Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mitos Puasa "Mbedug", Masih Perlukah Dipelihara?

2 Juni 2018   15:58 Diperbarui: 2 Juni 2018   15:58 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah puasa mbedug atau puasa setengah hari sangat familiar ketika kita masih kecil. Pada masa itu, yang kita tahu ada 2 jenis puasa ramadan, satu puasa penuh satu hari dan satu lagi puasa mbedug. 

Jika tidak kuat puasa penuh sehari, kita bisa memilih opsi yang ke-2. Kurang lebih begitulah yang dulu saya tangkap dan yang orang tua ajarkan. Pengertian tersebut tanpa sadar saya bawa hingga duduk di bangku SMP.

Setelahnya saya kecewa saat tahu bahwa puasa mbedug itu sesungguhnya tidak ada atau mitos belaka. Itu hanyalah strategi para orang tua agar anaknya mau belajar berpuasa. Bagi orang tua itu tidak salah, pasalnya belum ada kewajiban bagi seorang anak yang belum akhil balig untuk berpuasa. 

Jadi istilah puasa mbedug sengaja dibangun untuk mulai mengenalkan anak tentang puasa. Harapannya tentu agar kelak saat anak sudah akhil balig, siap menghadapi ramadan secara penuh.

Sementara kekecewaan saya bersumber pada ingatan-ingatan lalu ketika saya memutuskan untuk puasa mbedug karena merasa sudah tidak kuat. Pikir saya kala itu, yasudah dapat pahala puasa setengahnya saja tidak apa-apa yang penting tetap puasa. 

Setelah tahu kebenarannya, tentu saya kecewa, artinya hari-hari saat saya puasa mbedug dalam kondisi sudah akhil balig itu dihitung tidak berpuasa dan wajib mengganti.

Hingga saat ini mitos tentang puasa mbedug masih sering digunakan para orang tua kepada anak mereka. Melihat bahwa ada beberapa sisi negatif, alangkah baiknya kita meninjau ulang baik dari cara penyampaian maupun sisi manfaat yang masih bisa digali dari puasa mbedug.

Mengapa orang dewasa secara tidak sadar masih ingat tentang puasa mbedug?

Sebetulnya tidak hanya soal puasa mbedug saja, banyak mitos-mitos lain seperti tidak boleh menangis, tidak boleh menggosok gigi, tidak bolek keluar darah dan muntah masih melekat utuh dibenak orang dewasa, hal tersebut tak lain adalah karena mitos-mitos tadi disampaikan kepada kita ketika masih anak-anak. Usia rata-rata kala itu antara 0-6 tahun yang mana, dalam usia tersebut anak berada pada masa emas. 

Masa emas atau yang sering dikenal dengan istilah golden age dikenal sebagai masa krusial. Pasalnya daya serap anak pada masa tersebut berada pada tingkat maksimal. Tak heran jika mitos-mitos yang beredar pada masa tersebut masih terekam jelas di kepala kita.

Masih perlukah kita menggunkan puasa mbedug untuk mendidik anak berpuasa?

Dalam kaca mata pengamatan saya, puasa mbedug bukan satu-satunya jalan untuk mengajarkan anak berpuasa. Ini hanyalah salah satu jalan yang orang tua anggap aman. Tidak dipungkiri orang tua tentu was-was dengan kondisi si anak yang belum siap menerima puasa penuh, dengan adanya puasa mbedug mereka merasa lebih lega dan tak khawatir anak akan ngedrop.

Namun, melepaskan diri dari kecenderungan puasa mbedug itu tidak mudah. Jika salah dalam memberi pengertian, bisa-bisa kebiasaan tersebut masih dibawa terus oleh si anak. Puasa mbedug juga menimbulkan rasa nyaman bagi si anak, jika tidak diberi pengertian yang benar sedari awal takutnya si anak enggan melepas kenyamanan tersebut.

Puasa mbedug memiliki sisi positif dan negatif, dari 2 sisi tersebut, harusnya orang tua bisa memilah mana yang baik untuk anaknya.

Cara terbaik untuk memberi pengertian kepada anak mengenai puasa mbedug

Salah satu yang membuat ricuh tentang puasa mbedug adalah cara orang tua dalam menyampaikan atau memberi pengertian kepada si anak. Kebanyakan dari orang tua ingin anaknya bangga terhadap diri mereka bahwa si anak telah berhasil menyelesaikan puasanya.

Mengingat akan kerancuan tersebut alangkah baiknya jika orang tua jujur sedari awal dengan berkata bahwa si anak sedang belajar puasa dan itu tidak dihitung sebagai puasa atau bahwa nanti setelah si anak perempuan mendapatkan haid pertama atau anak laki-laki sudah disunat tidak boleh lagi puasa mbedug, mereka wajib melaksanakan puasa sesuai perintah agama.

Cara kedua atau cara yang paling aman adalah dengan tidak mengajari puasa mbedug tapi puasa penuh. Kemungkinan anak untuk tidak kuat tentu besar tapi kita bisa memberikan pengertian bahwa jika tidak kuat tidak apa-apa boleh dibatalkan, hari ini gagal besok coba lagi. 

Jadi pada saat tersebut yang tertangkap di benak si anak adalah dia belum berhasil melaksanakan puasa penuh. Orang tua bisa memberi sedikit angin segar bahwa hal semacam itu wajar karena usia mereka yang masih di bawah standar yang diwajibkan.

Begitulah. Puasa mbedug yang entah sejak kapan ditemukan itu sampai dengan hari ini masih dipelihara oleh sebagian dari kita. Mitos bahwa puasa setengah hari itu diperbolehkan masih juga dikenal oleh anak dari jaman dulu sampai jaman ini. 

Karena berasal dari orang tua, maka orang tua sendiri yang harus menyaring bagaimana baiknya saat memutuskan menggunakan mitos ini untuk diterapkan kepada anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun