"If we don't love ourselves we use to attract towards new things but as soon as we began to love ourselves, we feel confident and old thinds look prettier again."
Sasi GodBole yang diperankan oleh Sridevi dalam film English Vinglish harus melalui beberapa petualangan kecil terlebih dahulu hingga akhirnya sampai pada kata-kata tersebut.
Tanggal 25 Febuari jagad perfilman Bollywood diguncang oleh berita kepergian salah satu aktris legendaris Sridevi. Aktris yang memulai karir sejak berusia 4 tahun dan membintangi ratusan judul film tersebut dikabarkan meninggal dunia di salah satu hotel di Dubai Uni Emirat Arab. Kepergian sang aktris tentu tak hanya mengejutkan fans di India melainkan juga di seluruh dunia.
Sepeninggalnya ia masih menyisakan cameo di film Zero bersama Aktor Shah Rukh Khan yang baru akan rilis akhir tahun 2018. English Vinglish menjadi satu dari 2 film penutup di mana dirinya menjadi pemeran utama. Sebagai salah satu penikmat drama komedi Bollywood, saya rasa film bertema keluarga ini berhasil mencuri hati para istri/ibu. Film ini bergenre drama komedi, mempunyai arti yang dalam tapi dikemas secara ringan dan menyenangkan.
English Vinglish mengangkat keresahan para ibu yang tidak bisa berbahasa Inggris. Di India, Bahasa Inggris sudah umum digunakan terlebih bagi masyarakat dengan tingkat sosial tertentu. Di film tersebut Sasi (Sridevi) berperan sebagai seorang Ibu 2 anak yang tidak bisa berbahasa Inggris. Karena kekurangannya tersebut, ia acapkali menjadi bahan tertawaan suami dan anaknya.
Ia juga merasa kesulitan saat harus menghadapi kondisi yang memaksanya berbahasa inggris seperti PTA atau pertemuan wali murid. Anak perempuan Sasi pun lebih sering menyepelekan dan kurang menghormatinya karena kekurangannya tersebut.
Konflik mulai semakin naik saat ia harus membantu menyiapkan pernikahan anak dari saudarinya yang ada di New York. Ia merasa sedikit takut karena harus berangkat 5 minggu sebelum acara untuk bantu-bantu sementara keluarganya menyusul mendekati hari H. Berbagai gambaran dan kekhawatiran muncul, tentang sendiran pergi ke negeri asing dan kemampuan bahasa Inggrisnya yang minim.
Sasi dan bahasa Inggris hanyalah salah satu wajah dari aneka wajah persoalan orang tua. Jika di kondisikan di Indonesia, masalah seperti gaptek (gagap teknologi), tidak bisa mengoperasikan HP, komputer, dan keminiman akan ilmu tertentu masih sering terjadi. Seorang anak yang mengumpat kalimat, "Memangnya Ibu/Bapak bisa komputer?" masih bersliweran di telinga. Atau saat orang tua ingin menasihati anaknya yang nilainya jelek dan si anak balik menyerang dengan mengatakan, "Emangnya Ibu bisa mengerjakan? Ibu belum tentu lebih baik dari aku!"
Sebagian dari kita ada kalanya seperti Sasi, tertekan pada suatu kekurangan tertentu, sementara kelebihan Sasi sebagai pembuat laddoos (semacam makanan ringan berbentuk bulat, berwarna kuning dengan rasa manis) terenak bahkan laris manis tidak cukup menutup kekurangan tersebut. Lebih disayangkan lagi, olokan yang datang rata-rata berasal dari keluarga sendiri. Hal tersebut tentunya menambah sesak dada para orang tua.
Bagi Sasi, jika seorang laki-laki memasak maka itu menjadi sebuah seni, sementara wanita memasak adalah kewajiban sehari-hari. Ucapannya lebih terdengar seperti keputusasaan dan kurangnya penghargaan bagi seorang wanita. Mungkin tanpa sadar dan tanpa sengaja, satu dari kita pun pernah menyepelekan seseorang meski sebatas ucapan di dalam hati.
Sasi GodBole mewakili suara-suara yang selama ini diacuhkan, mengenai kurangnya kepekaan dan rasa hormat dari keluarga sendiri.
Dalam film ini, Sasi digambarkan berhasil menolong dirinya sendiri dengan mengikuti khusus kilat berbahasa inggris secara sembunyi-sembunyi ketika di New York. Biar pun sudah berumur tapi kemauannya untuk lepas dari jeratan "tidak bisa berbahasa Inggris" sangat tinggi. Berbagai tekanan, olokan yang sudah terjadi membuatnya bersemangat. Dalam kursus tersebut ia bertemu dengan pria Prancis bernama Laurent yang amat mengaguminya. Meski Sasi tidak memberikan sedikit pun hatinya, tapi ia merasa tersanjung dan mulai belajar mencintai dirinya sendiri. Dari rasa suka Laurent lah ia mulai merasa dirinya berarti dan berharga.

Terkadang pasangan tidak tahu apa yang pasangannya rasakan, saat itulah kita harus menolong diri kita sendiri. Keluarga tidak akan men-judge. Keluarga adalah satu-satunya orang yang tidak akan menertawakan kelemahan kita, dan keluarga adalah satu-satunya tempat untuk mendapatkan cinta dan rasa hormat.
Di kehidupan nyata, anak lebih sering mendengar mereka yang dianggap lebih hebat, lebih pintar dan menyepelekan orang tuanya sendiri. Padahal berkali-kali dalam kisah klasik diceritakan bahwa orang tua bekerja keras agar hidup anaknya jauh lebih baik darinya. Mereka berharap anaknya kelak tidak seperti dirinya. Mereka yang mungkin hanya tamatan SD tapi rela membanting tulang kerja apa saja agar anaknya menjadi sarjana.
Sridevi pergi dalam usia yang tergolong masih muda (54 tahun), tapi film dan peran yang ia lakoni masih terus membekas di hati kita semua. Melalui English Vinglish, ia mengingatkan para anak dan suami untuk lebih menghormati dan menyayangi keluarganya dan untuk para istri/ibu agar tidak mudah menyerah kepada kekurangannya dengan tetap mau belajar. Dulu saya hanya tahu Sridevi dari film-film roman, atau aktingnya menjadi jelmaan ular yang pandai menari, tapi English Vinglish membuat saya menyukainya berlipat-lipat kali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI