya, tampar saya!

Mengingat itu, bukankah kita merasa menjadi manusia paling egois di tengah pandemi ini? Jadi, sudah ketemu kan rumusnya, kita bisa menjadi pahlawan dengan mengambil bagian dalam perang ini. Semua belum terlambat dan semoga itu menjadi kunci ibadah ramadan kita kali ini. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun