"Kelak saya bersedia tinggal di mana saja, asal bukan Jakarta!" Â Begitu pikir saya sebelum pada akhirnya menikah dan bermukim di Jakarta. Aneh memang, hal-hal yang tak diingini malah sering terjadi.
Tinggal dan pindah ke Jakarta bukan perkara mudah. Gambaran ibu kota yang kejam sudah terpatri dalam benak saya sedari kecil. Isu-isu seperti kemacetan, kriminalitas dan banjir langganan membuat orang enggan memilih Jakarta sebagai kota impian.
Selain sebagai pusat negara, Jakarta juga memikul beban sebagai pusat bertemunya segala masalah. Tidak hanya ketiga isu yang sebelumnya disebutkan, sebagai Ibu kota, Jakarta juga banyak menampung banyak keluhan, baik berupa demonstrasi yang "baek-baek" hingga yang berujung anarkis.
Dalam kacamata saya, wajah Jakarta terlihat sudah begitu lelah, pula wajah-wajah penghuninya. Orang-orang Jakarta terlihat berbeda, cenderung individualis, mudah marah dan kurang sabaran ketika di jalan raya. Mungkin itu adalah buah dari segala duka dan lelah si ibu kota.
Belum lagi soal kualitas udara Jakarta yang disebut-sebut tidak ramah manusia. Kompas.com mencatat, pada 6 september tahun lalu udara di ibu kota kita berada pada peringkat 2 paling buruk di dunia dengan tingkat polusi 160, di bawah Hanoi, Vietnam. Isu polusi hanya menambah jajaran permasalahan yang harus di tanggung Jakarta.
Kondisi yang ada membuat proses perpindahan yang harus saya lalui terasa semakin berat. Setiap hari saya hanya mengeluh, mengapa saya bisa terdampar dan harus tinggal di kota ini?! Dan setelahnya, pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa saya sulit untuk bahagia?
Ada yang berkata agar bisa bahagia kita harus bisa berdamai dengan keadaan, dan untuk itu terlebih dulu harus bisa berdamai dengan diri sendiri.Â
Dari situ, saya mulai mencoba mencari celah Jakarta. Mencoba membuka hati dan melihat Jakarta dari sudut yang lain.
Ternyata tinggal di Jakarta tidak buruk-buruk amat. Di tengah segala kepadatan, rupanya kota ini menyimpan akses jutaan informasi dan ilmu pengetahuan. Jakarta memiliki banyak perpustakaan termasuk salah satunya adalah Perpusnas yang terletak di Jalan Medan Merdeka dan merupakan perpustakaan tertinggi di dunia dengan jumlah lantai 24.
Tak hanya menyimpan buku-buku, Perpusnas juga difasilitasi free wifi agar pengunjung bisa mengakses berbagai informasi. Di sana juga terdapat ruang baca anak, ruang baca lansia dan penyandang disabilitas serta berbagai koleksi audiovisual. Jika sudah terdaftar menjadi member, maka kita bisa menggunakan fasilitas nonton film gratis yang jadwal dan judulnya sudah ditentukan.Â
Selain Perpusnas, Jakarta juga memiliki beberapa perpustakaan kece lain seperti Perpustakaan Kemendikbud, Perpustakaan Erasmus Huis, Perpustakaan Freedom, Perpustakaan Umum daerah Jakarta Selatan, atau kalau mau sedikit merapat ke pinggiran ada perpustakaan Universitas Indonesia dan perpustakaan milik kampus yang lain.
Bagi kutu buku, banyaknya perpustakaan berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan. Perpus ibarat surga dunia, tempat menamatkan segala keluh kesah dan kehausan akan ilmu pengetahuan. Tapi, ada juga yang datang hanya untuk menyendiri dan menenangkan pikiran.
Hal lain yang saya temukan adalah Jakarta memiliki banyak museum. Situs museumjakarta.com mencatat terdapat lebih dari 30 museum yang ada di Jakarta. Sementara situs winnymarlina.com mencatat dan menyebutkan jumlah 2 kali lipatnya yaitu sebanyak 61 museum.  Jumlah yang cukup fantastis dan menjadikan Jakarta sebagai kota dengan jumlah museum terbanyak di Indonesia.
Keberadaan museum memiliki banyak manfaat, salah satu di antaranya adalah tempat wisata edukatif. Banyak sekolah serta orang tua memilih berkunjung ke museum. Jika dibandingkan dengan tempat wisata seperti theme park, area salju dan waterpark, harga tiket museum tentu jauh lebih murah. Saya sendiri suka mengunjungi museum. Selain melihat sejarah, saya menyukai museum karena tempatnya tidak ramai.
Dalam satu tahun terakhir saya juga menemukan bahwa Jakarta memiliki aneka ragam komunitas. Kita bisa memilih salah satu yang sesuai dengan karakter diri kemudian bergabung agar menambah pertemanan serta pengalaman. Salah satu yang saya ikuti adalah komunitas Bahasa inggris Britzone yang menjalankan aktivitasnya di Perpustakaan Kemendikbud. Rupanya bergabung dengan komunitas bisa membantu mengusir sepi, terlebih bagi mereka yang baru pindah dan minim teman.
Sebagai pusat ibu kota, Jakarta juga menjadi pusat penyelenggaraan event-event besar. Tinggal pilih dan sesuaikan saja dengan kebutuhan masing-masing. Bagi penyuka buku seperti saya, hal yang selalu ditunggu antara lain IIBF (Indonesia International Book Fair) dan BBW (Big Bad Wolf)Â yang sudah langganan diselenggarakan di JCC dan ICE BSD.
Setidaknya, dapat mengunjungi 2 event buku tersebut merupakan kebahagiaan hidup, pasalnya banyak teman saya yang berada di daerah merasa iri. Jangankan bookfair, lokasi mereka bahkan jauh dari gramedia.
Selain menimba ilmu, yang tak kalah penting bagi perempuan adalah adanya tempat belanja. Jakarta tentunya punya banyak mall dengan aneka tipe, namun dari semua mall yang ada, tempat belanja yang paling di hati tetaplah Tanah Abang.
Perempuan mana yang tidak bahagia tinggal di kota -di mana terdapat pusat grosir terbesar di Asia Tenggara. Di Tanah abang, saya bisa dapat baju mall dengan harga grosir yang tentunya jauh lebih miring.
Terlepas dari semua itu, Jakarta masih memiliki banyak  kekuatan untuk memanjakan penghuninya, di antaranya fasilitas umum yang lengkap, baik berupa trasportasi umum, fasilitas kesehatan, kemudahan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan dan lain-lainnya.
Tak terasa sudah 4 tahun saya di Jakarta dan baik-baik saja. Meski awal bulan ini kedua betis saya sempat merasakan dinginnya banjir, namun kembali hangat dengan aneka kegiatan positif lainnya.Â
Rupanya masih banyak cinta di balik wajah lesu Jakarta. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H