Baru 3 hari, namun ingatan hari pertama tahun 2020 dengan genangan air sampai perut orang dewasa masih saja terngiang. Hati semakin miris karena banyak daerah lain yang sampai hari ke tiga masih terendam banjir meski sudah mulai surut.
Melansir dari kompas.com jumlah korban hingga hari ke 2 mencapai 29 orang. Penyebabnya antara lain tenggelam, hipotermia, terkena longsor, dan tersengat aliran listrik.
Jika menengok kondisi daerah lain di mana air sampai menyentuh atap hingga genteng rumah, banjir seperut seperti di tempat saya tentu tak seberapa. Tak terbayang bagaimana kondisi korban yang terjebak air dan menunggu evakuasi selama berjam-jam di atap rumah.
Di daerah tempat tinggal saya banjir sudah mulai surut sore hari di hari pertama. Setelahnya kami mulai berbenah.
Membersihkan sisa lumpur, mengecek alat-alat elektronik, mesin air, sepeda motor, serta mengumpulkan barang-barang yang terendam dan memilih, mana yang akan dibuang dan sudah tidak bisa dipakai lagi dan mana yang masih bisa dicuci atau dikeringkan.
Banyak motor tak menyala akibat terendam air selama berjam-jam. Bersyukur motor kami masih bisa menyala, karena kami mengganjalnya dengan bangku kayu. Jadi, jangan heran bila banjir usai, bengkel terdekat akan dipenuhi antrean motor-motor mlempem.
Hingga pagi ini, proses berbenah masih kami lakukan. Baju-baju yang tersimpan di almari bagian bawah kecolongan terendam air, tak terkecuali buku-buku milik keponakan, simpanan gelas-gelas dan piring-piring yang tersusun rapi di almari bawah.
Walhasil selama 2 hari ini kegiatan saya adalah cuci-mencuci dan jemur-menjemur.
Di sela-sela proses bersih-bersih, saya berhitung, rupanya barang-barang yang terkena banjir adalah barang yang sudah lama tak terpakai. Dihitungnya, barang yang dipakai jarang, dibuang sayang.
Saya pun berandai-andai jika jumlah barang yang ada di rumah tidak terlalu banyak, maka proses pemulihan pasca banjir pasti tidak akan selama dan semelelahkan seperti ini.