Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | Temui saya di tempat lain -> irerosana.com atau email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengenal Mushola Tempat Pertama Kali Saya Belajar Mengaji

30 April 2020   23:21 Diperbarui: 30 April 2020   23:28 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya maaf, foto utama beresolusi kecil karena itu sebenarnya foto lama saat ketika perangkat Hp belum secanggih seperti sekarang.  Letaknya memang di gang sempit sehingga tak ada cara lain untuk menangkap gambarnya selain dengan menaiki jembatan penyeberangan yang berada tak jauh dari mushola tersebut berdiri.

Penampakan Gang Masuk Mushola Al Iman dari Google street views|Tangkapan layar dokpri
Penampakan Gang Masuk Mushola Al Iman dari Google street views|Tangkapan layar dokpri

Namanya Mushola Al-Iman. Letaknya sekitar 100 meter dari rumah orang tua saya di Babadan-Ungaran. Di sanalah pertama kali saya mengenal huruf hijaiyah dan  disana pula saya bertemu dengan guru pertama saya. Namanya Pak Zaenal, luarannya galak dan menakutkan, tapi hatinya lembut dan tak tegaan. Setiap hari ia harus naik angkot untuk mengajari kami mengaji.

Ya, di sanalah saya dan teman-teman menghabiskan sore hari. Bermain ketika guru belum datang dan mengaji hingga menjelang petang. Dari (mungkin) ratusan masjid yang pernah saya kunjungi (tentu saja saya tidak benar-benar menghitungnya) mushola inilah yang meninggalkan kesan dan pesan yang mendalam dalam diri saya karena dari sanalah saya mulai belajar agama.

Jika ilmu agama diibaratkan sebagai bayi, di sanalah saya belajar merangkak, menerima suapan pertama hingga bisa berjalan dan berlari seperti sekarang. Di sana pula saya memiliki banyak cerita dengan kawan-kawan kecil saya.

Tak hanya belajar membaca Al-Qur'an di sana kami juga belajar menghapal surat-surat pendek. Satu hari satu surat. Jika gagal, Pak Zaenal siap mencubit lengan dan menyuruh kami berdiri hingga semua murid selesai menyetor hapalan. Tentu saja saya salah satu yang paling sering langganan berdiri dengan satu kaki, he. Meski bandel tapi saya berhasil khatam Al-Qur'an pertama kali juga di sana.  

Dulu mushola Al-iman masih kecil dan sederhana sekali, tak seperti sekarang. Tentu saja banyak tahun berlalu banyak pula perbaikan. Yang dulunya sederhana, kini mulai ada warna.

Ketika ramadan tiba, mushola kecil ini akan dipenuhi jamaah. Seusai tarawih anak-anak akan ikut tadarus hingga larut malam (meski lebih sering berlarian ke sana ke mari dan menunggu takjil sih)

Kini mushola Al- iman tidak lagi dipakai anak-anak untuk mengaji sore, karena di sebelah kanannya sudah dibangun TPQ Al- Iman. Masjid hanya diperuntukkan untuk salat jamaah dan beberapa kegiatan seperti tadarus dan pengajian saja.

Muridnya di TPQ Al-iman semakin hari juga semakin banyak, jika dulu saya hanya memiliki teman sekitar 10 -- 15an anak, maka sekarang jumlah murid sudah lebih dari 50 -- 70an anak.

Saya berhutang banyak dengan mushola kecil ini. Sayangnya, semakin dewasa saya semakin jarang mengunjunginya. Ketika kuliah saya lebih banyak menghabiskan waktu di kota Semarang begitupun ketika sudah bekerja. Ketika menikah saya pindah ke Ibu kota dan semakin mustahil untuk mengunjunginya. Kondisi membuat saya seolah tak memiliki kesempatan untuk membayar hutang-hutang dengan memakmurkannya.

Dalam perjalanan hidup saya, banyak masjid besar yang telah saya kunjungi, entah dalam rangka singgah untuk salat ataupun sekadar berwisata. Sebutlah Masjid Agung Demak, Masjid Tuban, Masjid Dian Al Mahri, Masjid Istiqlal, Masjid Baiturrahman Semarang, Masjid Mangkunegaran Solo, Masjid Agung Jawa Tengah, dll.

Semua indah dan megah, semua menarik dan mengantri untuk diceritakan. Tapi tak adil rasanya jika mushola Al-iman tidak menjadi bagian dari tulisan-tulisan saya. Biar bagaimanapun, saya telah belajar banyak ilmu di sana.

Entah bagaimana nasib Mushola Al-iman di tengah pandemi ini, mungkin juga sepi seperti masjid-masjid yang lain. Rupanya kabar meme-meme yang bertebaran itu benar, pandemi membuat kita merindukan masjid. Mungkin juga ini peringatan Tuhan, apa perlu dijauhkan agar bisa dirindukan?

Semoga pandemi ini cepat berakhir ya, agar masjid dan mushola kembali ramai dan anak-anak kembali mengaji di sore hari. Salam hangat selalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun